Rey tidak pernah menyangka masa putih abu-abunya akan semenarik ini. Berhasil masuk sekolah elite sekelas SMA Kemuning ternyata membawa rentetan malapetaka. Kasus kecurangan yang berujung perundungan menghantuinya tanpa henti.
Ia melakukan hal yang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ari mengeringkan rambut menggunakan handuk dari suvenir pernikahan teman ibunya. Setelah bergulat dengan stik PS, ia lekas mandi untuk bergegas menjaili Ani di dapur. Namun, langkahnya terhenti kala menangkap sosok yang berdiam menatap jalan raya.
Sejak pulang dari sekolah, Rey mengurung diri di kamar dan menghabiskan waktu di balkon. Masih ditemani dengan sahabat setia, yaitu catatan harian nan lusuh, pensil sebesar telunjuk, dan musik yang terputar melalui ponsel.
Besar hasrat Ari untuk mendekat. Ya, sekadar berbasa-basi guna mengakrabkan diri. Akan tetapi, aneh agaknya jika tanpa angin ia berjalan dan bertanya sedang apa. Ari tidaklah kreatif dalam memulai percakapan.
Laki-laki itu mengangkat bahu lalu menggantung handuknya pada kapstok. Ia mengambil kaus putih oblong dan langsung mengenakannya.
"Ibu!" seru Ari menuruni tangga.
"Sstt, jangan teriak-teriak." Ani mengingatkan.
"Ups!"
Ari pun mengangguk dan menutup mulut. Ia bahkan memperlambat jalannya dengan berjinjit. Ani menggeleng pasrah melihat kelakuan anak itu.
"Ibu masak apa?" ucap Ari tepat di samping telinga ibunya. Tak lupa kedua tangan memeluk erat dari belakang.
"Hmm, gak liat? Ini lagi masak terong balado. Kesukaan anak Ibu yang paling ganteng."
"Hehe, sayang deh!"
Ani pun terkikik. Meski risi, ia tetap membiarkan Ari menempel padanya.
"Adik di mana?"
"Adik?"
"Hayoo, lupa?"
Ari tampak berpikir sebelum menepuk jidat. "Astaga, bodohnya Ari!"
Sang ibu semakin tergelak dan mengambil tempe goreng yang ada di dekat kompor. Tanpa permisi, Ani menyuapkannya ke mulut Ari. "Makan dulu biar sadar."
"Ma-maaf, Bu." Ari menelan makanannya lalu kembali mengucap, "Rey masih di balkon. Ari belum ngobrol lagi."
"Kenapa? Ada masalah?"
Anak yang rambutnya tampak lurus kala basah itu menggigit bibir. Ia melepas pelukannya dan duduk di kursi dapur. Ari menopang dagu, mendengkus lalu menggaruk tengkuk.
"Enggak, sih. Cuma … masih kaku aja. Ari deketinnya pelan-pelan aja."
Ani mematikan kompor dan berjongkok di depan anaknya. "Pinter, jadi abang emang kudu jagain adiknya. Pelan-pelan, nanti Rey pasti nempel. Asal, Ari gak berhenti usaha. Ngerti 'kan?"
"Siap, mengerti, Bu Bos!"
¶
Rey mengurut pangkal hidungnya pelan. Saat di desa dulu, neneknya sering melakukan hal serupa. Bedanya, ia selalu menggunakan koin 500 perak yang dibaluri minyak kayu putih.