3. Badmood

12 3 0
                                    

Zia menatap langit-langit rumahnya. Pikiranya melayang ke sana ke mari membayangkan kenangan manis bersama Doni.

Lagi-lagi dia tidak bisa menepati janjinya untuk melupakan mantanya itu. Padahal Doni bukan cinta pertamanya, malah Doni adalah mantan ke-6 Zia. Tapi kenapa sangat susah dilupakan?

Sebenarnya mudah saja menjawab pertanyaan itu. Ketika sesuatu sangat sulit dilupakan apalagi mengenai mantan, maka dapat dipastikan banyak kenangan yang telah dilalui bersama. Dan kenangan selalu menghasilkan rasa rindu yang harus diobati dengan pertemuan. Tapi apakah Zia harus menemui Doni untuk menyapaikan rasa rindu?

Oh nggak mungkin. Cowok brengsek itu nggak boleh lihat gue menyesal. Masa' gue yang diputusin gue juga yang ketemu dia. Muka gue mau taru di mana.

Ingat ya, Don. Gue bakal cari cowok yang lebih keren dari lo!

Tekad Zia tiba-tiba membara.

Tapi siapa yang mau ia gebet? Sekarang tidak ada niatan dalam pikirannya untuk berpacaran. Mungkin karena trauma.

Dalam pikiran Zia yang terbang tak tentu arah tentang hubungannya itu. Tiba-tiba terselip sosok Dirga yang menyebalkan itu.

Masa' perempuan cantik di SMA Einsten dijuluki manusia aneh.

Tapi kalau dilihat-lihat lagi. Dirga memang cowok yang tampan. Tatapan sendunya yang khas terpancar jelas melalui bola mata hitamnya yang dihiasi alis mata lentik.

Selain itu sikap Dirga seperti tadi---memberi peringatan pada Adrian untuk tidak menelpon Zia---benar-benar cool dan gantle man.

Itu benar-benar manis.

Zia langsung mengetuk kepalanya cukup keras. Ah kenapa jadi mikirin manusia apel itu sih, gerutu Zia lalu bangkit dari kasur bergambar minion kesukaannya. Zia kini duduk bersilah menatap cermin. Ia dapat melihat wajah cantiknya yang dihiasi surai panjang bergerai sampai ke bahu.

Satu hal yang menjadi kekurangan Zia adalah; perasaannya mudah terbawa suasana. Jadi ia harap sikap yang Dirga tunjukan tadi hanya sikap biasa.

Lagian dia kan musuh lo Zi! sugestinya pada diri sendiri.

Tok tok tok

Suara ketukan pintu kamar membuyarkan lamunan Zia. Dari balik pintu kayu cokelat itu muncul sosok laki-laki paruh bayah menatap Zia tersenyum.

Zia mendecak menatap ayahnya yang mendekat ke arahnya lalu duduk di bibir ranjang.

"Kenapa, Yah?" tanya Zia.

Ayahnya yang masih mengenakan jas rapi itu mengulas senyum.

"Ayah cuma mau tanya tentang pilihan yang ayah kasih waktu itu. "

Zia mengembuskan nafas lelah lantas berkata, "Yah. Udah berapa kali Zia bilang kalau Zia gak mau kuliah keperawatan, kebidadan atau kedokteran. Ayah kenapa masih tanya pertanyaan yang jawabannya masih tetap sama."

Romi, ayah Zia menatap Zia tajam. Senyumnya memudar.

"Kamu kenapa gak mau ngikutin apa yang ayah mau? Kenapa kamu gak mau lanjut di kedokteran? Padahal ilmu kedokteran sangat penting dan bagus, Zi."

Ya, Romi memang mengarahkan Zia untuk melanjutkan studinya ke jurusan kedokteran. Berbeda dengan sang istri yang membebaskan pilihan. Tujuan Romi mengarahkan Zia jurusan dokter adalah karena ia ingin sang anak mendapat pekerjaan layak dan masa depan yang jelas. Tapi tetap saja, Zia selalu menolak untuk masuk jurusan yang ayahnya tawarkan itu.

"Zia bosan jawab pertanyaan ayah. Ayah udah tau kalau alasan Zia gak mau ambil kedokteran karena Zia gak suka obat dan takut sama darah. Apa ayah gak bisa paham apa yang Zia ucap?" sungut Zia sedikit emosi.

Pernah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang