14

1K 115 5
                                    

Mew menyesap kopinya perlahan, menikmati saat cairan pekat itu melewati kerongkongannya. Dahinya mengernyit, pahit. Seperti hubungannya sekarang dengan Gulf.

Mew sudah membicarakan tentang apa yang diinginkan Gulf dengan keluarganya. Respon mereka semua sama; menentang apa yang diinginkan Gulf. Bahkan papanya sudah siap untuk ke rumah Gulf guna membicarakan masalah mereka, namun Mew melarangnya.

Gulf tidak mengiriminya pesan, sama sekali. Ponselnya sedari tadi mati. Hanya ada notifikasi chat dari grup kantornya yang sengaja Mew abaikan.

"Sudah gelas ke berapa kali ini?" Tanya Jom, menarik kursi kosong di samping Mew dan duduk dekat dengan kakaknya. "Bisa-bisa kau tidak tidur seminggu."

"Tidak apa-apa. Tidurpun percuma, mimpiku selalu buruk." Desah Mew, mengusap wajahnya dengan frustasi. "Mama kemana?" Tanya Mew, menelisik sekitar dan menyadari bahwa rumahnya sepi.

"Anakmu sakit, mama membawanya ke klinik. Mungkin masalah pencernaan lagi." Yang dimaksud dengan anakmu oleh Jomkwan adalah Chopper, anjing jenis pomeranian kesayangan Mew. Mew hanya mengangguk sekenanya.

"Sudah menghubungi Gulf?" Tanya Jomkwan, melirik ponsel Mew yang menampilkan wajah Gulf sebagai lockscreen.

"Dia tidak menghubungiku."

"Aku bertanya, kau sudah menghubungi Gulf?"

Mew menggeleng. "Belum. Aku menunggunya untuk—"

"Hubungi sekarang. Kirim pesan. Apapun. Tanyakan kabar, tanyakan apa dia sudah makan atau apa saja terserah."

"Tapi, Jom—"

"Sampai kiamat pun Gulf tidak akan menghubungimu duluan, Mew Bodoh Suppasit. Kau yang harus berinisiatif."

"Begitukah?" Tanya Mew dengan gamang. "Aku hanya takut dia—"

"Sini ponselmu. Gerakmu lamban sekali. Lihat, bahkan aku yang harus mengajarimu hal-hal seperti ini. Hal-hal dasar saja kau tidak paham." Jomkwan mengambil ponsel Mew secara paksa. "Passwordnya." Ujarnya kemudian.

"Tanggal pertama kali kita bertemu."

"MANA AKU TAHU ITU TANGGAL BERAPA SUPPASIT BODOH!!" Jomkwan menggeram. "Ya Tuhan jangan sampai aku nekat membenturkan kepalamu ke meja ya, kak."

"2601."

"Begitu dong." Jomkwan menekan tombol dan tersenyum saat berhasil membuka ponsel kakaknya. "Gulf, sedang apa sa— Ya Tuhan! Sebentar lagi kiamat!" Seru Jomkwan dramatis. Mew meliriknya tanpa minat, menghela nafas lalu menelungkupkan wajah ke meja.

"Gulf mengirim pesan!" Jomkwan tersenyum lebar. "Mau aku bacakan tidak?"

Mew tidak menjawab.

"Kak, bagaimana kabarmu? Bisa kita bertemu?  Oh tentu saja bisa, saya—"

Mew merebut ponselnya dari tangan Jomkwan, menghapus pesan yang belum selesai gadis itu ketik. "Jangan balas. Aku sedang tidak mau bertemu dengannya."

"Kak! Kalian harus bertemu. Kalian harus membicarakan ini."

"Tidak. Tidak ada yang perlu dibicarakan, Jom. Semuanya sudah final. Gulf ingin kami berpisah kan? Aku akan mengurus surat perceraian secepatnya."

"Kak." Jomkwan menatap kakaknya bingung. "Kau serius? Kau mau berpisah dengan Gulf?"

"Bukan aku yang mau berpisah. Tapi dia. Dia yang ingin menikah dengan wanita, Jom."

"Kak—"

"Aku mau tidur. Aku capek."

Daddies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang