08

12 1 0
                                    

Aku berjalan mendekatinya, tapi dia sebaliknya. Alan berjalan mundur menjauhiku, dia juga tampak takut.

Bruaak...

Dia tersungkur karena menatap pagar hijauku. Sontak aku terkejut melihat kelakuannya. Alisku saling menarik dan mataku bertanya-tanya apa yang dilakukan Alan saat itu.
Tanpa aku sadari, dari arah belakang, ibu berlari untuk menolong Alan. Dengan sigap tangan ibu meraih tangan Alan.

"HUWAAAAAAA...." teriak Alan dengan tatapan mata yang mengarah pada tangan yang dipegang ibu.
Aku baru kali ini melihat ekspresi Alan yang ketakutan dan sedikit konyol.
"Hei kamu kenapa?!" tanya ibu padanya.
Dia tak menjawab, tatapannya masih tertuju pada tangan ibu dan tangannya.

Saking gregetnya, aku maju lebih dekat untuk melihatnya, hatiku tertegun melihat wajah Alan yang sembam akibat menangis, air matanya pun masih membekas di pipinya. Matanya merah dan kantung matanya terlihat.
"Kenapa duduk disini? Ayok duduk di dalem aja." ajakku sedikit canggung. Dia menurutiku, aku sedikit terkejut!
Dia memegang tanganku untuk beranjak, padahal aku tak menawarinya tangan.

"Ibu siapin teh, tangannya Alan dingin. Kamu ajak ke dalem ya..." ujar ibu padaku, aku mengangguk untuk mengiyakan yang dikatakannya.

Alan memegang lenganku, ia berjalan tertatih-tatih akibat menabrak pagar tadi. "Aku duduk disini aja." ucap Alan dengan menunjuk kursi di teras rumah.

"Hei masuk! Di luar dingin lo ya..." teriak pamanku dari ruang tamu.

"Hmm jadi gimana?" dengan bodohnya aku malah tanya ke dia.
"Hih goblok amat! Masa aku tanya ke dia. Hih bodoh bodoh!" batinku dengan memalingkan wajahku.

"Gimana?" dia tambah tanya ke aku.

"Hmm?"

"Jadi gimana? Kakiku sakit." lirihnya kesakitan.

"Eh sorry sorry, kita duduk di dalem aja. Di luar dingin soalnya, hehe."
.
.
.

"Kamu lagi berduka ya? Siapa yang meninggal?" tanya ibu sambil memberikan teh.

"Yang meninggal saudara saya tante." dia mengatakan itu dengan tangan yang bergemetar membawa cangkir teh.

"Turut berduka cita ya." ucap ibu lagi. Dia hanya mengangguk sebagai balasannya, tapi tatapannya pada ibuku seperti terheran-heran.

Ibu meninggalkan kami, kami duduk bersebelahan di sofa ruang tamu, sedangkan yang lain di ruang keluarga. Suasana menjadi canggung, "aduh... kok jadi gini sih." ujarku keceplosan.
Seketika dia tersedak dan membuat teh jatuh dari cangkirnya. "Eh gppa kok gk usah di bersihin, nanti aku aja yg bersihin." ucapku yang masih canggung.
Dia melap ujung mulutnya dengan ujung lengan jas.

"Oh btw kamu kenapa ke rumah?"

"Emm tadi aku mau minta tolong suruh kamu anterin pulang." ucapnya dengan tatapan kosong.

"Mmm?" tanyaku lagi sambil menengok padanya.

"Eh maksudnya aku pinjem kartu busnya."

"Oooo yaudah aku ambilin dulu ya, tunggu." saat aku beranjak, ibu menyahut pembicaraanku dan Alan.

"Anterin aja Naura.... kasihan Alan habis berduka masa suruh naik bus."

"Nggak usah tante, saya naik bus aja."

"Hei ini tuh udah malem, nanti kalo busnya nggak dateng gimana?" ibu mengatakan itu dengan berjalan ke arah kami, aku masih diam berdiri dengan berharap aku tak mengantarkan Alan.

"Udah dianter aja. Heh kamu kenapa diem, cepet ganti baju!" ibu memukul pantatku.

"Aduuh ibu. Iya iyaaa"
.
.
.
.
"Kita naik ini?" tanya Alan saat aku mengeluarkan vespa maticku.

"Iya? Kenapa?"

"Gppa. Mana aku boncengin aja."

"Eh gk usah, kamu nanti jatuh gimana? Nanti aku jatuh juga. Udah lah yang boncengin aku aja, kamu tinggal diem." aku pertama kali cerewet padanya, tapi dia sungguh anak yang penurut.

Kami hanya diam sepanjang perjalanan, kaki Alan yang panjang menyeret hingga mengeluarkan suara, sreek sreeek sreeek...
"Itu bisa diem gk sih." gerutuku.

"Umm sorry motormu pendek banget sih, jadi kakiku nyeret." nyolot Alan.
________________________________________________________

Saat kami sudah tiba, kami disambut Ibu Alan dan Athela. Tapi  ibu Alan tampak sedih dan seperti menelephon. "Itu Alan, tante!" teriak Athela pada Ibunya Alan. Seketika ibu Alan menoleh dan dia terdiam lemas, matanya menangis tersedu-sedu dengan tangan yang menyangga kepala.

Aku dan Alan sama bingung di atas vespa. "Itu bundaku?" tanya Alan terheran-heran.

"Ya iya lah, masa ibunya Athela." sewotku.

Seketika Alan pingsan, kepalanya berada pada punggungku. "Ehh ehh." motorku hampir oleng karena dia pingsan, kedua tanganku mengarah ke belakang untuk memeganginya dan kakiku menyangga motor.

"EH!" teriak tante dan Athela bersamaan. Mereka membopong Alan masuk ke rumah, sedangkan aku, aku tetap menagkring di atas vespaku.

"Makasih ya Naura... tadi ketemu Alan dimana?" ucap tante dengan sangat berterimakasih.

"Hmm tadi dia malah ke rumah saya tan, jadi saya anterin pulang." jawabku sedikit bingung dengan pertanyaan itu.

"Emangnya dia ngilang gitu?, kok pertanyaannya ketemu." gumamku terheran-heran.

"Makasih ya nak, makasih banget. Ayoo mampir dulu." ajaknya sambil memegang tanganku.

"Maaf tante saya lagi buru-buru."

"Uraa aku nebeng!" sahut Athela.

"Saya pulang dulu ya tante..." ucapku.

"Tante..... pulaaang." Athela mengatakan itu sambil menaiki motor sampai aku hampir kehilangan keseimbangan.

"Hati-hati." beliau mengatakan itu sambil melambaikan tangannya.

***

Saat di perjalanan kami saling berbincang, "emangnya tadi tante kenapa nangis?" tanyaku penasaran.

"OH TADI... TADI TUH ALAN ILANG, TRUS TANTE TELEPHONE AKU DEH... MAKANYA AKU TELEPHONE KAMU JUGA BUAT BANTU NYARIIN." Athela menjawab dengan suara keras, sampai-sampai pengendara lain melihat.

"Hih bisa biasa nggak sih, aku juga denger." marahku lirih.

"Ya kirain kamu gk denger, soalnyakan kamu pake helm."

"Emangnya kamu, budek kalo pake helm." gerutuku sambil memutar mata.

"WAHAHAHAHA..." dia tertawa keras sampai pengendara di sampingku kaget. Sontak aku langsung memukul kakinya karena merasa malu.

"Malah ketawa, dasar bocah gk nggenah!"

"Ya terserah lo."

Saat itu juga aku memikirkan apa yang terjadi pada Alan, di rumahku tadi. Dia begitu ketakutan seperti pertama kali aku masuk pada dunia paralel ini. "Apa jangan-jangan yang lewat portal Alan?"

"Ha?!"

"Ya kan budek. Padahal gk pake helm, masih aja budek. Udah lah kamu tuh diem aja."

"Nyenyenye." jengkel Athela.

-30 MinuteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang