Hazza sudah hampir kehabisan tempat tujuan untuk menemukan Jade. Sudah beberapa tempat ia datangi untuk menanyakan keberadaannya, tidak ada satu pun yang tahu. Kenyataan itu membuatnya merasa putus asa, tetapi masih berupaya keras menemukannya. Pikirannya dikacaukan oleh hal itu.
Bahkan, ketika batas izin tugasnya itu sudah habis, ia masih belum kembali ke Saville Town. Robards yang mengetahui hal tersebut segera menyusulnya. Atasan Auror itu harus memastikan bahwa anak buahnya kembali kepada tugasnya. Tetapi dengan keadaan Hazza yang tak karuan, Hazza tak akan bisa bekerja dengan baik. Ia pasti tak akan fokus.
Dalam keputus-asaannya terlintas satu hal, legilimency.
"Legilimency memang bisa kau gunakan untuk mengetahui keberadaan istrimu. Seperti yang dilakukan Voldemort kepada Potter. Tetapi untuk jarak jauh mungkin lebih sulit dibandingkan secara langsung. Kau tahu sendiri bahwa-"
Hazza memotong kalimat Robards dan segera menimpalinya dengan permohonan, "Kumohon, Robards. Aku harus mengetahui keberadaan istriku. Ia sedang mengandung, Robards. Aku akan melakukan apa saja agar kau mengizinkanku melakukan legilimency."
Robards menghela, ia tak bisa menolak permintaan Hazza. Ia sudah lama menikah dan rasanya jika istrinya menghilang entah kemana layaknya yang terjadi kepada Hazza, ia akan melakukan hal yang sama. Lagipula itu akan mempercepat semuanya. Meskipun risikonya besar.
"Lakukan apa yang bisa kau lakukan, Styles." ucapan itu bagaikan sebuah lampu hijau bagi Hazza. Tanpa membiarkan waktu terbuang, ia langsung melakukan legilimency.
Satu mantra yang terucap menguak berbagai hal.
Sebuah ruangan gelap dan kumuh dengan seorang perempuan bertopeng hitam. Tali yang mengikat tubuh, membuat napasnya sesak. Tubuhnya sakit. Serangan mantra cruciatus yang terasa jelas seperti yang ia rasakan saat perang di Hogwarts. Sebuah pukulan. Air mata yang tak terbendung, ketakutan dan keputusasaan.
Matanya melebar, ia membeku dalam posisinya sejenak dan terjatuh ke lantai dengan lemas setelahnya. Robards dengan segera merendahkan posisinya. Ia menunggu Hazza untuk berbicara mengenai apa yang dilihatnya.
"Kau tidak apa-apa?"
"London, di dekat stadium tempat pertandingan Quidditch berlangsung. Sebuah jalan kecil dengan jalan pintas yang menuntun ke sebuah ruangan kecil yang gelap." katanya dengan pandangan kosong dan segera berdiri setelah itu. Ia langsunng bergegas pergi untuk mencari Jade tanpa basa-basi.
.
Perempuan itu bersandar pada sebuah tiang tempat ia diikat. Tubuhnya sudah sangat lemas dengan serangan yang diberikan hampir setiap saat. Pandangan matanya kosong, jiwanya pun sama kosongnya. Bagai diserang oleh dementor yang mengambil setiap memory indah dan jiwanya.
Kali ini memory indah itu tinggal. Namun, tak bisa ia rasakan lagi kebahagiaan di dalamnya. Ia hanya bisa meratapi apa yang sedang ia hadapi sekarang ini. Perempuan yang ingin membalaskan dendam kepada dirinya. Jade berusaha bersiap-siap dengan kemungkinan yang bisa terjadi.
Jika harus mati, ia tak keberatan. Tetapi ia tak bisa membiarkan anak di kandungannya ikut mati bersamanya tanpa pernah menghirup udara dunia. Hazza pun pasti akan sangat sedih jika kehidupan buah hati yang ia tunggu-tunggu harus berakhir sebelum dimulai. Satu keinginannya adalah untuk menyempurnakan dirinya sebagai perempuan, menjadi seorang ibu.
"Tulis surat kepada suamimu itu." ia melemparkan secarik perkamen yang mengarah langsung kepada wajah Jade. Ia dengan reflek mengerjapkan mata karena bagian ujung perkamen yang mengenai matanya, membuat matanya memerah. "Katakan kepadanya bahwa kau baik-baik saja dan ia tak boleh mencarimu."
KAMU SEDANG MEMBACA
School of Magic
FanfictionHarry, Louis, Niall, Zayn and Liam come to Hogwarts as students? See how it is going to be! © 2014 by itshipstastyles