16

1.1K 132 13
                                    

Kerongkongannya serasa terbakar. Sesekali wajahnya mengernyit saat cairan bening itu masuk ke mulutnya.

"Kau mau mati ya?" Boom merebut gelas dari tangan Mew, menenggak isinya sampai tandas. "Kau sudah menghabiskan 2 botol, bodoh." Lanjutnya.

Tul menggelengkan kepala melihat dua sahabatnya, matanya melirik ke arah Mew yang kacau. Sahabatnya itu sudah mabuk berat dan masih saja bersikeras untuk minum.

Mew menelponnya kemarin malam, menangis secara tiba-tiba dan membuat Tul segera menghubungi Boom lalu mencari Mew, yang akhirnya menemukan pria itu sedang berbaring di atas kap mobilnya yang di parkirkan di tepi sebuah danau. Mew menceritakan semuanya kepada mereka berdua, tentang keinginan Gulf untuk mempunyai anak juga perpisahan keduanya.

Mew berakhir menginap di apartemen Tul, dan di sinilah mereka bertiga; menghabiskan isi dompet Tul demi menghibur Mew yang sedang patah hati di bar milik Boom.

"Ya Tuhan. Berikan aku gelas itu, Boom!" Hardik Mew. Berusaha merebut gelasnya kembali namun ditangkis dengan cepat oleh Boom.

"Kau masih ingat Tuhan saat mabuk begini? Benar-benar hamba yang taat." Cibir Tul. "Aku tidak mau tanggung jawab kalau perutmu membusuk gara-gara alkohol, Mew. Hentikan sekarang."

"Kau takut isi dompetmu habis? Tenang saja." Mew merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet dan membantingnya di atas meja. "Pakai uangku. Biar sekalian aku beli tempat ini."

"Tolol." Desis Boom. "Tidak sudi aku menjualnya padamu."

"Sebaiknya aku antar kau pulang." Tul beranjak, menepuk celananya dan mengulurkan tangan pada Mew, "ayo."

"Pulang ke mana? Aku tidak punya rumah. Dia sudah pergi dariku. Haha."

Mengenaskan. Pikir Tul. Pria itu menarik lengan Mew, memapahnya untuk keluar dari bar sebelum keadaannya semakin parah. "Aku antar dia pulang dulu. Kau amankan mobilnya." Titah Tul pada Boom yang dibalas anggukan.

Sepanjang perjalanan, Mew tertidur. Tul tidak habis pikir. Kenapa Mew mau saja berpisah dengan Gulf padahal nyatanya pria itu amat membutuhkan suaminya? Mereka berdua sama-sama bodoh. Cocok.

Tul kembali memapah Mew saat keduanya sampai di rumah orang tua Mew, Tul sengaja mengantarkannya ke sini. Setidaknya akan ada yang mengurusi Mew saat lelaki itu mabuk, ketimbang dia membiarkan sahabatnya membusuk sendirian di apartemen.

Tul terkesiap saat melihat siapa yang membuka pintu, itu Gulf. Gulf pun sama terkejutnya melihat keadaan Mew yang kacau balau. Gulf menelan ludah, lalu membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Tul masuk.

"Kau yang bawa ke kamar, Gulf." Ucap Tul lembut, mengoper tubuh Mew pada Gulf, "Bicarakan lagi baik-baik na. Aku tahu kalian masih saling membutuhkan. Jangan saling menyakiti seperti ini."

Gulf mengangguk, menerima tubuh Mew. "Aku tidak tahu kalau dia akan sekacau ini, kak." Gulf menunduk, "Aku menyesal."

"Perbaiki semuanya. Masih ada kesempatan untuk itu. Kalian masih punya jalan lain selain berpisah." Tul menepuk pundak Gulf sebelum pamit. "Aku pulang dulu. Kalau kau butuh teman untuk bertukar pikir, hubungi aku."

"Terima kasih banyak, kak. Maaf merepotkan kakak."

"Bukan masalah." Tul tersenyum sebelum menghilang di balik pintu, menyisakan Mew serta Gulf di bawah temaram lampu. Dengan susah payah Gulf memapah suaminya. Sesekali terdengar suara Mew menggumam, entah mengatakan apa. Gulf ingin menangis. Dia sudah terlalu jahat.

"Kak, aku minta maaf." Ucap Gulf, membaringkan tubuh Mew dengan perlahan, lalu melepas sepatu dan juga kaus kaki serta melonggarkan sabuk di celana Mew.

Daddies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang