Rasa senang dan gembira semuanya bercampur aduk menjadi satu, ia tak bisa mendeskripsikan semua itu.
kakinya melangkah menyusuri koridor yang panjang yang didominasi kan dengan orang-orang dengan pakaian serba putih dan biru yang berlalu-lalang disepanjang koridor.
ia tak menyangka perubahan di rumah sakit ini sebegitu cepatnya bagi pasien sakit jiwa yang sudah mencapai tahap sembuh.
sepanjang koridor ia tak henti hentinya tersenyum sambil berjalan riang bagai anak kecil yang habis di beri permen gulali ukuran jumbo oleh orang tuanya.
Gladys melewati taman depan menuju arah gerbang keluar dari rumah sakit tersebut, ia sesekali mengangguk dan tersenyum melihat orang-orang yang menyapanya termasuk pak satpam yang sudah akrab dengan Gladys.
kakinya membawanya untuk berbelok keluar dari rumah sakit dan menapaki trotoar jalan raya, ia berjalan santai sambil menikmati senja yang tengah menyaksikan semua manusia yang berlalu lalang dengan segala aktivitasnya. seakan senja menjadi saksi bisu lelah letih dan juga saksi peluh mereka.
Gladys berjalan melewati sebuah taman yang cukup rindang dengan tanaman dan juga berbagai bunga di sana. terlihat seorang penjual es krim tengah menjajakan es krim buatannya, Gladys menghampiri penjual tersebut berniat membeli satu potong es krim.
tak sengaja dirinya melihat satu sosok dengan siluet yang sangat ia kenali. keningnya menampilkan garis-garis halus akibat kerutan yang semakin terlihat.
pluk!
Es krim di tangannya jatuh seketika saat melihat laki-laki itu berbalik dan langsung menyambar bibir wanita disampingnya dengan lahap!
duar!
seakan dihantam oleh ombak lautan lalu dihempaskan ke dalam bebatuan dermaga yang cukup besar, Gladys seketika merasa hancur. apa dia sedang di bohongi? mengapa semuanya terjadi? apa sebenarnya semua ini?
ia berlari tak tentu arah, kakinya membawanya tak tahu kemana. rasanya ia ingin berlari dan terus berlari hingga rasa sakit dihatinya hilang.
tak seharusnya ia dengan mudah percaya dengan psikopat hidung belang itu sedari awal, seharusnya ia tahu bahwa psikopat tetaplah psikopat yang tidak memiliki hati dan perasaan. bisa-bisanya ia terbuai hanya dengan wajah tampan dan juga beberapa gombalan-gombalan receh yang membuat jantungnya berdebar tak karuan.
langkahnya tak terhenti, ia terus berlari melewati berbagai tatapan orang-orang yang melihatnya dengan pandangan heran. ia tak peduli akan hal itu! yang kini harus ia lakukan adalah berlari hingga sampai dirumahnya dan menenggelamkan kepalanya di bantal lalu menangis sekencang mungkin.
bruk!
tubuh mungil Gladys menabrak sesuatu, ia sedikit meringis menahan rasa sakit. kepalanya mendongak saat sebuah tangan terulur memegang kedua bahunya yang bergetar akibat isakan tangis. "loh, Glad, Lo kenapa?"tanya perempuan yang tak sengaja Gladys tabrak barusan.
Gladys menggeleng, tapi tak mudah bisa berbohong dengan sahabat satunya ini. katakan saja jika Gladys pandai dalam segi akademis maupun non akademis, tetapi kenyatannya ia tidak pandai dengan hal berbohong dengan orang-orang terdekatnya.
sontak Gladys memeluk tubuh Megan dengan erat, isakan'nya semakin keras. ia tak peduli kini mereka berada di atas trotoar pinggir jalan raya.
"Gua bodoh Meg! gua bodoh!" rutuk Gladys disela-sela Isak tangisnya.
Megan semakin mengerutkan keningnya, ia masih mencerna kalimat Gladys barusan, "why? Lo cerita sama gua Glad," pinta Megan dengan halus.
Gladys menceritakan semua yang ia lihat, mulai dari awalnya yang berniat membeli es krim hingga melihat kejadian yang tak seharusnya ia lihat hingga memporak porandakan isi hatinya.
"Glad, Vano ga kayak gitu. Lo salah lihat!" bela Megan sedikit mendorong bahu Gladys hingga ia bisa menatap mata gadis itu.
Gladys tertawa hambar, dirinya tak menyangka sahabatnya yang selama ini ia banggakan ternyata lebih membela pecundang seperti Vano.
"Lo percaya sama gua Glad, Vano setia sama Lo. Vano cinta sama Lo!" lanjut Megan lagi menatap Gladys serius.
Gladys membuang wajahnya, "sedekat apa Lo sama Vano? dibayar berapa Lo sampe bisa ngebela tuh cowok?"tanya Gladys dengan nada sarkas dan wajah sinis nya.
"Glad bukan gitu--" ucapan Megan terpotong kala Gladys menepis tangannya secara kasar dan berlari menghentikan salah satu taxi yang kebetulan lewat.
Megan ingin menahan Gladys dan menjelaskan semuanya, tapi ia urungkan. tak seharusnya ia berbohong dari awal pada gadis itu jika akhirnya akan seperti ini.
---000---
Dua jam sudah Gladys membenamkan wajahnya di bantal, menangis hingga puas sejak ia baru sampai ke rumah.
tapi rasa ingin menangisnya tak kunjung puas, terus saja cairan bening itu keluar dari pelupuk mata indahnya tanpa bisa di cegah. kalau mampu, mungkin sekarang bisa saja rumah Gladys tenggelam akibat air matanya yang membanjir rumah dan membuat got tersumbat dengan derasnya air mata.
untung saja rumahnya sepi, jadi bisa dengan puasnya menangis tanpa harus ada yang menginterupsi dan mengintrogasi nya.
tanpa sadar akibat kelelahan menangis, ia mulai terlelap dengan posisi tengkurap dan kepala yang ia benamkan di atas bantal.
---000---
sebuah usapan halus yang diakibatkan membuat seorang gadis di hadapannya menjadi terusik ketenangannya.
perlahan gadis itu mengangkat kepalanya, mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk.
kesadarannya seketika mulai penuh melihat wajah yang sama sekali tak ingin ia lihat.
"kenapa? udah puas main sama simpenan Lo?" tanya Gladys menyindir lelaki yang berdiri di depannya.
Vano mengernyitkan dahinya, ia tak tahu maksud dari "simpanan" yang diucapkan Gladys. sejak kapan dirinya mempunyai simpanan?
"Simpanan maksud Lo apaan sih Glad?" tanya Vano berusaha setenang mungkin.
Gladys tertawa sumbang, dirinya tak menyangka akting lelaki di depannya cukup mulus jika akan memerankan sebuah sinetron FTV.
"Gak usah sok bego deh Lo brengsek, udah puas ciuman di taman?" tanya Gladys to the point dengan nafas memburu naik turun.
duar!
pikiran Vano berkelana, ia baru menyadari ada sesuatu yang belum ia sampaikan pada kekasih kecilnya. sebenarnya bukan hanya hal ini melainkan ada banyak hal yang belum ia sampaikan dan masih menjadi misteri akan hal itu.
"Glad dengerin gue, it's ok Lo nyebut gua brengsek. tapi dengerin gue dulu kalo itu bukan gue," jelas Vano berusaha membela dirinya.
Gladys malah tertawa lebih keras lagi, "Lo kira gue percaya gitu? heh, persetan dengan segala latar belakang yang Lo miliki. dengan cara itu Lo pikir gue bakalan percaya dengan semudah itu? mikir woi!" jawab Gladys masih dengan nada sinisnya. berusaha mempertahankan ego nya. tapi hati dan pikirannya menolak dan lebih memilih mencerna ucapan Vano barusan.
"terserah Lo Glad, tapi Lo bisa ngomong secara normal atau urat nadi Lo gua putusin sekarang?" ancam Vano sambil mengeluarkan sebuah pisau kecil dari sakunya. Gladys lupa bahwa ia sedang menghadapi seorang psikopat berdarah dingin yang tak terusik.
"Entah lo percaya atau engga, Lo bisa cari dan buktiin semua kebenarannya besok di rumah gue. semua jawaban ada di sana" ucap Vano kemudian berlalu keluar dari kamar Gladys lewat jendela belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABSTRACT # [COMPLETED] [SUDAH TERBIT]
Teen FictionSUDAH REVISI [FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!] #romantis and misteri Bertemu denganmu adalah sebuah kesalahan. Namun, menjauh dari mu adalah sebuah penyesalan juga bagi ku. Ini kisah tentang Gladys, memiliki nama panjang Gladys Oldianova. Gadis tengil...