04

20 4 0
                                    

"Jika ada masalah jangan menghindar, tapi hadapi!"
~Author

Setelah Athela pulang karena ketakutan, aku tak berani keluar kamar selama tiga hari berturut-turut. Suara itu terus muncul dan keberadaannya yang berpindah-pindah.
Aku melakukan semuanya di kamar, tanpa mandi sekalipun.
Yang kulakukan persis seperti orang pengangguran yaitu hanya makan dan tidur. Sekolah pun selalu izin, padahal jika dipikir-pikir kalau aku menyibukkan diriku, maka aku akan lupa dengan semua itu. Tapi sebaliknya, aku terus bersedih dan mengingatnya, sampai-sampai tubuhku terus merasa lelah.

Selama tiga hari itu, aku ditemani Eyang via video call saja. Aku terus merengek pada Eyang setiap kali suara itu muncul. Lelah secara mental dan terus ketakutan akan suara gedoran. Aku berusaha menghindari, tapi tetap saja.
Sampai suatu saat, mungkin saat itu Eyang sudah muak padaku.
"Kau jangan menghindari, tapi hadapilah!" marahnya lewat video call.
Aku tetap menangis ketakutan tanpa menjawab apa yang dikatakan Eyang.

"Sekarang kau keluar dari kamar dan bersihkan dirimu." ujar setelahnya.

"Aku takut Eyang, aku takut.
Aku juga lelah saat ini."
jawabku dengan terus menangis.

"Yang menyebabkan
dirimu seperti itu adalah dirimu sendiri!"

"Tidak!
Semua ini karena suara sialan itu!"
ucapku dengan marah.

"Jangan salahkan sesuatu yang mati!
Suara itu hal yang tak hidup, dia keluar karena kamu terlalu bersedih akan kehilangan keluargamu!" ucapnya.

"Mana ada Eyang, anak yang tidak sedih setelah ditinggal oleh orang tuanya?,
Bahkan aku merasa, aku tak bisa hidup tanpa mereka." mengelak aku.

"Sedih itu wajar, tapi jangan berlebihan!
Jangan merasa kamu tak bisa hidup tanpa mereka, mereka sekarang hanya tinggal angan. Angan diibaratkan mati, sedangkan mati adalah hilang. Kamu tak dapat melakukan apa-apa pada sesuatu yang telah hilang. Apakah sekarang kamu bisa menghidupkan mereka?"

"Tidak."
jawabku sembari sesegukan.

"Tidakkan? Mereka sudah tak punya kehidupan di dunia, yang sekarang punya kehidupan di dunia itu kamu!
Kamu ya harus menjalani kehidupanmu, biarkan mereka menjalani kehidupan selanjutnya."

Kali ini aku benar-benar memahami apa yang dikatakan Eyang. Dia menyuruhku untuk tidak terlarut dalam sedihnya kehilangan orang terdekat. Aku harus menjalani kehidupan dengan apa adanya keadaan, entah itu sendiri maupun dengan orang lain, dan yang paling tertancap pada pikiranku adalah aku tak dapat melakukan apa-apa pada sesuatu yang telah hilang.

"Sekarang kau keluar, buka semua tirai dan pastikan rumahmu terang. Jangan menghindar jika ada suara itu, tapi lawan dan hadapi. Beli semua perlengkapan yang telah habis, ambil saja uang orang tuamu dan jika perlu hindarkan sesuatu yang dapat mengganggumu." perintah Eyang padaku.

Aku hanya mengangguk dan segera memutuskan panggilan. Beranjak dan mulai mengumpulkan sampah yang berserakan di kamarku. Tirai kamar kubuka, melepas sprei dan sarung bantal. Saat semua itu selesai dan akan membuka pintu, seketika detak jantungku berdegup kencang, badan merasa lemas dan bergemetar.

Membuka pintu dengan sedikit menahan nafas dan melihat keadaan rumah yang begitu gelap. Pintu depan kubuka agar memberi celah cahaya, tirai-tirai kuikat satu sama lain.
Hal pertama yang kulakukan adalah memindah kulkas yang ada di kamarku, lalu mencuci piring, mencuci baju, menjemur, menyapu dan mengepel. Semua kulakukan dengan cepat karena aku takut jika suara itu muncul lagi. Saat semua itu selesai, aku kira suara gedoran itu tak akan muncul lagi. Tapi ketika aku mandi, terdengar suara dari luar. Awalnya aku takut dan sempat ingin menangis.

-30 MinuteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang