10. Perahu Perasaan

5 1 0
                                    

"Lo sih pake telat. Makanya kita kalah jumlah," ujar Alex setelah mengebulkan asap rokok. Ia nampak sedikit kesal namun tidak sampai marah.

"Ya sorry, Lex. Gue kan masih dihukum Pak Amar bersihin sekolah gara-gara tadi pagi telat," jawab Septian sebelum menyulut api untuk rokoknya.

Tadi, saat jam pulang sekolah. Alex ditantang oleh seseorang yang tidak ia kenal lewat WhatsApp. Orang itu mengaku sebagai kakak Adrian. Dia menatang Alex berduel di belakang sekolah. Mendapat tantangan seperti itu tentu saja Alex terima dengan senang hati. Namun, saat Alex datang ditemani Dirga dan Rama. Orang yang mengaku kakak Adrian itu membawa 7 orang. Jadi total mereka berjumlah 8 orang. Tentu saja 3 lawan 8 adalah hal sulit. Alex, Dirga dan Rama kalah jumlah. Walau begitu, mereka masih bisa memukul mundur pasukan 8 orang itu.

Tidak ada luka yang berarti yang di dapat Alex dan kawan-kawan. Hanya beberapa memar dan sedikit darah. Kecuali Alex, mereka memang bukan anak berandalan. Tapi, ketika adu fisik, jangan dianggap remeh.

"Cukup cukup. Waktu gak bisa diputar, nasib gak bisa ditukar. Lebih baik kita makan." Rama muncul dari dapur menenteng dua piring gorengan.

Saat ini, empat sekawan itu berada di rumah Rama. Orangtua Rama kebetulan sedang pergi sehingga Rama mengundang teman-temannya untuk menemaninya tidur. Rama kan takut sama setan.

"Dirga, ayok makan," seru Alex pada Dirga yang asik bermain HP di atas kasur sementara Alex dan lainnya berada di lantai.

"Chatan sama siapa sih?" tanya Septian penasaran.

"Paling sama Zia."

Mendengar nama Zia membuat Septian teringat sesuatu.

"Ga," panggil Septian pada Dirga.

"Hmm?"

"Tadi Zia nungguin lo jemput, loh. Mukanya kelihatan kecewa banget. Kayaknya dia udah berharap lo pulang sama dia." Kata-kata Septian membuat Dirga mendongak.

Dirga ingat sekarang. Ia punya janji yang gagal ditepati. Raut wajahnya berubah. Ia langsung menekan nomor Zia dan menelponya.

"Hallo, Zi?"

"Iya. Kenapa?" ketus Zia di sebrang sana.

Dirga menjauhkan gagang telepon karena reaksi Zia. Kayakya dia marah.

"Zia, gu-gue minta maaf, ya. Tadi ada sedikit masalah jadinya gue gak sempat nganterin lo pulang,"

Alex, Rama dan Septian menganga sempurna saat melihat Dirga telponan dengan perempuan. Ini pertama kalinya dalam sejarah Dirga. Tapi mereka diam saja memberi waktu untuk sahabat mereka itu.

Terdengar embusan napas lelah milik Zia di telinga Dirga.

"Iya, Ga. Gak apa-apa, kok. Gue juga udah tahu kalau lo bantuin Alex. Semua juga gara-gara gue, ya?"

"Gak, kok. Ini bukan salah lo. Emang mereka aja yang brengsek."

"Hehe. Iyadeh. Maaf ya, Ga."

"Tapi lo gak apa-apa, kan? Gak ada luka kan?" tanya Zia. Walau lewat telepon tapi Dirga dapat merasakan nada khawatir milik Zia. Hal itu membuat bibirnya melengkung ke atas membentuk seutas senyum.

"Gue gak apa-apa, kok."

"Bener gak apa-apa?"

"Iyaa Ziaa. Okey gitu dulu, ya. Gue mau makan dulu. Daahh."

"Daah."

Telepon terputus. Saat itu juga Dirga tersedar. "Eh, kenapa gue bisa ngomong kayak gitu ke Zia? Ih najisss." Saat Dirga menoleh ke arah Alex, Rama dan Seprtian. Mata mereka terlihat berbinar. Entah mengejek atau apa.

Pernah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang