03

1.2K 114 4
                                    

Mew menimang kertas di tangannya. Selepas makan malam dia langsung naik ke kamar dengan alasan mau mengerjakan tugas dari dosen tapi nyatanya, sudah satu jam dia hanya duduk di depan jendela yang dibiarkan terbuka, membiarkan angin menyibak rambutnya yang mulai memanjang dan mendapat protes dari Jom.

G. Kanawut Traipipattanapong.

Nama yang bagus, batin Mew. Entah kenapa Mew merasa tertarik dengan sebaris nama itu di detik pertama dia membacanya.

Biar aku coba telepon, putusnya kemudian. Menyambar ponselnya yang tergeletak dan menekan angka-angka, mengikuti apa yang tertulis di kertas. Nada sambung terdengar. Satu kali, dua kali, tiga kali ....

"Halo."

Ya Tuhan. Pekik Mew tanpa suara. "H-halo."

"Ini siapa?"

Saya Mew, "Kanawut Traipipattanapong?"

"Ya. Anda siapa?"

Mew tidak menjawab, membiarkan sambungan telepon itu diisi keheningan. Sampai semenit kemudian sambungan itu terputus, diputuskan sepihak oleh pria bernama Kanawut itu. Mew kembali meneleponnya. Nada sambung masih terdengar. Satu kali, dua kali ...

"Kalau kau tidak mau bicara sebaiknya jangan meneleponku. Aku sibuk!!!"

Ya Tuhan. Lucu sekali.

***

Gulf berdecak. Siapa orang pengangguran yang menelponnya di jam segini? Apa dia tidak tahu kalau Gulf sedang sibuk dengan setumpuk tugas yang belum juga selesai dan harus dikumpulkan besok? Ini semua gara-gara Jomkwan Jongcheveevat! Gadis itu yang membuatnya tidak segera pulang ke rumah, namun justru nongkrong di kafe demi bisa mengamati si cantik yang sudah memikat hati Gulf sejak tahun pertama dirinya menjadi mahasiswa.

Kira-kira, Jomkwan sedang apa ya? Batin Gulf sembari tersenyum manis saat memikirkan sang pujaan hati. Melupakan tugasnya sepenuhnya.

Gulf melirik ponselnya. Gelap. Belum ada tanda-tanda Jomkwan akan menelponnya.

"Apa aku salah motor? Tidak tidak. Itu motor Jomkwan. Ya. Jelas-jelas dia naik motor itu. Tapi kenapa dia belum menelponku? Ya Tuhan. Jomkwanku yang cantik, pujaan hatiku. Tidakkah kau tahu aku begitu menyuka—"

"Gulf."

Gulf menoleh. Pintu kamarnya menjeblak terbuka, menampilkan sosok Grace, kakaknya yang berdiri sambil menyilangkan tangan. "Temani kakak keluar."

"Heui. Tidak mau. Aku sibuk."

"Sibuk apanya?" Grace melangkah masuk. "Sejak tadi kau hanya melamun, terus-menerus menyebutkan nama Jomkwan dan Jomkwan. Kau pikir kakak tidak dengar dari kamar kakak?"

Gulf lupa kalau kamar mereka bersebelahan dan dindingnya cukup tipis. Baiklah. Lain kali dia akan memasang pengedap suara di kamarnya.

"Aku sibuk memikirkan Jomkwan, kak. Keluar sendiri saja, masa tidak berani?"

"Bukannya tidak berani, kakak malas sendirian. Ayo cepat. Ketimbang kau membuang waktumu dengan melamun lebih baik temani kakak."

"Arrggghhh." Gulf menutup buku dan laptopnya secara asal lalu mengikuti langkah Grace, daripada dia menjadi korban amukan kakaknya lebih baik menurut saja.

Grace mengajaknya ke minimarket, mengijinkannya memilih snack sementara gadis itu memilih kebutuhannya sendiri. Tidak buruk juga, aku jadi dapat jajanan gratis.

Sepulang dari minimarket, mereka tidak langsung pulang. Grace mengajaknya duduk di taman kompleks, menikmati kerlip bintang yang menghampar di langit yang kebetulan sedang cerah hari ini.

"Kak." Panggil Gulf.

"Hm."

"Kakak sedang patah hati ya?"

Grace menoleh ke arah adiknya, tangannya bergerak mengusak surai Gulf. "Kau bisa membaca wajah kakak, hm?"

"Katakan padaku siapa pria sialan yang sudah mematahkan hati kakak. Akan aku patahkan ujung hidungnya."

"Ohoo. Adik kecil kakak mau jadi pahlawan rupanya." Kekeh Grace. "Sayangnya dia bukan pria, Gulf."

Gulf berkedip lucu. Mencerna kalimat Grace. Satu detik, dua detik, tiga detik ....

"Dia seorang gadis juga, sama seperti kakak."

Rahang Gulf sepenuhnya jatuh ke bawah.

***

Mew menimang ponselnya, batal memejamkan mata. Sesuatu masih mengusik pikirannya ; Kanawut Traipipattanapong. Mew tidak pernah merasa sepenasaran ini pada seseorang sebelumnya. Dia penasaran, seperti apa sosok Kanawut ini? Seperti apa wajah pemuda yang berani menaruh kertas berisi kalimat rayuan dan juga nomor ponsel di motor adik— ralat, motornya? Apakah dia tampan? Apakah dia—

"Ck. Aku kira kau sudah tidur." Jomkwan masuk ke kamarnya tanpa permisi, mendudukkan diri disampingnya. "Memikirkan apa, Kak?"

"Kanawut." Jawab Mew jujur, tidak berniat menyembunyikan apapun dari Jomkwan. "Kau mengenalnya?"

"Tidak." Jomkwan menggeleng. "Mungkin anak dari fakultas sebelah. Kenapa?"

"Dia menyukaimu."

"Menyukaimu, Kak." Jomkwan terkekeh. "Disini jelas-jelas tertulis dia menyukai si pemilik motor, itu berarti kau."

"Tapi kau yang memakai motor itu, Jom."

Jomkwan mengedikkan bahu. "Sudah meneleponnya?"

"Sudah."

"Lalu?"

"Aku tidak tahu."

Jomkwan mengerutkan kening. "Ini Mew, 'kan? Mew Suppasit? Ya Tuhan. Apa yang terjadi padamu, Kak?"

Benar. Apa yang terjadi padanya? Mew juga tidak mengerti. Hanya mendengar suara dari orang yang tidak dia tahu seperti apa wajahnya, dia menjadi aneh begini.

***
09/09/20

Daddies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang