02

1.3K 115 3
                                    

Hujan turun dengan deras malam ini. Beruntung Mew sudah pulang ke rumah. Dia pulang lebih awal demi bisa makan malam dengan putrinya dan juga Gulf, meski konsekuensinya dia harus menyelesaikan pekerjaannya dengan membawanya pulang ke rumah.

Gulf ada di kamar Moon, menemani anak itu sampai tidur setelah membuatkan segelas susu untuknya. Mew meminta kopi, awalnya, tapi Gulf menceramahinya panjang lebar tentang seberapa banyak kafein yang sudah di konsumsi pria itu, dan Mew tidak punya pilihan selain mengiyakan apapun titah Gulf.

Daripada aku harus berkutat di dapur sendiri, susu juga tidak terlalu buruk.

Mew menguap. Matanya sudah tidak bisa diajak kompromi, seolah ada sesuatu yang menggelayut di kelopaknya. Tapi tumpukan dokumen yang belum dia crosscheck memintanya untuk tetap menjaga kesadaran.

"Boo."

"Hm." Mew menoleh. Gulf sudah kembali dari kamar Moon, berdiri di pintu dengan tangan yang menyilang di dada. "Kalau kau ngantuk, tidur saja. Jangan paksakan diri."

"Tidak apa-apa, tinggal sedikit lagi. Moon sudah tidur?"

"Sudah." Gulf berjalan mendekat. "Dia menolak kunyanyikan lagu, lebih memilih memutar rekaman suaramu."

Mew tertawa kecil, menarik Gulf untuk duduk diatas pangkuannya. "Akui saja, suara suamimu memang sebagus itu, 'kan?"

Gulf memutar bola matanya. "Iya. Suaramu memang sebagus itu. Puas kau?"

Mew terbahak, menyembunyikan wajahnya di dada Gulf, menghidu aroma khas yang menguar dari tubuh pasangannya itu. Mew kembali bersyukur. Bersyukur dengan hadirnya Gulf di kehidupannya. Jika hari itu Gulf tidak menaruh kertas berisi nomor ponselnya, mungkin mereka tidak akan bisa duduk berpangkuan seperti ini. Atau menghabiskan malam-malam panas dengan keringat yang membasahi tubuh dan selimut mereka.

"Bii." Ucap Mew.

"Ya?"

Mew menarik laci meja kerjanya, mengambil sesuatu dari dalam sana. Benda yang membuat keduanya saling berpandangan lalu melempar senyum di tengah rinai hujan yang kian gencar mengguyur.

***

[Flashback]

7 tahun silam ...

"Gulf, kau yakin?" Tanya Mild, celingukan melihat keadaan sekitar. Meyakinkan kalau aksi mereka tidak akan ketahuan siapapun.

"Kau ini berisik sekali sih! Diam saja, bisa 'kan?!" Gertak Gulf. Ikut menelisik parkiran kafe tempat mereka nongkrong sepulang kuliah.

"T-tapi, Gulf, kau tahu 'kan ini motor siapa?" Tanya Boat. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Jomkwan Jongcheveevat, the most wanted girl in this university. Aku tahu, Boat. Kau pikir aku tidak mencari tahu lebih dulu siapa pemilik motor ini?"

"Apa ini akan berhasil? Aku paham bagaimana rasanya menjadi satu-satunya single di antara rekanmu yang sudah berpasangan, Gulf. Tapi ini terlalu—"

"Terlalu apa?"

"Aku tidak yakin ini akan berhasil." Celetuk Mild.

"Sudahlah. Kalian tinggal lihat saja. Jomkwan pasti akan menjadi kekasihku. Dan jika itu terjadi, aku akan mentraktir kalian selama seminggu penuh."

Demi mendengar kata traktir, telinga Boat langsung berdiri dan menyalurkan semangat ke matanya. Dia mengangguk antusias, menepuk pundak Gulf. "Aku setuju. Aku doakan rencanamu berhasil, Gulf."

"Mendoakan demi traktiran. Teman macam apa kau, huh?" Sungut Mild.

"Sudahlah. Yang penting kita doakan saja Gulf berhasil."

Gulf menyeringai, mengeluarkan secarik kertas lalu menuliskan sebaris kalimat dan nomor ponselnya kemudian mengelipkannya di helm pink yang bertengger di atas spion motor itu.

Ketiganya lalu beranjak setelah memastikan tidak ada yang melihat aksi mereka. Masing-masing dari mereka memiliki pikiran yang sama : apakah ini akan berhasil?

"Ngomong-ngomong, Gulf, kenapa ya Jomkwan lebih suka naik motor ke kampus ketimbang naik mobil? Padahal 'kan dia kaya." Tanya Mild saat mereka berjalan keluar dari parkiran kafe, menelusuri trotoar menuju apartemen mereka.

"Dia hanya tidak mau pamer." Jawab Boat. "Orang yang benar-benar kaya tidak akan sombong dan pamer, kau tahu?" Boat menyeruput minumannya. "Ayo kita taruhan, berapa persen peluang Jomkwan akan menelponmu, Gulf."

"Kurang dari sepuluh persen." Sahut Mild.

"Kau ini, ahli sekali ya mematahkan semangat orang." Gulf berdecak. "Sembilan puluh persen."

"Heui! Kau bahkan tidak yakin seratus persen! Payah."

***

"Kak." Jomkwan menghampiri kakaknya yang sedang duduk diatas piano, mengulurkan kunci motor dengan gantungan panda. "Terima kasih."

"Err simpan saja. Daripada besok kau menggedor kamarku demi kunci itu lagi." Mew menghentikan kegiatannya, menggeser duduknya agar sang adik bisa duduk disampingnya. "Bagaimana kuliahmu?"

"Lancar." Jomkwan mendaratkan tubuhnya diatas kursi, memangku helm pink miliknya. "Aku lapar."

"Kau bilang kau mampir ke kafe, kau tidak makan disana?"

Jomkwan menggeleng, "aku hanya minum kopi, dan sekarang aku lapar. Kakak sudah makan? Temani aku makan, ya?"

Mew mengusak rambut adiknya gemas. "Sudah. Ayo. Kakak temani kau makan. Taruh dulu helmmu, cuci tangan dan kaki."

"Iya, Mr. Mew -clean- Suppasit."

Mew beranjak dari kursi mengikuti Jomkwan yang sudah berjalan lebih dulu. Langkahnya terhenti, terpaku pada secarik kertas yang ada di lantai. Seingatnya tadi, dia sudah menyapu bersih seluruh rumah, kenapa ada sampah yang tertinggal? Apa sampah milik Jomkwan?

"Jom."

"Hm."

"Lain kali jangan membawa pulang sampah, ya."

"Apa? Aku tidak—"

"Ini." Mew menyodorkan kertas lecek ke arah Jomkwan.

"Ohh. Aku menemukannya di motor. Itu punyamu."

"Punyaku?"

"Iya."

Mew mengernyit bingung, membaca barisan kalimat yang tertulis di kertas itu, lalu senyumnya tertarik secara sempurna.

Sepertinya ini akan menarik.


***
04/09/20

Daddies Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang