15. Cemburu?

5 1 0
                                    

Dirga melenggang di koridor sekolah ketika jam istirahat. Dengan senandung kecil ia menyusuri koridor yang dipenuhi beberapa siswa. Siswi perempuan ada yang bisik-bisik ketika Dirga lewat. Ada juga yang menunjuk dengan barbarnya dan mengakui kalau dia penggemar Dirga.

Dirga yang melihat itu hanya tersenyum tipis. Tidak mau ia bereaksi lebih.

"Dirga." Suara itu bersamaan dengan pukulan pelan ke bahunya. Dirga meringis. Menoleh menatap orang yang memukul bahunya. Bibirnya mencibik tanda kesal ketika sadar kalau itu Alex dan temannya.

Alex datang bersama, Rama dan Septian. Mereka memekarkan senyum aneh nan menyeramkamkan ke arah Dirga membuatnya mengernyit.

"Apaan sih? Senyam-senyum gak jelas."

Rama, Septian dan Alex saling tatap seolah memberi kode.

"Eh, Sep. Lo tahu gak kalau si Dirga kemarin ngajakin Zia jalan?"

"Ah masa' sih? Perasaan dia bilang gak bakal suka sama Zia."

"Iya, Sep. Tahu juga tuh anak. Katanya gak suka tapi ngajak jalan."

Alex, Rama dan Septian sengaja mengobrol begitu. Dirga yang paham maksud teman-temannya hanya bisa membulatkan mata dan menelan saliva susah payah. Tidak pernah ia kira kalau rencananya mengajak Zia diketahui oleh teman-teman sialannya.

"Eh, Ga, lo tahu gak kalau Dirga ajak Zia jalan?" Tiba-tiba Septian bertanya pada Dirga padahal Dirga yang dibicaran. Sontak saja Rama dan Alex saling menatap lalu tertawa terbahak.

Pipi Dirga sudah merah merona, sudah malu dibuat teman-temannya.

"Ah, kalian salah lihat kalii." Masih saja Dirga menyangkal padahal jelas-jelas ketiga temannya ada di tkp semalam.

"Ngeles terus. Nanti Zia diambil orang lain baru tahu rasa lo!" Septian menoyor kepala Dirga, bercanda.

"Iya, Ga. Akuin aja kenapa sih. Gengsi tinggi amat dah." Giliran Rama yang bicara.

Alex lalu menautkan lengannya ke bahu Dirga. "Eh, Ga. Kita ini semalam ngikutin lo. Kita punya foto lo sama Zia di taman. Ngeles lagi gue bakar rambut lo, ya."

"Hehe." Dirga cengengesan. "I-iyadah." Ia mengaku juga.

"Jadi, Ga. Jangan lama-lama buat nyatain cinta. Nanti ditikung orang lain. Karena kalau sudah begitu, yang bisa lo lakuin hanya meratap," ujar Rama memperingati.

Mereka lalu berjalan bersama menyusuri koridor, turun tangga lalu menuju kantin. Kantin cukup ramai. Sambil tertawa dan bercerita, empat serangkai itu nampak tulus bersahabat, nampak sangat erar persahabat mereka.

***

Bel tanda pulang telah berbunyi. Zia yang hendak menuju gerbang tiba-tiba berubah haluan ketika kantung kemihnya sudah tidak kuat menahan rasa buang hajat kecil. Segera ia berlari kecil menuju kamar mandi. Kamar mandi nampak sepi. Setelah sampai dan melakukan buang hajat. Ia hendak kembali menuju gerbang. Namun, baru beberapa detik langkah kakinya menatapak. Zia didorong keras hingga tersungkur.

"Maksud lo apa?" bentak Zia ketika melihat Raya berdiri sambil melipat tangan di dada seraya menyungging remeh.

"Eh manusia sok cantik. Gue kamarin bilang lo gak usah dekatin Dirga. Kenapa masih melawan?!" Raya terlihat sangat kesal.

"Lo kira lo cantik?!" tambah Raya.

Zia belum langsung menjawab. Ia berdiri pelan. Ditepuknya belakang rok untuk membersihkan debu. Zia seolah tidak mendengar omelan Raya barusan.

"Eh manusia sok!" Raya mendekat, menarik rambut Zia kuat.

Zia sedikit meringis namun bisa menepis tangan Raya.

"Lo berani sama gue?" tanya Raya menatang.

Zia mengangkat sudut bibir. "Lo pikir lo siapa?" Terdengar menusuk di telinga Raya.

Zia memang tidak pernah takut pada siapa pun kecualai Tuhan, orang tuannya dan kakaknya. Selain dari itu, Zia punya prinsip untuk melawan ketika ditindas.

