"Ada apa itu?"
"Ini Pak, dia pecahin pot kaca."
Deg
"Mampus!" Melo menggigit bibirnya, takut. Kenapa hari ini sial sekali? Baru juga beberapa minggu menjadi siswi di sini. Eh, sudah dapat hukuman. Pertama, datang terlambat. Dan sekarang? Melo tidak bisa menebak hukuman apa yang akan diberikan padanya sehabis ini.
"Ya ampun. Apa yang sudah kamu lakukan?"
Apa yang sudah kamu lakukan? Memangnya si guru tidak bisa lihat? Atau cuma mau basa-basi? Ayolah Melo, kenapa dia sungguh lancang hari ini?
Perlahan Melo berdiri. Ia berbalik menghadap guru itu. Oh, ternyata cuma Pak Tono, salah satu satpam di sekolah ini. Tapi sama saja!
"I-i-ini Pak ... anu ... itu--"
"Ikut saya ke ruang BK!" perintah Pak Tono kemudian berlalu lebih dulu.
Melo ternganga. Masalah sekecil ini dibawa-bawa ke guru BK? Dengan perasaan dagdigdug, Melo mengikuti langkah pria paruh baya itu.
Namun baru beberapa langkah, Pak Tono berhenti kemudian berbalik. Entah mengapa raut wajah tegasnya tadi hilang seketika. "Saya lupa kalau belum ada satupun guru yang datang."
~¤¤¤~
Melo meletakkan karung berisi pecahan pot kaca di antara karung-karung lain yang berjajar rapi. Sekarang Melo berada di TPS (Tempat Penampungan Sementara) SMA Harapan Bakti yang terletak di belakang sekolah. Jangan tanya tentang reaksi siswa siswi lain saat melihat ia mengumpulkan pecahan pot tersebut! Benar-benar memalukan.
Ting Ting Ting
Bunyi bel sekolah masih terdengar nyaring, walau dari kejauhan. Melo mengembuskan napas kasar. Tuh kan ..., gara-gara menunggu kedatangan Bu Rara, banyak waktunya yang terbuang. Iya Bu Rara, guru BK sekaligus salah satu guru killer itu. Bahkan Melo tidak diizinkan masuk ke kelasnya.
Melo mendaratkan bokongnya di salah satu garden bench di pelataran belakang sekolah ini. Setelah sebelumnya mencuci tangan di salah satu keran air. Ia mengeluarkan sebuah buku tipis dari tas. Menjadikan buku itu sebagai kipas, mengipasi wajahnya yang bercucuran keringat. "Panas."
~¤¤¤~
"Dono! What are you doing?"
Dono terperanjat. Beberapa pena yang ia susun sedari tadi jatuh berhamburan di lantai. "Ti-tidak ada, Bu."
"Berapa kali saya bilang, jangan gunakan bahasa lain selain bahasa inggris di jam saya!"
"Eh, iya. Maaf Bu, saya lupa," ucapnya sambil cengar-cengir tidak jelas. Kemudian mebungkuk mengumpulkan pena-pena miliknya.
"Lupa-lupa. Memangnya kamu sudah tua?"
"Ibu juga pakai bahasa Indonesia tuh," lanjut Dono. Sedangkan siswa siswi lain di dalam kelas X IPA 2 menawan tawa sedari tadi.
Bu Ani, guru bahasa inggris di kelas sepuluh itu menatap garang Dono. Bisa-bisanya ada murid seperti itu. Ingin sekali ia menjewer telinga anak itu.
Ting Ting Ting
Semua siswa kelas X IPA 2 mengembuskan napas lega. Bel istirahat pertama baru saja berbunyi. Akhirnya mereka bisa bebas dari guru bahasa inggris tersebut. Maksudnya bebas tidak menggunakan bahasa inggris. Mmm bukan bebas juga sih.
Di pojok kelas, di kursi urutan kedua. Alan mengemas buku-buku dan benda lain di atas mejanya, lalu memasukan ke dalam tas. Ia menatap kursi kosong di sebelahnya.
"Kenapa lo gak masuk hari ini?" gumam Alan. Ia menghampiri kursi kosong itu. Entah apa yang ia lakukan. Tenang saja, Bu Ani sudah keluar kelas dari tadi.
Tak sengaja ia menatap jendela. Tepatnya di luar jendela. Iris coklat itu tak sengaja menangkap keberadaan seorang gadis di pelataran belakang sekolah. Ya, jendela itu menghadap belakang sekolah. Dan gadis itu duduk sendirian di sana. Tunggu! Alan seperti tidak asing dengan ransel di pangkuan gadis itu. "Melo?"
Apa yang dia lakukan di sana, di jam istirahat pertama ini?
~¤¤¤~
Melo memasukkan kembali buku tipis yang ia gunakan untuk mengipas tadi ke dalam ransel. Berniat meninggalkan tempat ini.
"Melo."
Mendengar namanya dipanggil, ia langsung menghentikan gerakan. Kemudian menoleh ke sumber suara. Dari kejauhan seorang lelaki berjalan ke arahnya.
Melo mengernyit. "Alan?"
Benar itu Alan. Lelaki itu menghampiri Melo dan duduk di samping gadis itu.
"Kenapa gak masuk kelas? Gue kira lo gak ke sekolah hari ini."
"Gue dihukum."
"Dihukum?"
Melo mengangguk, lalu menceritakan kejadian tadi pagi.
"Lo gak ke ka-ka-kantin?" tanya Melo.
"Gak."
"Gak la-la-lapar?"
Alan menggeleng. "Lo sendiri?"
Melo juga menggeleng. Hening beberapa saat. Keduanya sama-sama menatap lurus ke depan. Hingga Melo teringat sesuatu. Gadis itu membuka ranselnya lalu mengambil kotak bekal di sana.
Ia membuka kotak itu. "Gu-gue bawa ku-ku-kue donat."
Alan menoleh, melihat kotak bekal berisi dua kue di tangan Melo. Laki-laki itu kemudian tersenyum.
Melihat Alan hanya senyum-senyum, Melo menyodorkan kotak tersebut. "Ambil!"
Alan tidak merasa lapar sama sekali, namun dia tidak rela menolak. Laki-laki itu kemudian mengambil satu kue.
Keduanya menikmati kue donat.
"Lo suka donat?"
Melo mengangguk
"Kenapa."
Melo hanya mengangkat kedua bahu, pertanda tidak tahu. Ia hanya merasa pertanyaan itu tak perlu dijawab.
Ehm! Sebenarnya tidak begitu. Sebenarnya Melo tahu alasannya menyukai kue bulat ini. Ia tahu betul. Kejadian waktu itu ... ah, lupakan!
"Lo gak ma-malu?" Melo memasukkan kembali kotak bekal yang sudah kosong ke dalam ransel.
Alan mengerutkan dahi. Apa maksud gadis itu?
Karena tak ada jawaban, Melo mengulangi pertanyaannya. Tepatnya memperjelas. "Lo gak malu temanan sa-sa-sama gue?"
"Kenapa?"
"Lo tahu se-se-sendiri 'kan? Ke-ke-kekurangan gue bikin semua orang p-p-pada hina gue, ngejauhin gue. Ke-kenapa lo...." Melo menghentikan ucapannya karena tiba-tiba tangannya digenggam. Dan pelakunya adalah Alan.
"Gue gak--"
Ting Ting Ting
~¤¤¤~
T B C
KAMU SEDANG MEMBACA
Piano Melo (On Going)
Teen Fiction"Permainan hidup itu ibarat piano. Tuts putih sebagai kebahagiaan. Tuts hitam sebagai kesedihan. Jika salah satu di antara keduannya tidak berperan, maka alunan nada musik yang dihasilkan tidak akan selaras." Ini bukan petunjuk tentang cara memainka...