6. Dipukul

8 3 0
                                    

Dirga duduk bersilah di lantai. Sorot mata teduhnya nampak fokus menatap anak kecil yang juga duduk bersilah di depannya. Anak kecil itu tengah melafkan satu persatu huruf hijaiyah.

Beberapa kali Dirga memekaran senyum saat anak kecil itu berhasil mengeja dengan benar. Setelah satu anak kecil selesai, ganti anak kecil berikutnya.

"A, ba, ta, sa, ...."

"Bukan, bukan sa tapi tsa." Dirga membenarkan pelafalan huruf hijaiyah itu. Segera anak kecil itu mengikuti apa intruksi guru ngajinya itu.

Ya, guru ngaji. Sekarang Dirga memang tengah mengajari anak-anak di sekitar rumahnya mengaji di rumah kakak sepupunya. Sudah lama ia membantu mengajari anak-anak itu mengaji sehingga mereka sangat senang ketika diajari Dirga. Walau terkadang Dirga marah karena bocah-bocah itu loncat-loncatan di tempat pengajian, tapi tetap saja, rasa senangnya lebih mendominasi. Ketika ia melihat ada anak kecil yang bermain saat sedang mengaji, Dirga selalu berpikir, "Ah, dulu gue juga sering kayak gitu." Dan benar saja, sugesti itulah yang meredam semua amarahnya. Karena kesabaran dan keseruan mengaji bersama Dirga itulah anak-anak kecil selalu merindukannya kalau ia tidak sempat datang.

Hampir setiap selesai magrib Dirga selalu hadir di rumah kakak sepupunya untuk mengajari mereka mengaji.

Seperti malam minggu ini. Dirga masih menyempatkan waktunya untuk tugas mulia satu ini. Namun, malam ini ia hanya sendiri, kakak sepupunya sedang ada urusan di luar, jadi Dirga diberikan wewenang menutup pengajian jika sudah selesai.

"Oke, cukup sampai di sini dulu, ya." Dirga menyudahi pengajian malam ini.

"Shadaqallahul adzim."

"Shadaqallahul adzim." Anak-anak itu mengikuti ucapan Dirga. Senyum mereka dapat Dirga lihat jelas.

Dasar anak-anak, kalau pulang baru cepet.

"Siapa yang mau pulang duluan?" tanya Dirga pada anak-anak.

"Akuuu!

"Sayaaa!

"Akuu, kak."

Mereka berebut perhatian Dirga, saling tunjuk tangan agar Dirga melihatnya.

"Kakak mau pulangin kalau kalian duduk rapi," ucap Dirga lalu mengeluarkan sebuah apel hijau dari tas kecilnya. Kemudian apel itu ia gigit sambil menatap anak-anak yang sudah duduk manis.

"Ah kamu, Iki, kamu boleh pulang."

Anak kecil yang namanya dipanggil berdiri, menoleh ke arah teman-temannya lalu menjulurkan lida meledek kemudian tertawa kecil. Dirga yang melihat itu tanpa sadar memekarkan senyum lagi.

Masa kecil memang menyimpan beragam kenangan tentang kepolosan dan rasa ingin tahu yang tinggi. Banyak momen yang sukar dilepaskan dari ingatan. Oleh sebab itu, Dirga sesekali berkhayal kembali ke masa kecil walau hanya sejam. Ia ingin merasakan kembali main kejar-kejaran kemudian terjatuh dan tertawa bersama teman-teman.

"Deta, berdiri." Dirga memanggil nama terakhir di tempat pengajian. Setelah semua selesai, Dirga menarik napas lega karena sudah menjalankan tugasnya. Ia duduk sebentar di menatap sebuah lukisan sampai akhirnya pesan masuk dari Rama muncul.

Rama : Sini Ga, ke tempat biasa. Alex dipukul.

***

Dirga melaju di jalan raya dengan kecepatan di atas normal setelah chat dari Rama. Pikirannya kalut dan sedikit bingung. Alex dipukul? Masa' selama ini Dirga tidak pernah mendengar kabar kalau Alex dipukul, yang ada malah Alex pukulin anak orang. Ah bodo amat! Mungkin maksud Rama Alex dikroyok sekampung.

Pernah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang