5. Kantin

10 3 0
                                    

Zia sedang memandang pohon-pohon yang bergoyang karena diembuskan angin sepoy. Daun-daun rindang pohon-pohon di halaman sekolah itu bergesek sulit berhenti.

Bola mata coklat Zia terus mengamati pohon itu tanpa kedip. Perempuan dengan rambut panjang sedikit pirang itu dibiarkan bergerai ke punggung. Bibir kecilnya lalu mengulum senyum sehingga dua lesung pipit nampak jelas terpancar. Sangat cantik. Pantas saja ia menjadi primadona sekolah.

Semua orang di sekolah tau gadis itu. Baik adik kelas maupun teman seangkatnya. Semua tau wujud visual Zia. Hampir semua laki-laki ingin mendekatinya, tapi Zia terlalu sibuk untuk meladeni mereka semua. Apalagi semenjak putus dengan Doni waktu itu. Jujur, Zia sangat kecewa dengan sikap Doni yang tanpa kabar kemudian muncul dengan gandengan baru. Padahal Zia rasa, Doni adalah orang yang tepat untuk menemaninya kelak. Tapi Zia keliru, ternyata, memberi ekspetasi tinggi sama dengan menggali lubang kekecewaan yang lebih dalam. Semakin tinggi harapan, semakin dalam kecewa. Itu adalah rahasia umum.

Sejak putus dengan Doni Zia tidak mau membuka hatinya lagi, selain trauma, ia juga kadang masih rindu. Sulit memang, ketika terlanjur mencintai orang begitu jauh, sampai-sampai lupa kalau diri sendiri belum dicintai dengan baik.

Semenjak menjomlo pula, Zia beberapa kali diajak jalan oleh banyak cowok, mau followers-nya lewat DM, atau teman Doni lewat WA. Salah satunya Adrian. Tapi Zia menolak walau kadang Adrian memaksa. Adrian memang suka sama Zia, tapi tidak dengan Zia. Ia malah ilfiel karena Adrian adalah teman dekat Doni. Pernah Adrian mengajak Zia makan, tapi ditolak mentah-mentah oleh Zia, alasannya ia mau menyediri.

Zia memang gampang baper, tapi kalau dia tidak suka, jangan harap itu akan berubah.

Tapi makin ke sini, ada beberapa momen yang membuat hati Zia mulai bergetar. Yang menggetarkan hatinya tidak lain adalah Dirga. Daritadi saja, yang membuat senyum Zia mekar karena teringat foto yang Dirga kirim kemarin malam. Ditambah gaya kaku khas Dirga yang memberinya cokelat, semakin membuat dirinya penasaran akan sosok 'manusia apel' itu.

"Aarggg! Kenapa kebayang Dirga sih," gerutu Zia lalu memukul meja cukup keras.

"Ziandra Alexa!" Nada tinggi Ibu Ani membuat Zia mendelik.

Saat sadar dari hayalannya, Zia bisa melihat dengan jelas teman-teman sekelasnya menatapnya, ada yang menahan tawa, adapula yang menggoda, termasuk Rara yang duduk di depanya. Beda sedikit dengan Nadia yang menatapnya heran.

"Mampus, sejak kapan nenek lampir itu ada di kelas!" runtuk Zia kesal.

Tadi memang Ibu Ani sempat izin keluar kelas untuk bertemu kepala sekolah, Zia pikir akan lama sehingga ia bisa merenung dalam pikiran abstraknya. Namun sayang, ternyata Ibu Ani hanya beberapa menit dari ruang kepala sekolah dan sudah masuk sejak tadi untuk melanjutkan materi tanpa Zia sadari.

"I-iya, Bu," ujar Zia terbata.

"Kamu ini ngayal apa?! Saya jelaskan apa tadi? Gak tau kan? Makanya kalau guru jelasin di depan jangan bengong. Paham! Cantik-cantik kok bego, malu-maluin saya sesama orang cantik aja kamu." cecar Ibu Ani membuat Zia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sembari cengengesan.

"Keluar!" bentak Ibu Ani yang berusia 45 tahun itu.

"Keluar? Kan saya cuma----"

"Cuma apa? Kamu sudah pernah masuk kelas saya, kan? Ada tiga aturan yang harus ditaati. Satu, dilarang ngobrol atau berisik, dua, dilarang bermain handphone, tiga dilarang terlambat. Semua konsekuensi dari kesalahan itu adalah keluar kelas. Dan tadi kamu berisik karena memukul meja saat saya menjelaskan materi tapi saat ditanya tidak bisa jawab. Sekarang kamu keluar, ngayal dulu baru masuk lagi. Paham?"

Pernah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang