Aku pergi ke sekolah untuk esok paginya, masih pada dunia paralel belum dunia nyataku.
Kelas masih belum ramai dan hanya beberapa orang yang datang.
ALAN DATANG!, dia langsung kebangku ku untuk memberikan sesuatu.
"Thank's buat kemarin." ucapnya cuek sembari memberiku paper bag berwarna coklat muda. Belum sempat aku bertanya, dia pergi dengan begitu saja. Rasa ingin membuka begitu besar, tapi sungkan karena ada Alan. Aku hanya memandangi dan penasaran isi dari paper bag itu.***
Hari ini hari olahraga untuk kelasku, semua berganti pakaian, aku dan Athela selalu bersama. Tapi saat akan menuju lapangan, ia meninggalkanku. Akhir-akhir ini dia sering meninggalkan dan mengacuhkanku. Kelas telah sepi, hanya ada aku. Saat aku akan ke lapangan, aku teringat pada pemberian Alan. Aku mengambil paper bag itu seperti maling, memantau sekitar apakah ada orang, itu kulakukan karena aku malu jika ditanyai itu dari siapa. "Kenapa kau seperti itu? Kau bukan maling." suara Resy dari arah belakang, sontak aku langsung menaruhnya lagi dalam loker. "Itu dari bundanya." imbunya seperti dia tau segalanya.
"Dari mana kau tau?""Aku tau saat bunda Arin memberikannya pada Alan." dia berbicara seakan-akan dia sangat dekat dengan keluarga Alan, bahkan dia memanggil tante dengan namanya.
"Ha?"
"Aku masih saudara dengan Alan, hanya beda nenek. Ayahku itu saudara tiri bunda Arin." jelasnya tanpa ditanya.
"Nah kemarin waktu ada acara keluarga, pas banget dia bangun dari pingsan, dia langsung dikasih paper bag itu." lanjutnya.
Aku hanya mengangguk, seperti paham dengan ceritanya.
"Mana Athela?" tanyanya spontan.
"???" sedikit terkejut dengan pertanyaannya.
"Jangan salah paham dulu, aku tanya kenapa gk sama Athela. Kan biasanya sama Athela terus."
"Ooo mungkin dia ngiranya aku udah di lapangan. Hehe."
"Ya udah ayok ke lapangan." ajak Resy. Baru kali ini aku berbincang santai dengannya, padahal kami di dunia nyata tak akrab karena Athela dan dirinya sering cekcok.
Saat kami berjalan menuruni tangga, tiba-tiba dia memberitahuku sesuatu, "Sebenarnya aku bersikap biasa aja pada Athela, tapi semenjak dia cari perhatian ke semua orang, membuatku jengkel setiap melihatnya." jelanya padaku.
Aku hanya tersenyum sebagai balasannya, aku tak menjawab karena aku tak ingin mengadu domba pada keduanya.Olahraga-lanjut pelajaran.
***
Aku dan Athela berjalan di tepi jalan untuk menuju halte, waktu menunjukan 04.30 p.m dan itu waktu orang pulang dari aktivitasnya, jadi jalanan sangat ramai dan macet. "Aduh kurang 30 menit aku udah balik nih." batinku khawatir sambil mendengarkan curhatan Athela. Bus Athela sudah tiba, "aku pulang dulu ya." ucapnya sambil melambaikan tangan. Kulihat dari kaca tembus pandang, dia berjalan menuju kursi ketika bus sudah berjalan. Sepatu hitamku terus berketuk menunggu bus selanjutnya, mataku tanpa henti memperhatikan jam pada pergelanganku. "Haduh..." gundah aku.
Aku memutuskan untuk berjalan, langkah kaki tak beraturan, lambat-cepat-sangat cepat. Ting! jam menunjuk 04.55 p.m, segera aku mencari taxi. Posisiku persis di depan kantor polisi, clingak-clinguk di tepi trotoar dengan terus melambaikan tangan kananku. Akhirnya aku dapat!
Tapi saat aku membuka pintu, terlambat sudah!
Waktuku kecurian angin. Angin datang dari arah belakang, aku belum terbiasa. Mendadak aku terjatuh dan melepaskan gagang pintu taxi. Anehnya lagi, taxi itu meninggalkanku dengan keadaan pintu terbuka lebar. Penglihatanku kabur dan aku masih sempat berkata 'Tunggu' sembari tangan berusaha menggapai dan tangan satunya lagi menyangga tubuh.Seeeet....
Waktu seperti ke restart. Suara kebisingan pun tergantikan dengan kesunyian sore. Hanya suara burung berterbangan dan angin yang menerpa pepohonan. "Hidungku mengeluarkan darah lagi." lirihku lemas sembari lengan bawahku mengusap darah seperti waktu kecilku mengusap ingus yang hampir mengenai mulut, hal itu membuat darah belepotan kemana-mana. Darah tak terlalu banyak saat itu, lambat laun aku akan terbiasa.
Aku berusaha berdiri sebelum polisi menilangku karena tak memakai masker, "Paper bagnya hilang." aku mengatakan itu seperti orang yang lemas karena kelaparan "Belum aku buka lagi." dengan sempatnya aku menggrutu di situasi seperti itu. Aku berjalan tertatih-tatih melewati kantor polisi, "Hei nak, berhenti!" teriak polisi setelah beberapa jangkah kakiku. Aku menyerah, berbalik seperti orang gila, darah yang berantakan di wajah dan berjalan tak seimbang. Polisi itu sempat terkejut dan menudingku dengan tongkatnya, "Berhenti!"
Aku menatapnya lemas, tanganku otomatis terangkat sejajar pundak. "Kenapa kau berdarah? Kau terinfeksi virus?" tanyanya dari kejauhan. "Tidak, aku seperti ini jika kelelahan." jawabku dengan terus mendekati polisi itu. Nafas ku terngah-engah dan tak kuat untuk berdiri lagi, bruaak... aku terjatuh tak sampai pingsan, aku menahannya. Aku tak ingin jika nanti disuruh menjelaskan yang terjadi, karena tak mungkin mereka percaya apa yang aku kulewati, yaitu dunia paralel.
Polisi itu berlari mendekatiku dan menolongku.***
Hampir satu jam aku di kantor polisi, serasa di introgasi karena keadaanku yang memakai seragam padahal sekolah masih online. Hidung yang terus mengeluarkan cairan merah dan berjalan keluar tanpa memakai masker. Aku hanya menjawab, "Aku tidak tau apa-apa."
Sempat didesak, tapi apalah buat, jawabanku tak berubah. Sampai saat dimana aku ditanyai tentang ibu dan ayah. "Dimana orang tua mu?" Aku menatap mata polisi yang melontarkan pertanyaan itu "mereka sudah meninggal karena covid." jawabku gamblang.
Sontak ekspresi mereka serasa mengasihani, "Tak perlu mengasihani, itu sudah mutlak." ujarku dengan tatapan kosong. Akhirnya aku keluar saat langit telah hitam, sebagian wajahku telah tertutup masker, "Saya antar dek." tawar salah satu polisi "nggak usah pak, makasih." mata sendu dengan diiringi senyuman tipis.Beberapa langkah dari gerbang, ada yang memanggilku, "Naura!" itu suara Athela di atas motor Alan. Aku menengok tanpa menjawab. "Kamu kenapa pake seragam, emangnya kamu tadi photoshoot di sekolah sama Alan?" cletuknya. Aku tetap diam pada posisi berdiriku, memperhatikan tatapan Alan yang seperti terkejut melihatku, pupilnya membesar. Alan menurunkan jagangnya dan menyuruh Athela untuk menghampiriku. "Hei kamu kenapa?" tanya Athela sambil berjalan. "Sejak kapan kamu deket sama Alan?" aku malah tanya balik dengan nada marah. "Ha?" dia meminta aku mengulanginya. "Sejak kapan kamu deket sama Alan?!" aku sedikit membentak.
"Hei jangan salah paham dulu. Tadi aku nelephonemu nggak diangkat, aku mau ngajak kamu main sama Alan. Ya udah aku nyamperin Alan dulu. Aku mau ngehibur Alan, soalnya bundanya kemarin meninggal." bisiknya.Aku menatap balik dengan sangat terkejut. Aku melihat Alan yang tetap pada motornya, dia memantau kami. "Trus tadi pas aku samperin, dia pake seragam sekolah kayak kamu, aku ketemunya pas di lorong apartemennya." jelasnya lagi.
"Aku mau pulang, capek." aku tak tau harus berbuat apa tentang hal itu, dan aku merasa yang melewati portal adalah Alan.
"Ih kok gitu." wajahnya yang cemberut menampak.
"Aku capek La. Kamu sama Alan aja, aku mau istirahat."
"Ya udah." jawabnya flat
Aku berjalan setelahnya, "Jangan curiga lagi ya... aku sama Alan cuma temen, dan aku berusaha bantuin kamu aja." ucapnya yang tak sampai didengar Alan. Aku hanya mengangguk dan terus berjalan tanpa memperlihatkan wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
-30 Minute
Fantasy[CERITA INI HANYA FIKSI] Cerita fantasi tentang kematian orang terdekat yang menghantarkan gadis SMA pada pintu dunia paralel. Disana dia menemukan fakta yang tak dapat dijumpai pada dunia nyatanya. Update setiap hari Senin dan Selasa. #-30 Minute #...