"Itu jam tangan ... baru?" Lia bertanya dengan mata masih tertuju pada ponsel miliknya.
"Ho'oh," respon Shela.
"Bukannya jam tangan yang kemarin belum rusak?" timpal Kara yang berdiri sedikit jauh dari Shela dan Lia.
"Terserah gue dong."
Shela Rajendra. Putri dari Herman Rajendra, Kepala Sekolah SMA Harapan Bakti. Menjadi anak dari keluarga kaya memang semudah itu. Tapi ini Shela. Shela!
"Ya tapi 'kan--"
"Eh, lo berdua lihat deh! Dia 'kan si cewek gagap itu." Lia memotong perkataan Kara, sembari menunjuk seorang gadis yang berjalan mendekat.
Di sisi lain, Melo sedang menuju kelasnya. Ia membawa beberapa buku di tangan. Koridor lantai dua masih sepi. Maklum, masih jam enam lewat. Pernyataan itu ia ralat, setelah matanya menangkap tiga orang yang berdiri di tepi dinding pembatas koridor.
"Ehem."
"..."
"Ehem ehem ehem."
Melo tak peduli, meski ia tahu mereka berusaha mengalihkan perhatikannya. Melo tetap berjalan, menatap lurus ke depan.
"Sombong banget jadi orang."
"Jijik gue."
"Gu-gu-gue ga-ga-gagap tapi gu-gue so-so-sombong."
"Pasti ortu-nya juga gagap."
Oke.
Melo berbalik, memundurkan langkahnya. Telinganya panas, tak suka orang tuanya dibawa-bawa. Ia tak membalas dengan perkataan apapun. Ia hanya menatap tak suka mereka bertiga. Melo tahu siapa yang sedang ia hadapi ini. Melo tahu sekarang ia sedang mencari masalah dengan siapa. Dan ia juga tahu konsekuensinya.
"Lagi pula, siapa yang mulai duluan?" batin Melo.
"Apa?! Ngajak berantam?" bentak Shela.
Siapapun tolong sadarkan Melo! Dia sedang salah langkah.
"Gue Shela Rajendra, putri Kepala Sekolah!" Shela maju beberapa langkah, mendekati Melo. Hingga jarak keduanya tersisa beberapa senti. Ia menyilangkan kedua tangan di depan dada, angkuh.
Melo memutar bola mata malas. Dia mau perkenalkan diri atau mau pamer? Ingin rasanya berkata "Siapa yang nanya?" Tapi tenang. Kalimat itu hanya akan tersimpan dalam hati dan pikirannya.
Melihat Melo bergeming, Shela lantas mencekal pergelangan tangan gadis gagap itu. "Tangan gue gatal, pengen--"
"Udah Shel, biarin aja!" Kara dan Lia berusaha mencegah Shela.
"Lepasin gue!" Shela memberontak.
"Lo berdua maksud apa hah? Lepasin sekarang gak?!"
Dan akhirnya, Kara dan Lia berhasil menjauhkan Shela dari Melo.
Tak mau buang kesempatan, Melo langsung berlalu. Dengan langkah cepat, ia berharap putri Kepala Sekolah itu akan melupakan masalah tadi. Namun setelah cukup jauh dari mereka, suara Shela yang menyindir dirinya masih terdengar. Ups, bukan cuma Shela. Tapi kedua temanya juga.
"Ya ampun gue kenapa sih? Goblok!" umpat Melo pada dirinya sendiri.
~¤¤¤~
Melo berjalan begitu cepat. Sesekali menengok ke belakang. Ia hanya ingin memastikan, apa Shela dan dua temannya itu masih menatapnya atau tidak. Goblok memang. Kesannya ia sedang mencari masalah.
Eh? Kenapa Melo terus menengok tiga sejoli itu? Sedangkan keberadaan mereka saja sudah tak terlihat.
Melo menepuk jidatnya. Dia 'kan sudah melewati pembelokan koridor. "Stres gue."
Gadis itu mengambil ransel di punggungnya, lantas mengubah posisinya menjadi di depan. Kemudian ia memasukkan beberapa buku yang ia pegang sedari tadi. Lihat apa yang akan terjadi selanjutnya kalau ia bertemu lagi dengan tiga sejoli itu. "Hah! Nyesal...."
Pranggg
Melo tersentak kaget. Bola matanya membulat sempurna kala melihat benda yang sudah hancur dibuatnya. Melo menatap waswas sekitar, apa ada yang menyaksikan kejadian ini atau tidak.
Gadis itu menghembuskan napas lega. Ternyata hanya ada dirinya di sekitar sini.
"Lo pelakunya?"
Melo ternganga, lantas membalikan badanya sempurna. Menghadap seseorang yang berdiri di pintu kelas X Ipa 5.
"Se-se-se-sevan? Em ..., itu--"
"Lo yang mecahin?"
"G-g-gu-gu--"
"Udah, ngaku aja!"
"Ta-ta-ta-tapi gue gak s-s-sengaja." Ah, sial. Kenapa ia jadi gugup begini? Bahkan tangannya sampai bergetar. Rasanya ia ingin menangis sekarang juga.
"Malah bengong. Tuh ... bersihin!"
Tanpa babibu, Melo langsung menurut. Bukannya ia menuruti perintah Sevan ya. Sudah menjadi tanggung jawabnya.
Tangan Melo tambah bergetar saat menyentuh pecahan pot bunga tersebut. Apa yang harus ia lakukan selanjutnya dengan benda yang sudah rusak berkeping-keping ini? Belum lagi tanahnya yang tumpah ini. Dan bunga itu....
"Yang cepat dong, gagap!"
Melo mendongak. Rupanya si lelaki galak itu masih stay di tempatnya.
"Apa? Ma-ma-mau ba-ba-bantah?"
Melo menggigit bibir bagian dalamnya. Kali ini bukan gugup, tapi emosi.
"Eh? Ma-ma-malah be-be-bengong."
Melo menutup mata sekejap. Cukup! Dia risi.
Gadis berkepang dua itu berdiri. "Ma-ma-mau lo a-apa sih?"
Sevan mengangkat alis sebelah.
"Lihat o-orang susah bukannya di-di-dibantu malah...."
Melo terdiam. "Gue ngomong apa?"
"Malah apa?" Sevan mendekat.
"Gak usah sok kenal! Jijik!"
Malu.
Melo menunduk malu. Ia juga jijik dengan perkataannya tadi. Dia memang menjijikan di mata semua orang. Kenapa juga ia menunduk di depan Sevan? Oke, ia tidak bisa membayangkan, seandainya yang di depan ini adalah seorang guru killer.
"Heh! Bengong lagi. Tuh, tuh beresin!" Sevan mendorong bahu Melo berkali-kali. Tapi jika dipikir-pikir lagi, untuk apa ia meladeni cewek gagap ini? Tau lah ..., dia hanya ingin membuat orang panas. Katakan, dia kurang kerjaan!
Melo berjongkok untuk kedua kalinya. Ia tampak berpikir. Apa yang harus ia lakukan?
"Ada apa itu?"
"Ini Pak, dia pecahin pot kaca."
Deg
~¤¤¤~
T B C
KAMU SEDANG MEMBACA
Piano Melo (On Going)
Teen Fiction"Permainan hidup itu ibarat piano. Tuts putih sebagai kebahagiaan. Tuts hitam sebagai kesedihan. Jika salah satu di antara keduannya tidak berperan, maka alunan nada musik yang dihasilkan tidak akan selaras." Ini bukan petunjuk tentang cara memainka...