Raya sudah kepalang marah. Matanya memerah, hidungnya kembang kempis akibat napas yang memburu, serta kepalan tangannya sudah terbentuk. Sekarang, Raya sudah seperti iblis bertanduk banteng.

Raya langsung mengayunkan tangannya ke arah wajah Zia. Namun ayunan itu berhenti sebelum mengenai Zia.

"Apa-apaan lo, Ray?" Dirga sudah berdiri di belakang Raya.

"Di-Dirga ...." Gagap mulut Raya bicara. "Ko-kok l-lo bisa ada di sini."

Dirga belum langsung menjawab. Ia menatap Raya begitu dalamnya dan tajam sampai-sampai Raya menunduk lesu.

"Bodoh!" Hanya kata itu yang akhirnya Dirga keluarkan. Jujur, ia sudah sangat marah ketika mengamati perbuatan Raya sejak tadi.

Tadi, ketika dia hendak ke kelas Zia. Ia melihat Zia pergi ke arah kamar mandi. Sebenarnya ia niat menunggu, namun, ketika melihat Raya mengikuti Zia dari belakang, Dirga segera membuntuti mereka. Tak Dirga sangka kalau yang ia dapati adalah pertengkaran tentang dirinya.

"Zi. Lo bisa duluan."

Zia mengangguk setelah mendengar ucapan Dirga. Zia berjalan melewati Raya yang tangannya masih Dirga genggam kuat.

"Ray. Lo tu apa-apaan sih?"

Raya makin menunduk. Perlahan, ia mulai sesegukan tanda penyesalan. Oh, atau hanya berdrama di depan Dirga.

"Ma-maafin aku, Ga. Aku ngerasa gak adil aja. Di saat aku mati-matian buat ngajak kamu jalan, di saat aku berusaha buat bisa deket sama kamu. Kamu selalu nolak, alasannya selalu saja ada. Tapi Zia. Zia dengan mudahnya rebut hati kamu. Kamu bahkan yang ajak Zia jalan." Air mata Raya sudah tumpah ruah. Pandagannya sudah kabur. Sontak saja Dirga gelagapan. Nanti dia dituduh yang tidak-tidak kan bahaya.

"Ray jangan nangis." Dirga berusaha menenangkan seraya menepuk bahu Raya pelan.

Bukannya mereda, tangisan Raya semakin kencang. Tentu saja Dirga panik, segera ia mendekap tubuh Raya dan diusap pelang punggungnya.

Di sisi lain, Zia yang belum sepenuhnya beranjak dari area kamar mandi memperhatikan jelas setiap adegan yang Raya tampilkan. Zia kesal dan sedikit cemburu. Karena sudah tidak tahan, ia langsung membanting kuat alat ngepel ke lantai sehingga Dirga dan Raya terkejut.

***

Zia uring-uringan sejak balik dari sekolah. Ia tidak habis pikir kalau Dirga yang kaku itu bisa memeluk Raya di depannya. Ya, walau Zia tahu kalau pelukan itu Dirga berikan supaya Raya bisa tenang. Tapi tetap saja Zia kesal.

"Eh, tapi tunggu dulu. Dirga kan bukan siapa-siapa gue. Kok gue uring-uringan gini sih?" Zia tersadar. Segera ia duduk bersilah di atas ranjang. Ia pikir kembali. Dirga memang tidak ada status dengannya, tapi, perasaannya pada Dirga itulah yang membuat ia sebal.

Ting!

Sebuah pesan masuk. Cepat-cepat Zia meraih handphone yang ada di atas meja.

Manusia Apel: Maaf. Tadi gak sengaja peluk Raya.

Alis Zia naik sebelah. Perlahan, senyum hangat Zia mengembang. Bisa tau juga kalau gue cemburu, gumam Zia dalam hati.

Zia: Sok ganteng banget lo!

Manusia Apel: Hah? Kok sok ganteng?

Zia: Iya lo sok ganteng. Sok meluk-meluk perempuan.

Belum sempat dibalas oleh Dirga pesan itu sudah Zia hapus. Bego-bego, keliatan banget kalau lo cemburu, Zi. Bersikap biasa aja, nanti Dirga makin menjadi-jadi.

Manusia Apel: Belom juga gue bales.

Manusia Apel: Cemburu, ya? wkwk.

Senyum Zia mekar membaca pesan itu.

Zia: Enggak.

Manusia Apel: Oh kirain.

Zia membulatkan mata. Ia geram. Zia berharap ia akan dibujuk Dirga, eh malah cuma dijawab begitu. Dasar cocok kaku!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 25, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pernah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang