12

1K 100 5
                                    

Sejak hari itu, Gulf belum mau berbicara. Yang dilakukannya hanya duduk melamun, lalu masuk ke kamar dan mengubur dirinya dalam selimut. Mew sudah kehabisan akal bagaimana caranya membujuk Gulf supaya mau berbicara dengannya lagi.

"Gulf. Mau sampai kapan Gulf begini, sayang?"

Gulf tidak bergeming, kian menenggelamkan tubuhnya dalam selimut. Mew bisa mendengar kalau suaminya ini terisak.

Demi Tuhan!

"Gulf mau kita berpisah? Gulf mau menikah dengan wanita agar punya anak, hm?"

"A-aku—"

"Iya, sayang? Gulf kenapa?" Mew mengusap kepala Gulf yang menyembul dari balik selimut. "Bilang padaku, Gulf kenapa?"

"Aku tidak mau pisah denganmu—"

Mew mendesah lega. Bebannya terangkat, dadanya tidak lagi terasa sesak.

"Tapi aku ingin punya anak kandung, kak."

Mew penasaran, siapa yang sudah meracuni pikiran Gulf sampai segininya? Pasti ada seseorang atau sesuatu yang memancing Gulf sampai dia berpikir seperti ini.

"Kak."

"Iya, sayang?"

"Antarkan aku ke rumah na. Aku ingin pulang."

Mew membawa dirinya berbaring di samping Gulf yang masih membelakanginya. Mew menelusupkan tangan kekarnya ke pinggang Gulf, memeluknya erat. "Iya, sayang. Tapi biarkan aku memelukmu dulu. Aku merindukanmu."

Gulf merasakan dadanya sesak. Dia juga merindukan Mew. Dia sadar dirinya egois. Berhari-hari dia mendiamkan suaminya. Membiarkan Mew melakukan semua pekerjaan rumah sendirian, sementara dirinya hanya duduk melamun. Tanpa melakukan apa-apa.

"Maafkan aku, kak."

"Tidak, sayang. Jangan minta maaf. Gulf tidak salah."

Mew merasakan matanya memanas. Jika memang ini yang Gulf inginkan ; berpisah dengannya, tidak apa-apa. Sakit, memang. Amat sakit.

"Gulf pulang ke rumah, tenangkan pikiran Gulf dulu. Bicarakan dengan ibu, ya?" Suara Mew terdengar serak.

Gulf mengangguk. Dia tidak sanggup untuk berbalik dan membiarkan dirinya melihat wajah Mew. "Kak."

"Hm?"

"Aku mencintaimu. Kau harus ingat itu."

"Selalu, sayang. Aku selalu ingat. Aku juga mencintai Gulf. Sangat mencintai Gulf."

Harusnya semuanya baik-baik saja. Harusnya dirinya bahagia. Tapi kenapa semuanya jadi seperti ini? Berpisah dengan Mew? Yang benar saja. Gulf tidak akan sanggup. Sampai kapanpun dia tidak akan sanggup berpisah dengan pria yang sedang memeluknya dari belakang dengan erat ini. Tangan Mew melingkar posesif di pinggangnya. Gulf menghitung, kapan terakhir kali mereka berpelukan begini? Gulf tidur di kamar terpisah beberapa hari belakangan. Tidak membiarkan Mew mendekatinya. Benar-benar egois.

Dengkuran halus yang terdengar menyadarkan Gulf. Mew sudah tertidur. Pria itu pasti lelah sekali. Lelah fisik dan juga mental. Namun Mew tetap sabar, dia tidak marah atau menunjukkan wajah lelah di depannya. Mew selalu tersenyum, mengucapkan kata-kata manis. Bahkan saat pulang tengah malam dan Gulf sudah — pura-pura — tertidur, Mew masih sempat mendatangi kamarnya dan mengecup dahinya singkat sebelum meninggalkan Gulf dengan mimpinya.

Gulf harusnya bersyukur mempunyai suami sebaik Mew. Hanya saja, terkadang manusia terlalu jauh melihat sesuatu di luar sana sampai lupa dengan apa yang sudah dimilikinya sekarang.

Daddies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang