15

911 106 5
                                    

Gulf tersenyum saat Mew datang ke rumahnya, tanpa basa-basi pemuda itu segera menghambur untuk memeluk sang suami. Gulf amat merindukannya. Namun belum sempat Gulf mengaitkan tangannya ke tubuh Mew, Mew sudah menahannya dengan senyuman tipis sembari menggeleng.

Gulf mengernyit, sedikit bingung tapi menuruti isyarat yang diberikan Mew, — dia tidak mau dipeluk — "Ayo duduk," ucap Gulf kemudian, menepis perasaan aneh yang melintas.

Jomkwan benar. Mew terlihat kacau. Rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali Gulf melihatnya, kumis tipis dan jenggot sudah mulai tumbuh. Apa dia tidak bercukur? Lingkaran hitam menggantung di bawah matanya.

"Aku buatkan kopi du—" Gulf hendak bangkit, tapi kalimat Mew menghentikannya.

"Aku tidak lama, Gulf. Aku hanya mau memberikan ini."

Pemuda itu kembali duduk, mendaratkan tubuhnya diatas kursi. Gulf melirik amplop yang diletakkan Mew di atas meja, dia penasaran. Namun saat melihat logo instansi yang tertera di bagian depan amplop itu, Gulf menghela nafas.

"Aku sudah mengurusnya. Kau tinggal tandatangani na." Ucap Mew lembut. "Setelah itu kita resmi berpisah. Kau bisa menikah dengan wanita agar memiliki anak." Mew menyunggingkan senyum, "Maaf kalau aku belum bisa membuatmu bahagia."

Gulf menelan ludahnya susah payah. Kenapa harus seperti ini? Kenapa rasanya sakit? Bukankah dia sendiri yang punya pikiran untuk berpisah dengan Mew? Kenapa dia juga yang tidak rela?

"Kak."

"Ya, Gulf?"

Gulf mengambil amplop tersebut, membuka bagian dalam dan membacanya tanpa suara. Ini menyakitkan.

"Kakak serius?"

"Bukannya itu mau Gulf?" Mew menatap suaminya lekat. "Gulf mau kita berpisah, 'kan? Aku tidak bisa memberi Gulf anak. Gulf tahu itu."

"Aku sudah tidak menginginkannya lagi." Gulf balik memandang Mew, meremas kertas di tangannya sampai tidak berbentuk. "Aku ... aku hanya ingin kakak." Dia menunduk. "Aku minta maaf sudah bersikap egois, aku tidak memikirkan perasaan kakak sama sekali."

"Gulf tidak salah. Jangan minta maaf."

"Bisakah kita ... jangan berpisah? Aku tidak mau apapun lagi, aku hanya mau kakak. Bisakah?"

"Kau tahu hidup denganku tidak menghasilkan apa-apa, Gulf. Kau tidak akan bisa punya keturunan."

"Kak."

"Gulf."

Mereka saling memandang, sebelum kemudian Mew tersenyum tipis lalu bangkit dari duduknya. "Aku pamit. Terima kasih, Gulf. Sampai ketemu di sidang perceraian kita."

(A/N : Aku nggak tahu sistem nikah-cerai buat pasangan sesama itu gimana, dan adat di Thai juga kayak gimana, aku terlalu malas buat riset jadi ya sudah aku bikin kayak di Indo aja. Hehe 🙏)

Tubuh Gulf melemas, merosot semakin dalam di atas sofa. Tanpa sadar dia terisak. Kertas di tangannya yang sudah tidak berbentuk, kini semakin tidak berbentuk. Gulf mengusap pipinya secara serampangan, lalu merobek kertas lusuh itu. Dia tidak mau berpisah dengan Mew.

"Kak." Gulf berlari, mengejar mobil Mew yang sayangnya sudah tidak terjangkau oleh pandangannya. Secara membabi-buta pemuda itu masuk ke dalam rumah, mencari kunci motor miliknya dan segera mengejar Mew. Berharap masih bisa membereskan semua kekacauan yang sudah dia perbuat.

***

Demi Tuhan, tidak ada yang lebih sakit dari ini. Mew memukul setir, menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya dengan kasar.

Semuanya sudah berakhir. Kehidupan pernikahan yang dia impikan sudah hancur.

Mew gagal.

Tangannya terulur meraih ponsel di atas dashboard, menekan salah satu kontak dan menunggu panggilannya terjawab selama sekian detik.

"Ma ... " Ucap Mew parau. "Aku ... hhhh," tarikan nafasnya terasa menyesakkan. "Aku sudah mengakhiri semuanya." Lanjutnya kemudian, dibarengi setetes air mata di pipinya. "Aku gagal, Ma. Aku tidak bisa menjadi suami yang baik untuk Gulf."

"Mew. Tidak apa-apa, Nak. Mew di mana sekarang? Mew pulang, ya? Mama tunggu di rumah."

"Aku tidak pulang. Aku mau sendirian dulu na."

"Iya, sayang. Mama mengerti. Tenangkan diri Mew dulu."

"Ma, aku sayang mama."

Panggilan terputus.

Mew mengubur wajahnya di atas kemudi, membiarkan airmatanya mengalir tanpa berusaha dia cegah. Semuanya sudah berakhir. Dia dan Gulf sudah resmi berpisah. Mew tersenyum tipis. Tidak apa-apa. Gulf akan bahagia, Gulf akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Bukankah itu sudah lebih dari cukup? Asalkan Gulf bahagia, Mew rela.

Setelah berhasil menenangkan dirinya selama beberapa menit, Mew kembali melanjutkan perjalanannya meski dia tidak tahu dia mau kemana. Ke apartemennya? Tidak mungkin, dia belum siap untuk itu. Ke rumah mamanya? Dia tidak ingin bertemu siapapun, terlebih orang tuanya. Dia hanya butuh waktu untuk sendirian, untuk membersihkan luka lalu menutupnya sampai luka itu hilang dengan sendirinya.

***

"Jadi kak Mew tidak pulang ke sini, Ma?" Tanya Gulf lemah, menggenggam tangan mama Mew.

Nyonya Jongcheveevat menggeleng, mengusap tangan Gulf sembari melirik suaminya. "Mama tidak tahu dia dimana, Gulf. Mama sudah menyuruhnya untuk pulang ke sini, tapi dia bilang dia ingin sendirian. Gulf sudah ke apartemen?"

"Sudah." Gulf menghela nafas, teringat bagaimana kacaunya apartemen mereka pasca dia pulang ke rumahnya sendiri. Gulf menyesal atas apa yang dia perbuat. Semuanya kacau.

"Kak Mew tidak ada di sana. Apa mama tahu siapa saja teman kak Mew? Mungkin dia ada di tempat temannya?"

"Mew tidak punya banyak teman, Gulf. Hanya ada satu teman dekatnya." Sahut Tuan Jongcheveevat. "Boom. Tapi Boom berada di luar negeri saat ini."

"Ya Tuhan." Gulf mengusap wajahnya frustasi. "Maafkan Gulf, Ma, Pa. Gulf sudah membuat semuanya jadi kacau. Sungguh Gulf tidak ingin berpisah dengan kak Mew. Gulf ingin bersamanya, Ma, Pa."

"Mama mengerti, Gulf. Mama paham. Tapi mau bagaimana lagi? Mew sudah memberikan surat perceraian padamu kan?"

"Aku sudah merobeknya. Aku tidak mau." Gulf terisak. Nyonya Jongcheveevat memeluk menantunya dengan erat. "Tenangkan dirimu. Kita tunggu saja semoga Mew pulang secepatnya ya." Hiburnya, mengusap punggung Gulf dengan lembut.

"Ma."

"Iya, Nak?"

"Boleh aku tidur di sini sambil menunggu kak Mew pulang?"

"Tentu saja boleh. Kau itu menantu kami. Kau bagian dari keluarga ini, sayang."

"Aku sudah menyakitinya, Ma." Gulf kembali terisak. "Aku mencintainya tapi aku menyakitinya. Aku benar-benar jahat."

"Sshhh. Kau hanya sedang lupa. Tidak apa-apa. Mama dan papa tidak akan menyalahkanmu, atau menyalahkan Mew. Ini semua pelajaran untukmu, untuk kita semua. Dari sini kau bisa tahu seberapa banyak kau membutuhkan Mew."

"Sangat, Ma. Aku sangat membutuhkannya."

***
01/01/21

Happy Mewyear
Terima kasih sudah menjadi kuat selama ini.
Terima kasih sudah mampu melewati tahun yang berat kemarin.
Hope this year will be better. Hope your life full with joy.
You guys are amazing 💛

Daddies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang