Kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS), yang sekarang di kenal dengan sebutan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS), di SMA Harapan Bakti baru saja dibuka empat jam yang lalu ..., tepatnya jam 08:00. Dan sekarang, acara di isi oleh anggota OSIS. Apa yang terlintas di benakmu ketika mendengar nama organisasi tersebut? Sekumpulan kakak kelas yang berprestasi? Yang sombong? Yang kejam? Atau?
"Kamu!"
Melo terkesiap. Dirinya baru saja ditunjuk oleh salah satu anggota OSIS yang berdiri di depan.
"Saya?" tanya Melo sembari menunjuk dirinya sendiri dengan jari jempol.
"Iya, kamu. Silahkan berdiri dan perkenalkan dirimu," jelas salah satu anggota OSIS itu.
Melo yang sedari tadi melamun, hanya mampu menurut. Inilah akibat dari mengambil tempat duduk paling depan. Ia langsung berdiri. Seketika ia teringat satu hal. Hal yang menjadi ketakutan terbesarnya saat memasuki sekolah ini. Berbicara. Ya, berbicara. Ia paling tidak bisa berbicara di depan orang banyak. Gagapnya sangat parah dalam keadaan gugup. Bagaimana nanti kalau mereka semua menertawakannya? Lalu menghinanya? Lalu--
"Jangan melamun! Waktu kita tidak banyak," tegur salah satu anggota OSIS.
"Cuma sebut nama lengkap sama nama panggilan saja, susahnya dimana?" timpal anggota OSIS yang berambut pirang.
Melo kikuk. Ia berusaha mengumpulkan keberanian. Bagaimana pun juga, pada akhirnya mereka akan tahu bahwa dia gagap.
Melo menarik napas pelan, lalu mengembuskannya. "Perkenalkan, na-na-nama sa-sa-saya Melo Melia. P-p-p-p-panggil sa-sa-saja Melo."
Hening. Lima detik kemudian, tawa manusia-manusia di aula ini pecah. Terkecuali para anggota OSIS, mungkin.
Melo ingin berlari sekarang juga. Malu? Ya, jelas! Namun, ia bisa apa? Hanya menunduk saja yang bisa ia lakukan saat ini. Sumpah demi apapun, Melo benar-benar malu.
~¤¤¤~
"Eh, kenapa masih di ruangan? Sekarang kan waktu istirahat."
Suara lembut itu membuat Melo mendongak. "Ti-tidak, bu. Saya hanya ma-ma-malas keluar." Ya, bel istirahat kedua sudah dibunyikan sepuluh menit yang lalu.
"Oh. Kalau begitu, kalian berdua tolong bantu bawa kertas-kertas ini ke ruang guru ya," ucap guru tersebut sambil mengangkat tumpukan kertas dari meja.
"Baik, bu." Melo beranjak mendekati guru tersebut.
Eits, tunggu dulu! Apa kata ibu guru tadi? Kalian berdua? Melo sontak menoleh ke belakang. Seorang lelaki berjalan mendekat ke arahnya. Ralat. Ke arah guru di depan. Bisa Melo pastikan dia adalah siswa baru juga. Terlihat dari seragam SMP yang dikenakan lelaki tersebut. Melo mengernyit. Mengapa ia merasa tak asing dengan wajah itu? Ah, sudahlah. Lupakan!
"Letakan di meja saya! Nama saya Anisa Karasti. Biasanya saya dipanggil bu Ani. Semua meja di ruang guru ada papan nama masing-masing guru. Understand?" jelas guru bernama Ani itu setelah kertas-kertasnya berpindah tangan.
Melo dan laki-laki yang berada di sebelahnya mengangguk, lantas segera menuju ke ruang guru.
~¤¤¤~
Melo berjalan menuju kelas. Bel masuk baru saja berbunyi, membuat gadis itu mempercepat langkah. Mungkin hanya dia, murid baru yang masih berkeliaran di luar. Ini karena jarak ruang guru dengan aula SMA Harapan Bakti terlalu jauh. Laki-laki itu ... ah, Melo hampir melupakannya. Kira-kira dia sudah lebih dulu ke kelas atau--
"Tunggu!"
Melo berbalik badan. Rupanya lelaki tadi. Baru saja Melo memikirkan dia.
"Lo yang di pasar kemarin, kan?" tanyanya setelah berhenti berlari.
Melo terdiam. Ia sedang mengingat-ingat. Memorinya berputar ke kemarin pagi. Di pasar minggu. Yap, ia ingat. Akhirnya ia bersuara, "Hm, gu-gu-gue i-i-i-ingat. Lo yang kemarin--"
"Gue yang kemarin nabrak lo, kan?" potong lelaki itu cepat. Melo mengangguk. Lebih baik ia tidak usah bicara lagi. Orang di sampingnya ini pasti sebentar lagi akan menertawakan gagapnya. Dengar, kan? Sebelum Melo selesai bicara, dia sudah memotongnya. Kalian menganggapnya biasa. Tapi, bagi Melo tidak. Ini penghinaan!
Keduanya diam. Sebentar lagi mereka akan sampai di aula. Laki-laki itu kemudian mengangkat suara, "Yang kemarin ... maaf, ya. Gue gak sengaja."
Melo mengerutkan alis, lantas menatap lelaki di sebelahnya ini yang lebih tinggi darinya. Terpaksa Melo harus bicara lagi, "Kemarin gue ya-ya-yang na-nabrak lo. Bukan lo yang nabrak gu-gu-gue."
Lelaki itu terdiam. Apa karena bicara Melo yang ketus tadi? Tiba-tiba dia berhenti. Membuat Melo ikut berhenti.
"Kenalin, gue Alan Varrelio. Panggil Alan aja," ucapnya sembari menjulurkan tangan.
Melo diam beberapa saat. Akhirnya ia menjabat tangan lelaki itu. Ya, sebagai tanda perkenalan. "Melo Melia."
Melo dan Alan melanjutkan jalan mereka yang tertunda akibat perkenalan itu. Hanya perkenalan nama. Catat, 'hanya perkenalan nama'!
"Lo pilih jurusan apa?"
"Ipa," jawab Melo singkat.
Alan manggut-manggut. Ia tahu, gadis berkepang dua di sebelahnya ini merasa risih. Gadis itu pikir ia sedang menghina kekurangannya. Tapi sebenarnya tidak. Gadis itu salah. "Kita udah terlambat," ujarnya.
Melo memutar bola mata malas. Ingin sekali ia membantah dengan berkata 'bukan terlambat, tapi sangat terlambat.' Tapi tenang. Melo tidak mungkin mengatakannya.
Kini keduanya berdiri di pintu masuk aula. Semua pandangan tertuju pada mereka. Salah satu anggota OSIS berjalan mendekati mereka berdua. Melo merutuki nasibnya. Kenapa ia harus bertemu lelaki cerewet ini?
"Sebagai hukumannya ..., kalian berdiri di lapangan selama lima belas menit!"
~¤¤¤~
T B C
KAMU SEDANG MEMBACA
Piano Melo (On Going)
Teen Fiction"Permainan hidup itu ibarat piano. Tuts putih sebagai kebahagiaan. Tuts hitam sebagai kesedihan. Jika salah satu di antara keduannya tidak berperan, maka alunan nada musik yang dihasilkan tidak akan selaras." Ini bukan petunjuk tentang cara memainka...