Genggamannya pada tali ransel kian menguat setelah sebuah tepukan mendarat di bahu. Rey hanya tersenyum kala Ari berlari dan melempar tasnya ke tepi lapangan. Dengan gesit ia mengambil alih bola basket dari siswa lain. Laki-laki bertubuh tinggi itu dengan mudah melompat dan mencetak skor.
Sang kakak pun melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Toh, kelas mereka tidak berada di gedung yang sama. Kelas Ari di sisi kanan gedung kedua, sedangan kelas Rey di sisi kiri gedung pertama.
Anak itu berjalan menyusuri lorong sambil menghafalkan berbagai rumus yang akan diujikan minggu depan. Kali ini Rey tidak menunduk. Ia tak mau tersungkur untuk kedua kalinya seperti beberapa waktu lalu.
Sesekali Rey memandang sekitar. Sebagian besar dari siswa-siswi yang bertebaran di depan kelas melakukan hal yang serupa dengannya, memegang catatan sambil komat-kamit.
Kelasnya telah ramai penghuni. Namun, tak ada kegaduhan sama sekali. Fokus mereka tetap pada buku paket yang tebalnya tak kalah dengan kitab suci.
Rey menerobos hening dan lekas duduk di bangkunya. Berhari-hari di sini tak membuat anak itu bersosialisasi dengan baik. Bukan tak mau, melainkan tak bisa. Hendak bersuara pun tak akan ada yang menanggapi. Tempat ini tak jauh berbeda dengan arena kompetisi.
Mars yang menggema melalui speaker utama memanggil seluruh murid 'tuk refleks berdiri. Begitu pula dengan Rey. Ia mengusap dada kala sekelilingnya terburu-buru bangkit hingga menimbulkan decitan yang teramat mengganggu. Perlahan, ia mengepalkan tangan dan menaruhnya di depan dada.
Kuat, kuatlah Kemuning
Junjung dan torehlah namamu
Prestasi-prestasi ini ...
Kan mengharumkan bangsaTegak, tegaklah Kemuning
Berdiri dan kukuhkan namamu
Prestasi-prestasi ini ...
Kan memulihkan negaraTak seberapa lama, wanita berhijab kuning keemasan masuk membawa setumpuk kertas. Setelah menyapa dengan rona yang merekah, ia meminta siswanya untuk duduk dan mengeluarkan alat tulis.
"Hari ini Ibu ingin membagikan hasil pre test kemarin. Bagi yang namanya dipanggil, silakan maju, ya."
Rey menopang dagu. 'R' bukan golongan awal yang membuatnya disebut terlebih dulu. Nomor absennya saja tiga dari bawah. Ia pun mendengkus saat gurunya mulai berdiri dan bertumpu pada meja.
"Reyga Aditya."
Sang empunya nama mengernyit bingung. Ia lekas menegap dan menunjuk diri. "Saya, Bu?"
"Iya, kamu."
Rey berjalan gontai sambil menggaruk tengkuk. Namun, senyumnya perlahan tersungging saat menerima selembar kertas itu. Angka 98 yang ditoreh menggunakan spidol merah tertera jelas di pojok kanan. Bukan angka yang kecil.
"Nilai pre test biologimu paling tinggi sekelas, bahkan seangkatan. Selamat, ya."
"Te-terima kasih, Bu."
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Stepb: The Guilty One ✔
Teen FictionRey tidak pernah menyangka masa putih abu-abunya akan semenarik ini. Berhasil masuk sekolah elite sekelas SMA Kemuning ternyata membawa rentetan malapetaka. Kasus kecurangan yang berujung perundungan menghantuinya tanpa henti. Ia melakukan hal yang...