9. Ucapan Terima Kasih

4 1 0
                                    

Terkadang, cinta datang tanpa diundang sama sekali. Dia datang seolah dia yang berkuasa.

Seperti itulah yang mungkin dirasakan Zia saat ini. Entah kenapa. Sifat cool, gentle man, kaku dan terkadang menyebalkan Dirga itu membuat Zia luluh. Mungkin dia benar-benar jatuh hati dengan sosok itu.

Pagi ini Zia datang ke sekolah seperti biasa. Zia memakai batik biru khas SMA Einstein. Batik yang menjadi incaran banyak orang. Selain karena bagus, batik ini juga memberikan nilai lebih bagi pemakainya.

Jarum pendek jam saat ini baru di angka 6:45 tapi Zia sudah ada di depan gerbang. Zia menghirup udara, lalu diembuskan. Ah, rasanya sama saja, penuh polusi. Walau begitu senyum dibibirnya seketika mengembang saat mengingat sosok Dirga. Setelah berdiskusi dengan Rara dan Nadia semalam, sudah Zia putuskan kalau ia akan berusaha mendapatkan Dirga. Tapi sesuai saran Rara yang berteman lama dengan Dirga. Zia tidak boleh frontal mendekati Dirga dan harus melancarkan cara lembut dan kode-kode kecil dengan harapan Dirga peka. Tak lupa Nadia memberi masukan agar Zia tidak jatuh ke cinta yang sama. Nadia tidak tega.

"Zi," suara panggilan dari belakang membuat Zia menoleh.

Senyum di wajah Zia seketika memudar saat melihat sosok cowok berambut rapi dan kulit sawo matang menatapnya. Zia kenal betul orang itu.

Cowok itu mendekat. "Hay, Zi."

"Adrian? Hay?" sapa Zia sedikit kaget.

"Gue udah ngehubungin lo berulang kali tapi lo gak respons sama sekali," ucap Adrian seraya ingin memeluk tapi ditepis Zia.

"Eh sorry," kata Adrian cengengesan.

Zia menautkan alisnya tidak suka. Ada-ada saja Adrian ini, dia pikir dia siapa. Sahabat bukan, kakak bukan, pacar pun bukan. Tapi datang dan ingin memeluk. Dia pikir Zia perempuan gampangan.

"Lo ngapain di sini?" tanya Zia mulai ketus. Seperti biasa, ketika Zia tidak suka, seperti itulah reaksinya.

"Gue pengen banget ketemu lo, Zi."

"Kenapa?"

"Karena ... karena gue tahu lo udah putus sama Doni. Jadi gue pikir sekarang gue punya kesempatan buat ngedekatin lo," ujar Adrian. Ia ingin meraih tangan Zia namun ditepis.

"Maksud lo apa ngedekatin?" tanya Zia, masih ketus.

Adrian menarik napas dalam. Ia lalu berucap, "Gue suka sama lo, Zi. Semenjak kita ketemu di acara seminar di sekolah gue waktu itu. Gue gak paham kenapa gue bisa suka sama lo waktu itu. Tapi, setelah gue tahu Doni juga suka sama lo, gue mundur. Dan sekarang, gue rasa ini kesempatan gue."

Doni dan Adrian memang bukan anak SMA Einstein. Mereka ada siswa SMA Negeri 12 Jakarta. Awal pertemuan mereka berdua dengan Zia waktu itu terjadi saat Zia dan teman-temannya mengikuti kegiatan seminar di SMA 12.

"Sorry, Gue gak suka sama lo." Satu kalimat Zia membuat Adrian terbelalak.

"Tapi gue udah lama suka sama lo, bahkan gue lebih menyukai lo daripada Doni menyukai lo."

"Gue gak suka kalian berdua."

"Tapi kenapa, Zi? Gu ... gue bisa buktiin kalau gue beda sama Doni. Tolong kasih gue kesempatan."

Zia semakin geregetan. Orang ini ... apa dia tidak paham bahasa Indonesia. Kalau orang tidak suka ya sudah.

"Gue mau ke kelas," kilah Zia. Ia capek meladeni Adrian yang entah apa merasukinya.

"Zia!" Adrian mencekal tangan Zia kuat. "Lo harus jadi pacar gu----"

"Berisik!" Tiba-tiba muncul Dirga yang melepaskan cekalan tangan Adrian dari tangan Zia. Zia kini berada tepat di samping Dirga yang menatap Adrian tajam.

Pernah SinggahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang