Sevan mengenakan kaus oblong berwarna hitam. Malam ini ia sendiri di rumah besar ini. Papa dan Mamanya keluar negeri beberapa hari yang lalu karena urusan perusahaan. Sebenarnya ada Bi Luna, pembantu mereka. Tapi setiap malam, wanita setengah baya itu harus kembali ke rumah karena anaknya yang masih duduk di bangku SD sendirian di rumah.
Lalu bagaimana dengan Sevan? Dia 'kan sendirian juga. Hmm, dia kan sudah besar.
Sevan menjatuhkan tubuhnya ke kasur king size kesayangannya. Ia menghidupkan smartphone, lalu menyalakan data. Banyak notifikasi dari beberapa media sosial, terutama instagram dan whatsapp. Ia membuka instagram, banyak komentar dari postingan yang baru diposting tadi sore. Ia tak selera membaca komentar-komentar tersebut, karena hanya berisi bacotan saja menurutnya. Banyak yang cari perhatian lewat komentar di postingannya. Bahkan ada yang berani DM di akun instagramnya hanya buat cari perhatian. Dan parahnya lagi, followers Sevan di indtagram didominasi oleh kaum perempuan. Dasar!
Efek punya wajah tampan. Setiap orang yang melihatnya mengakui kalau dia tampan. Sevan juga tahu. Bukannya Sevan percaya diri amat ya, ini memang kenyataan.
Ia beralih membuka aplikasi hijau. Ya, whatsapp. Sebenarnya ia memutuskan untuk tidur saja. Tapi sepertinya ia harus membuka sebuah grup di whatsapp terlebih dahulu.
Kumpulan Kaum Receh
Rafa
P
P
P
P
P
P
P
P
P
P
Woi
Wiii
Parah!
19:03Dio
Apa?
19:04Rafa
P
P
P
Woi
19:04Anda
Paan sih.
19:20Rafa
Wah parah!
19:20Dio
Apa nyet?
19:20Rafa
@Dio santuy.
Sepi kayak kuburan.
19:21Dio
🐒
19:21Anda
Malas banget.
19:21Dio
Kenapa lagi lo?
19:22Anda
Gak kenapa-napa.
19:22Dio
Oh.
19:23Rafa
Kumenangis....
19:23Dio
@Rafa gajelas!
19:24Rafa
@Dio Lanjut bego!
19:24Dan percakapan masih berlanjut. Tidak jelas memang. Apalagi nama grupnya, sesuai sekali dengan isinya. Grup ini dibuat oleh Rafa, dan dia sendiri yang membuat nama grup tersebut. Meski Sevan dan Dio juga dijadikan admin, tapi tidak ada yang mengubah nama grup sampai detik ini. Itulah mereka, saling berkata kasar hanya untuk hiburan. Walau saling kenal baru beberapa minggu, mereka sudah sangat akrab. Entah kenapa, mereka merasa cocok satu sama lain.
~¤¤¤~
Melo menyisir rambut. Ia menunggu pesan dari Alan. Sampai saat ini Alan masih belum membaca pesan yang ia kirimkan tadi sore.
"Eh, tunggu! B-b-besok 'kan gak a-ada jam matematika."
Melo meletakan sisir. Ia berjalan ke ruang tamu. Rumah mereka sangatlah sempit, bahkan di ruang tamu hanya terdapat dua kursi. Kedua kursi kayu itupun sudah rapuh dimakan rayap. Melo duduk di sana. Aryo sudah keluar beberapa menit yang lalu.
"Gu-gue lapar. Papa u-udah masak b-belum, ya? Kok Papa gak ngomong s-s-sesuatu ke Mel sebelum pergi?"
Melo beranjak ke dapur. Ia membuka tutup saji. Kosong. Tidak ada makanan, bahkan nasi pun tidak ada. Bibir gadis itu melengkung ke bawah. Air matanya terkumpul. Ia berlari ke kamar, mengunci pintu lalu menenggelamkan wajahnya dalam selimut. Jangan tanya kenapa Melo tidak masak sendiri! Melo sama sekali tidak tahu cara masak. Semenjak mamanya meninggal, Aryo yang selalu memasak.
"Mama, hiks...."
Ah, sial! Melo jadi ingat kejadian itu. Kejadian saat mamanya ditabrak lari. Bahkan Melo lupa nama orang yang sudah melahirkan dirinya tersebut. Setiap Melo bercakap-cakap dengan Aryo, ia tidak lagi menyinggung tentang mama.
Pernah waktu itu, saat Melo masih kelas V SD.
Flashback on
Ayah dan anak itu duduk di kursi kayu dalam ruang tamu. Melo kecil menyantap makanannya.
"Kamu sudah belajar? Besok ulangan 'kan?"
Melo kecil menganguk, ia masih mengunyah makanan. Setelah makanan tersebut tandas, ia beralih menatap Aryo. "Papa, Mel b-b-boleh tanya?"
Aryo menganguk sembari tersenyum. Kemudian Melo kecil bersuara, "Ke-kenapa kita gak p-p-pernah ke kuburan Mama?"
Raut Aryo berubah seketika. Ia beranjak ke dapur, lalu kembali dengan membawa sapu lidi. Melo kecil dipukul olehnya hingga menangis.
"Jangan jadi anak kurang ajar kamu!"
"Papa sa-sa-sakit, Pa!"
Aryo tidak menghentikan aksinya.
"Maafin Mel, Pa."
"Hiks...."
Flashback off
Tangis Melo semakin menjadi. Ia beranjak ke meja belajar, mengambil buku di tumpukan paling bawah. Ia membuka buku tersebut, mengambil sesuatu di sana.
"Mel cu-cuma p-p-punya ini. Hiks...."
Saat ini beribu pertanyaan memenuhi isi kepalanya.
"Papa gak ja-ja-jahat kok. Papa gak jahat. Mel cu-cu-cuma punya Papa."
Bukannya berbenti, tangis Melo malah bertambah.
Ting
Melo melirik ponsel di atas meja. Tangannya bergerak mengambil benda itu. Beberapa pesan whatsapp dari Alan. Ia mengabaikan pesan tersebut. Padahal sedari tadi ia menunggu pesan itu. Ia hanya tidak ingin diganggu saat ini.
~¤¤¤~
T B C
Tinggalkan jejak yuk...
KAMU SEDANG MEMBACA
Piano Melo (On Going)
Teen Fiction"Permainan hidup itu ibarat piano. Tuts putih sebagai kebahagiaan. Tuts hitam sebagai kesedihan. Jika salah satu di antara keduannya tidak berperan, maka alunan nada musik yang dihasilkan tidak akan selaras." Ini bukan petunjuk tentang cara memainka...