Tok tok tok
"Mel, kamu gak ke sekolah?"
Kelopak mata Melo terbuka kala indra pendengarnya menangkap suara berisik. Ia merubah posisi menjadi duduk, mengumpulkan kesadaran.
"Mel, Papa udah buatin nasi goreng. Papa keluar sebentar. Jangan lupa sarapan, ya."
Suara di balik pintu itu diganti dengan suara pintu yang ditutup. Melo melirik jam dinding. Jarum pendek berada di antara angka enam dan tujuh, sedangkan jarum panjang tepat di angka enam.
"Jam setengah t-t-tujuh," ucapnya pelan.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Empat detik
"HAH?! Setengah tujuh?"
~¤¤¤~
Melo dagdigdug. Ia masih berdiri di depan pintu kelas X IPA 2. Untungnya Pak Tono belum menutup gerbang sekolah secara sempurna. Atau tidak, entah hukuman apa lagi yang diberikan padanya. Hukuman melulu. Mungkin kalau Aryo tidak membangunkannya, pasti dia tidak ke sekolah hari ini.
Perlahan Melo memberanikan diri mengetuk pintu. Gadis berkepang dua itu menarik napas dalam. Kemudian....
Tok tok
Ya! Hanya dua kali ketukan. Tangan Melo tiba-tiba bergetar. Degup Jantungnya bertambah kencang, mengingat matematika adalah pelajaran pertama di hari selasa ini.
Iya, Melo tahu dia bukan ahli di bidang matematika. Tapi itu bukan masalah utama. Dan masalah utama yaitu gurunya. Sesuai yang Melo perhatikan, Pak Bata--guru matematika di kelas sepuluh itu seperti tidak suka padanya.
"Masuk!"
Terdengar suara bariton dari dalam sana. Siapa lagi kalau bukan Pak Bata?
Perlahan ia membuka pintu. Semua perhatian tertuju padanya, membuat Melo semakin gugup. Bangku paling belakang di deretan kedua, tampak Alan menatapnya penuh tanya. Hening beberapa saat hingga Pak Bata angkat bicara.
"Kenapa terlambat?"
"T-t-t-t-telat bangun, Pak."
"Lidahnya ringan ya? Anak perempuan bangun telat? Tidak tahu malu kamu?" Nada bicara Pak Bata masih terdengar santai, tapi menusuk.
Melo menunduk. Ini pertama kali Pak Bata menyindir dirinya. Biasanya guru matematika itu menunjukan ketidaksukaan lewat tatapan. Dan sekarang....
"Mana PR?"
Mata Melo membulat sempurna. Sial! PR matematikanya belum selesai.
"Tidak buat?"
Melo mengangkat kepala. "B-b-b-b-belum se-selesai, Pak. Sa--"
"Keluar kamu dari kelas saya!"
Melo terkejut. Ini pertama kali ia di usir dari kelas. Iya, Melo tidak pernah merasakan moment seperti ini sebelumnya.
"KELUAR!"
~¤¤¤~
Setelah diusir oleh Pak Bata tadi, Melo memilih ke kantin. Mungkin kantin satu-satunya tempat aman. Dan sekarang di sinilah Melo, duduk di kursi kantin sembari menyelesaikan PR matematika. Dungu memang. Padahal ia tahu hal itu sia-sia saja. Ia membuka lembar paling belakang. Lalu menciptakan beberapa kata di sana dengan tinta. Biarlah buku PR matematikanya jadi tidak rapi. Hitung-hitung untuk melepaskan kekesalan pada guru matematika itu.
"Ada cegap guys."
Melo mengangkat kepala. Segerombolan anak laki-laki baru saja memasuki kantin. 'Cegap' yang dimaksud mereka itu adalah dirinya. Akhir-akhir ini panggilan itu kerap ia dengar dari mulut siswa-siswi SMA Harapan Bakti. Cegap adalah singkatan dari cewek gagap, itulah kata mereka.
Melo kembali dengan aktivitas coret buku, berpura-pura tuli. Namun semakin diabaikan semakin melanjak. Akhirnya Melo memutuskan untuk pergi dari sini.
"Lah?"
"Sok banget anjir."
"Jangan kabur woi!"
"Woi cegap."
"B-b-biarin a-a-aja di-di-dia pe-pergi, haha...."
"HAHAHA...."
Melo hanya berpura-pura tuli. Sakit? Tentu!
~¤¤¤~
Melo kembali ke kelas. Bel pergantian pelajaran baru berbunyi beberapa detik lalu. Koridor di lantai kelas sepuluh masih sepi. Dari arah berlawanan, Pak Bata dengan beberapa buku di tangan menatapnya datar. Sampai keduanya berpapasan.
"Sa-sa-saya t-t-tunggu PR ka-ka-kamu be-be-besok!" setelah mengatakan itu Pak Bata berlalu, seolah tanpa beban. Tentu Melo terkejut. Lagi-lagi pertama kali. Pertama kali seorang guru menghina kekurangannya. Melo berlari cepat ke kelas. Air matanya menetes. Ia berusaha menahan isak.
~¤¤¤~
"Gue muak!" Melo melempar tas sekolah bergambar awan-awan miliknya ke sembarang arah.
"Coba lo semua jadi gue."
Gadis itu menenggelamkan wajah dalam selimut. Ia berusaha merendam isak tangis. Ia sakit hati dengan perlakuan orang-orang di sekolah tadi. Memang hal itu sudah biasa. Tapi tidak separah tadi!
Satu jam berlalu. Melo mengecek ponsel. Ia tidak membawa ponsel ke sekolah tadi. Baterainya habis, membuat emosi gadis itu semakin menjadi.
Setelah dicas dan ponselnya menyala, Melo mengaktifkan data. Tampil notifikasi dari whatsapp. Segera ia membuka aplikasi hijau tersebut.
"Alan? Tu-tujuh pesan?"
KemarinAlan
Benaran tugas matematika lo udah selesai?
20.55Alan
Bilang kalau belum
20.55Alan
Punya gue udah selesai
20.56Alan
Kalo belum selesai, liat punya gue aja."
20.56Alan
Mel
20.56Alan
Mel
20.56Alan
Mel lo udah tidur?
20.57Melo spontan menendang meja. "Ke-ke-kenapa gak dari kemarin malam g-gue baca?!"
Melo ketiduran setelah kejadian salah kirim emoji kemarin malam. Dia merutuki dirinya sendiri.
"Bego!"
Anda Gue minta jawaban
matematika lo ya?
16:44~¤¤¤~
T B C
Tinggalkan jejak yuk....
KAMU SEDANG MEMBACA
Piano Melo (On Going)
Teen Fiction"Permainan hidup itu ibarat piano. Tuts putih sebagai kebahagiaan. Tuts hitam sebagai kesedihan. Jika salah satu di antara keduannya tidak berperan, maka alunan nada musik yang dihasilkan tidak akan selaras." Ini bukan petunjuk tentang cara memainka...