"Hati-hati, Mel!"
"Oke, Bi."
Melo meninggalkan wanita paruh baya itu setelah mengucapkan dua kata tersebut. Dua perempuan yang seperti ibu dan anak itu lalu sibuk dengan tugas masing-masing. Amina berdagang di tempat, sedangkan Melo berdagang keliling. Seperti biasa.
"Sayur segar, sayur segar."
"Kembaliannya kurang mas."
"Sudah pas itu neng."
Ya, sekarang Melo berada di pasar. Keadaan pasar minggu ini sama dengan sebelum-sebelumnya. Padat pengunjung, kotor tapi tidak terlalu kotor, seperti pasar tradisional pada umumnya, serta bau amis ikan dan lain-lain. Tapi Melo sudah terbiasa.
Matahari semakin tinggi. Perkiraan Melo mungkin sekarang jam sepuluh. Melo berjalan sambil menghindari becek karena hujan tadi malam. Bukan jijik atau sok apalah. Ia hanya tak mau sepatu putihnya kena becek.
Satu hal yang tidak pernah Melo lakukan sampai sekarang. Yakni berteriak saat berjualan. Berteriak memanggil pembeli. Itu tidak mungkin ia lakukan. Dan alasannya sudah jelas, Melo pasti ditertawakan karena gagap.
"Permisi," ucap Melo kepada seorang lelaki dengan jaket hitam yang tersampir di pundak. Lelaki itu memunggungi Melo, menghadap motor sport merah di hadapannya. Lelaki itu lebih tinggi dari Melo. Mungkin seumuran, pikir Melo.
Lelaki itu masih bergeming. Apa mungkin suara Melo kekecilan? Tentu saja. Gadis itu hampir lupa kalau ia sedang berada di tempat ramai.
Melo bisa saja pindah jalur, karena sekarang ia berada di tepi jalan. Jangan lupa, pasar minggu ini berhadapan langsung dengan jalan raya. Kalau ia jalan di jalan raya 'kan bisa? Yang penting tidak di garis putih 'kan?
Setelah melewati lelaki itu, Melo kembali berjalan di tepi.
"Lima ..., sepuluh ..., lima belas ..., du-du-dua puluh...."
Melo menghitung uang hasil jualan sambil berjalan.
Di tempat lain, Alan mengernyit menatap seorang gadis yang berjalan perlahan menjauhinya. Ia kenal dengan orang itu. Dari cara berjalan, bentuk tubuh, hingga rambut yang dikepang dua itu cukup membenarkan dugaan Alan.
"MELO," panggilnya kemudian menghampiri gadis itu.
Sedangkan Melo menoleh kala mendengar namanya dipanggil. Tak sampai tiga detik, Melo langsung berbalik lalu berjalan cepat, menghindari orang di belakangnya ini.
"Mel, tunggu!"
Melo berhenti. Bukan mau dia berhenti. Terpaksa karena tangannya di tahan.
"Kenapa di sini? Belanja?" ucap Alan yang berhasil membuat Melo menatapnya.
"I-iya."
"Lo mau pulang?"
"E--"
"Bareng gue aja. Gue juga mau pulang," tawar lelaki itu lalu melepaskan genggamannya pada tangan Melo.
"Aaa gue be-be-belum pu-pulang. Itu gu-gu-gue." ia menarik napas kasar lalu berkata, "gue ngejualan kue."
Alan tentu terkejut. Pasalnya Melo tidak pernah bercerita tentang ini. Ya walaupun ia sadar, bahwa mereka baru beberapa minggu berteman. "Sejak kapan?"
"Hah?"
"Sejak kapan lo jualan?"
"Da-da-da-dari SD."
"Dari SD? Kenapa gak cerita? Mm maksudnya, biar gue bisa bantu-bantu."
Melo hanya menunduk, berkata dalam hati, "Gue malu sama orang asing."
Melo mendongak karena tiba-tiba tanganya ditarik pelan. Alan, lelaki itu membuat Melo mengikuti langkahnya.
~¤¤¤~
"Alan ..., makasih."
Alan hanya mengangguk sembari membuka tutup botol aqua, lantas meminum air itu. Mungkin dia kelelahan, dan itu karenanya. Tapi Melo tidak meminta dia bantu berjualan. Dia sendiri yang mau.
Dan sekarang mereka sedang berada di salah satu taman kota. Taman yang letaknya bersisian dengan pasar, hanya saja ada jalan raya yang jadi pemisah. Mereka duduk di sebuah garden bench. Di sini tak terlalu ramai. Ada pohon-pohon besar yang menghalangi sinar matahari. Jadi, siapapun yang singgah di sini pada siang hari pasti merasa nyaman.
Melo memperhatikan Alan. Keringat memenuhi wajah putih bersih lelaki itu. Bahkan rambut lurus hitam miliknya pun basah. Lelaki itu tampak semakin ... tampan.
Eh?
Hm ..., Alan 'kan memang tampan.
"Alan."
Yang punya nama menoleh, mengangkat sebelah alisnya.
Melo menggeleng membuat lelaki di sebelahnya mengernyit heran.
Keduanya saling menatap dalam diam.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Tiba-tiba Melo berdiri, di susul suara robekan. Gadis itu tertegun, lantas memeriksa keadaan roknya. Ia melotot tak santai. Bagaimana tidak? Rok sebatas lutut yang ia kenakan kini robek bagian sampingnya. Kini rok itu terbelah cukup besar. Dengan gerak cepat ia menutupinya. Melo refleks menendang garden bench tersebut, kesal. Yup! Roknya tersangkut di kursi besi itu sehingga robek.
Melo melirik Alan. Harap-harap lelaki itu tidak menyadari kejadian barusan. Tapi? Alan sudah berdiri di hadapannya.
Melo menelan saliva-nya kasar saat Alan sedikit menunduk. Lelaki itu mengikat jaket hitam yang sedari tadi bertengger di bahunya pada pinggang Melo, menutupi bagian rok yang robek.
Malu! Malu! Malu!
"Lain kali hati-hati," ucapnya setelah jaket miliknya dengan sempurna menutupi bagian rok Melo yang robek.
Melo hanya mematung, masih shock.
Alan mengambil botol aqua yang isinya tinggal setengah. "Ayo pulang," katanya lalu berjalan lebih dulu. Mereka akan kembali ke pasar karena motor Alan masih di sana.
Namun ia kembali berhenti karena menyadari temannya itu masih diam di tempat.
"Mel?" Alan menggerakkan telapak tangannya di depan wajah Melo, membuat gadis itu tersadar.
"Eh?"
"Lo kenapa? Belum mau pulang?"
"Yuk pu-pulang!" Gantian Melo yang berjalan duluan, diikuti Alan dari belakang.
Diam-diam Alan tersenyum kecil.
~¤¤¤~
T B C
Cerita ini part nya kok pendek-pendek amat?? Saya hanya orang bodoh yang sedang belajar kawan.
Jangan pergi dulu readers... temanin saya sampai cerita ini tamat yaaa....
KAMU SEDANG MEMBACA
Piano Melo (On Going)
Teen Fiction"Permainan hidup itu ibarat piano. Tuts putih sebagai kebahagiaan. Tuts hitam sebagai kesedihan. Jika salah satu di antara keduannya tidak berperan, maka alunan nada musik yang dihasilkan tidak akan selaras." Ini bukan petunjuk tentang cara memainka...