Tiga orang sosok yang semula berada di depannya sudah menghilang dan digantikan oleh keramaian. Cahaya dengan berbagai warna melesat, menghancurkan apa yang ada di hadapannya, menyakiti makhluk yang ada di depannya. Bangunan tinggi dan kokoh itu sudah tak nampak seperti bangunan lagi. Gemuruh suara terdengar. Ada yang meneriakkan mantra, ada yang berteriak kesakitan dan ada pula yang berteriak dalam kesedihan. Semuanya terkesan tidak karuan.
Ia terdiam sejenak, matanya mencari-cari laki-laki berambut keriting tersebut. Sebelum matanya bisa mendapatkan laki-laki itu, sebuah serangan melintas tepat di depannya. Ia segera merapal mantra kembali ke arah orang tersebut. Ia pun berjalan dengan siap dan siaga.
Death eater dengan topeng itu telah merapal sebuah unforgivable curse kepada laki-laki tersebut ketika matanya akhirnya bisa menemukannya. Ia menerobos keramaian dan kerusuhan tersebut, mulutnya melafalkan mantra yang sama. Mengetahui bahwa ia terlambat karena tubuh lelaki tersebut yang telah terbaring, tangannya segera meraih Time-Turner yang dikalungkan di lehernya dengan maksud kembali beberapa menit lebih awal.
Namun, sebelum sempat benda itu berputar, cahaya berwarna biru menyerang. Sebuah ledakan kecil terjadi. Meski kecil, ledakan itu sukses membuatnya terpental jatuh ke lantai yang keras. Ia terbentur cukup keras hingga kepalanya terasa sakit dan pandangannya semakin lama semakin kabur.
Ia tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi, tetapi ketika matanya terbuka kembali, ia menyadari bahwa dirinya ada dalam dekapan seorang laki-laki. Dekapan erat tetapi lembut dan penuh kehangatan. Wajah laki-laki yang mendekapnya itu kian lama kian jelas. Wajahnya penuh luka. Ada tetesan-tetesan air mata yang tak henti turun ketika laki-laki itu menatapnya.
Ia segera bangkit dan memeluknya. Tidak kalah erat dengan cara lelaki itu mendekapnya. Misinya berhasil, lelaki itu selamat dan ia pun selamat.
"Hazza, apakah itu kau? Ini benar-benar nyata kan? Merlin's beard! I have never thought that I live to see you." tanyanya sambil melepaskan pelukannya. Ia menatapnya dan memposisikan kedua tangannya di pipinya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu adalah kenyataan.
"Ya, ini aku Jade." angguk Hazza dengan senyuman lebar meski wajahnya penuh dengan goresan-goresan luka, "Apakah kau tidak apa-apa?"
"Seharusnya aku yang menanyakanmu. Kau penuh dengan luka, Hazza."
"Hanya luka kecil, ya kan madam Pomfrey?"
"Kau mengarang cerita, Styles. Luka di tanganmu itu perlu jahitan." elak perempuan yang ia sebut madam Pomfrey itu.
"Lihatlah! Kau baru saja menyepelekan hal kecil yang bisa berakibat fatal."
"Tapi setelah dijahit semuanya tak akan masalah, bukan?"
"Mari kujahit lukamu." ujar madam Pomfrey sambil membawa peralatannya.
"Okay, madam Pomffrey!" Hazza tertawa kecil, membuat Jade geleng-geleng kepala dalam senyuman atas tingkahnya.
Senyumannya hilang ketika ia menyadari sesuatu. Ia harus kembali ke masa depannya. Namun ketika ia menempatkan tangannya ke lehernya untuk meraih kalung yang bergantungkan Time-Turner itu, ia tak merasakan apa-apa. Ia mencari di sekitarnya dengan panik. Kepanikan itu mengundang kebingungan kepada Hazza.
"Apa yang kau cari Jade?"
Bukannya menjawab, Jade diam. Ia mendapat sebuah pertanyaan lain. Seharusnya masa lalunya lah yang berinteraksi dengan Hazza, bukan dirinya. Seharusnya ia kembali ke masa depannya dan menjalani semua yang telah menunggu disana. Tapi kenapa Hazza malah bersamanya? Tidakkah ia sadar bahwa ada dua orang Jade? Tidakkah Jade pada tahun ke tujuh berbeda dengan Jade yang telah menjadi seorang ibu?
KAMU SEDANG MEMBACA
School of Magic
Fiksi PenggemarHarry, Louis, Niall, Zayn and Liam come to Hogwarts as students? See how it is going to be! © 2014 by itshipstastyles