07. Jangan Harap!

468 64 9
                                    

Solar menghembus napas lega. Sejak beberapa hari yang lalu, Gempa sempat kritis. Mereka hampir putus asa. Namun, keajaiban kembali pada mereka.

Akhirnya keadaan Gempa sudah mulai membaik. Gempa kini tersenyum lagi dan sesekali ia tertawa mendengar guyonan Blaze dan Taufan. Ice juga ikut bercerita dengan Gempa dan itu membuat Gempa sedikit melupakan kesedihannya.

Solar sangat bersyukur dengan hal itu. Ia tersenyum melihat keluarga kecil itu sedang bersendau gurau dari balik kaca pintu.

"Dokter Solar?" sapa seorang Dokter mengenakan name tag bertuliskan 'Yaya'. Solar yang sedikit terkejut, langsung tersenyum. "Ya?" jawabnya ramah.

Yaya menggeleng lembut. "Tidak ada, hehehe. Saya hanya ingin mengunjungi Gempa," Solar hanya mengangguk dan mempersilahkan Yaya masuk.

Setelah itu, Solar pun pergi ke ruang pribadinya. Namun, ia menghentikan langkahnya saat melihat Halilintar dihadapannya.

Raut wajah senangnya berubah menjadi kekesalan. Tangannya ia kepal dengan erat, menahan kemarahan pada pemilik netra merah darah itu. Kenapa ia harus bertemu dengan seorang pembunuh ayahnya?!

"Sol, kita harus bicara," ujar Halilintar. Solar tidak menghiraukannya dan memilih melanjutkan perjalanannya.

***

"Hai, Gem! Bagaimana keadaanmu sekarang?" seorang perempuan berhijab merah muda dengan jas putih yang ia kenakan menyapa Gempa dengan senyuman.

"Hai, Yaya! Udah lumayan membaik," ujar Gempa dengan senyum tipis.

"Kak Yaya!! Bang Upan kirim salam, tuh!" celetuk Blaze tiba-tiba. Alhasil ia mendapat jitakan penuh kasih sayang dari Taufan dan juga Yaya. "Kok malah dijitakin?!" rengek Blaze mengusap kepalanya. Gempa hanya tertawa kecil melihat tingkah saudara dan juga temannya.

"Oh iya, Thorn kirim salam sama kamu, 'Ya," kalimat yang terlontar dari mulut Gempa berhasil membuat mereka terdiam.

"Kenapa? Kalau dia ada di sini, pasti dia akan menyapamu, bukan? Aku hanya mengatakannya saja," jelas Gempa dengan setetes air mata sudah jatuh di pipinya.

Ia teringat lagi dengan adiknya yang bernama Thorn itu. Sosok yang ceria, penyayang dan juga ramah, membuat orang akan sangat merindukan kepergiannya dulu.

Yaya yang terdiam mulai menampakkan senyuman indahnya. "Dan aku pasti akan menyubit pipinya gemas sampai kamu memarahiku, Gem," balas Yaya. Gempa tersenyum dan mengangguk.

"Hahaha, itu sudah pasti! Mungkin kalau Thornie ada di sini, ia pasti langsung memelukmu dan banyak bercerita denganmu," setetes air mata kembali jatuh. Gempa dengan cepat menghapusnya.

Yaya pun tampak mengucek matanya seperti sedang menghapus air mata. Namun, bibirnya tetap menampakkan senyum. Senyum tipis yang sangat penuh makna.

Yaya hanya mampu mengangguk. Mengingat gadis itu sering membuatnya menyesal harus meninggalkannya untuk meraih cita-citanya sebagai seorang Dokter.

Walau terkadang ia juga dapat bertemu dengannya, tapi tentu saja hanya dalam waktu yang singkat.

"Hmm," gumam Yaya melihat jari jemarinya. Teringat saat ia mengajarkan Thornie menghitung angka berpangkat tiga. Sungguh menyenangkan.

Helaan napas terdengar dari mulut pemuda bermanik cokelat keemasan itu.

"Aku juga ingin mendengar celotehannya lagi," lirih Gempa.

LIVE  or  EVIL (Boboiboy Fanfiction)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang