[Un - U (n-1) = b]

1.3K 237 45
                                    

Angka merah pada kalender mengizinkan siapa pun untuk bermalas-malasan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Angka merah pada kalender mengizinkan siapa pun untuk bermalas-malasan. Begitu pula dengan Rey yang masih mengejap-ngejapkan mata. Meski tanpa perawatan khusus, nyeri pada area perut dan linu di sekitar betisnya mulai mereda. Anak itu lekas mengedarkan pandang dan mendapati diri telah terbaring di kasur kamarnya.

"Apa semalam Ayah yang bawa ke sini, ya?" gumamnya.

Rey mengangkat tangan dan menjadikannya sebagai bantal. Ia memandangi langit-langit kamar seraya menghela napas panjang. Lekat, benaknya lantas berlarian ke mana-mana.

Apa yang Galis katakan kembali terlintas. Kalimat bahwa ia akan mengembalikan Rey ke desa terus terngiang-ngiang.

Jauh di dalam relungnya, Rey tidak perlu menunggu masalah untuk kembali ke pelukan kakek dan nenek. Toh, tidak ada alasan manis untuk menetap di bawah atap ini. Namun, jangankan pulang, menelepon saja Rey tak sanggup. Sekadar berkeluh atau bertukar kabar pun tak ia lakukan. Ia takut, detik pertama suara kakek-nenek terdengar, ia akan lari dan mengingkari hati untuk berdiam di sini.

Lama termenung, anak itu sedikit tersentak saat Ari membuka pintu kamar mandi. Rey pun menoleh dan segera bangkit. Ia duduk bersandar sambil memandangi kakak tirinya.

Laki-laki itu berjalan menuju balkon lalu menjemur handuk. Tanpa sepatah kata pun, ia kemudian mengambil topi dari kapstok dan keluar kamar. Rey yang melihatnya hanya bisa menggigit bibir.

Sejak kejadian tak menyenangkan nan berkelanjutan itu, Ari belum membuka suara. Tidur di ranjang yang sama tak membuatnya sudi untuk menyelesaikan kesalahpahaman. Ia memilih membiarkan hening malam menjadi sekat di antara mereka.

Rey pun tidak tahu harus berbuat apa. Setiap ingin mengucapkan sesuatu, lidahnya kelu dan gagu. Seakan tak ingin diacuhkan kesekian kali.

Gue bakal percaya, Rey. Asal ada bukti kalau lo … gak bersalah.

Kata-kata itu tiba-tiba melintas. Tubuh Rey sampai terperanjat hingga kepalanya membentur tembok. Ia pun mengaduh dan mengusap-usapnya.

Bulu kuduk anak itu meremang. Hawanya kian memanas, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang membeku. Rey bergeming, mengingat setiap inci kalimat Ari, juga situasi yang ia alami beberapa hari yang lalu.

"Loker."

Kedua mata cokelat itu memejam, mengernyit, lalu mencari memori lain yang terabaikan. Rey lantas memukul-mukul pelipisnya, berharap dapat memperlancar daya ingat. Namun, yang ada hanya mendatangkan pening.

"Kertas itu …."

Benar, lembar-lembar yang menuduhnya itu masih di sana. Akan tetapi, apa yang berbeda? Mengapa semuanya terasa janggal?

"Gak mungkin …."

Rey tentu ingat. Hal yang membuatnya lari tanpa memperjelas apa pun adalah angka-angka serupa yang tertoreh pada lembar tersebut. Ada tiga kertas yang memuat isi yang sama. Hanya warna cetakan dan tata letaknya saja yang berbeda. Namun, tepat saat Ari mengembalikannya ke loker, ada beberapa kertas lain yang teronggok dan belum Rey sentuh hingga kini.

[1] Stepb: The Guilty One ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang