Melo memasuki sekolah. Sekarang sudah jam enam lewat. Padahal ia keluar rumah tadi saat keadaan masih gelap, sekitar jam lima lewat mungkin. Kira-kira ia di dalam angkot selama kurang lebih setengah jam. Jalanan hari ini sangat macet. Maklum, Jakarta.
"Tas lo kebuka."
Suara dingin perempuan itu membuat Melo menoleh. Dia gadis berkacamata yang waktu itu.
Melo memeriksa tasnya. Benar, tas hitam bergambar awan-awan itu terbuka. Melo lupa menutupnya kembali setelah membayar angkot tadi. Melo masih menatap gadis berkacamata itu yang juga menatapnya, dingin. Detik selanjutnya gadis itu mempercepat langkah, meninggalkan Melo.
"Makasih," ucap Melo. Namun sayang, si gadis berkacamata tidak merespons. Padahal Melo sangat yakin si gadis berkacamata mendengar suaranya. Pertama kali Melo mendengar dia berbicara. Walaupun hanya tiga kata.
Melo jadi berpikir lagi. Apa gadis berkacamata itu orangnya pendiam, atau sombong, atau apa? Si gadis berkacamata selalu menatapnya dingin, seperti tak suka pada Melo. Ah, Melo hampir lupa. Dia 'kan gagap. Mungkin karena alasan itu.
~¤¤¤~
Tap tap tap
Bunyi itu berasal dari sepatu seorang gadis berkepang dua yang menyentuh lantai. Koridor sekolah masih sepi. Sangat sepi. Apa jangan-jangan ..., selain satpam-satpam sekolah, hanya ada dia dan gadis berkacamata di sekolah ini? Padahal hari ini adalah hari senin.
Melo jadi waswas. Takutnya tiba-tiba ada hantu muncul. Dan kali ini dia lebih berhati-hati. Dia tidak mau lagi merusak pot bunga. Cukup satu kali!
Melo melewati pembelokan koridor. Kelas X IPA 3 sudah di hadapannya. Sial! Sevan dan kedua temannya berdiri di depan kelas. Bahkan mereka bertiga menengok ke arah pembelokan koridor dari dirinya belum muncul, pasalnya derap langkah kaki Melo menggema di seluruh ruangan.
Apa mungkin isi pikiran mereka sama dengan Melo? Hantu.
Kemudian terdengar tawa dari mereka.
"Udah parno aja lo berdua," kata Rafa di sela-sela tawa.
"Ngaca, Raf!" sahut Sevan dan Dio bersamaan.
"Heh, gagap! Lo kenapa ada di sini?" tanya Rafa setelah tawa mereka berhenti.
Pertanyaan konyol macam apa itu? Jelas dia siswi di sini!
Melo menghentikan langkah. Sedikit lagi ia maju maka ia akan bersentuhan dengan lelaki galak di depannya ini.
Melo mundur satu langkah. Ia melewati sebelah kiri Sevan. Namun lagi-lagi lelaki itu menghalanginya. Melo beralih ke sebelah kanan. Lagi dan lagi lelaki itu menghalanginya.
"Apa?" tanya Melo nyaris menantang.
"Wah, udah berani ya lo," heboh Rafa.
Sevan hanya diam. Semuanya diam. Beberapa detik kemudian, Sevan berjalan memutari Melo. Membuat gadis itu semakin risi.
"Gue gak nyari ma-ma-masalah."
"Siapa bilang lo nyari masalah?" Sevan berhenti tepat di belakang Melo. Lelaki itu menarik kasar dua kepang rambut Melo ke atas dan menggulung dua kepang tersebut jadi satu sembari berkata, "Lo gak perlu repot-repot nyari masalah. Setiap hari juga masalah ngincar lo."
Tap tap tap
Keempat manusia itu refleks menoleh ke pembelokan koridor. Tak lama setelah itu Bu Rara muncul dari sana. Bu Rara-guru BK.
Sevan langsung melepaskan rambut Melo. Dasar muka dua!
Tak ada yang angkat suara. Bu Rara juga diam, menatap penuh selidik mereka berempat. Bu Rara berbalik arah dan berlalu dari sana.
"Tuh guru kenapa?" tanya Rafa, sayangnya tak ada yang menjawab.
Melo kemudian berlari dari sana, menyusul Bu Rara. Ia membatalkan niat ke kelasnya. Gara-gara tiga hantu.
~¤¤¤~
Upacara bendera sudah berakhir. Semua murid memasuki kelas masing-masing. Begitu juga guru-guru.
Kini Melo berada di kelasnya. Baru ada beberapa orang di dalam. Gadis itu duduk lesu. Wajah menyebalkan Sevan dan teman-temannya tadi masih terngiang-ngiang.
"Kurang kerjaan ba-banget," kesal Melo.
Di pintu kelas, Melo bisa melihat Alan. Dia baru tiba di kelas. Dia menuju bangkunya lalu duduk di sana. Alan menengok bangku sebelah. "Pagi Mel."
Melo tersenyum kecil. "Pagi juga."
Hening
"Oh iya." Melo membuka tas bergambar awan-awan itu dan mengambil sesuatu di sana.
Jaket hitam
Melo mengembalikan barang tersebut. Tentunya dalam keadaan sudah di cuci.
"S-s-sekali lagi makasih ya buat yang ke-ke-kemarin."
"Udah lo bilang kemarin Mel," balas Alan lalu tertawa kecil.
"Ya 'kan se-se-sekali lagi." Melo ikut tertawa kecil. Jujur, ia masih malu dengan kejadian kemarin.
"Anak kelas banyak gini apa gunanya? Gue mulu, gue mulu. Kuasai bahasa inggris doang belagu. Tuh guru emang gak ada benarnya. Dikira gue gak ada kerjaan apa? Males banget." Suara cerewet dari mulut Dono menyita perhatian semua orang di kelas. Laki-laki itu muncul di depan pintu dengan setumpuk buku di tangan. Dia meletakkan tumpukan buku tersebut ke meja guru dengan kasar.
Dari jauh bisa ditebak kalau buku-buku itu adalah buku paket bahasa inggris. Dono pasti disuruh Bu Ani. Pelajaran pertama di hari senin kelas X IPA 2 memang bahasa Inggris.
"Anjir Don, kurang ajar bener tuh mulut."
"Nyinyir mulu."
"Giliran sama Bu Ani baru kayak gitu ya, Don?"
"Parahmen! Laporin Bu Ani woe."
"Namanya juga Dono. Berani nyinyir cuma di belakang. Kalau di hadapan Bu Ani? Coba aja nyinyir gitu."
"Auto sariawan dadakan."
Kelas X IPA 2 langsung rame dengan teriakan dan tawa yang sahut-menyahut.
"Hahaha gue gak kuat please." Itu suara Dono. Perasaan dia yang jadi bahan tertawaan. Kenapa malah dia yang ikut ngakak sampai pegang-pegang perut? Dono bahkan terduduk ke lantai, tidak kuat tertawa.
Perasaan tidak lucu-lucu amat deh.
~¤¤¤~
T B C
KAMU SEDANG MEMBACA
Piano Melo (On Going)
Teen Fiction"Permainan hidup itu ibarat piano. Tuts putih sebagai kebahagiaan. Tuts hitam sebagai kesedihan. Jika salah satu di antara keduannya tidak berperan, maka alunan nada musik yang dihasilkan tidak akan selaras." Ini bukan petunjuk tentang cara memainka...