Perih. Doni mencengkeram pahanya seraya menunduk. Serpihan USB yang telah hancur berkeping-keping di atas meja mencuri fokus dan mengalihkan rasa sakit. Mulai dari sudut bibir, rahang, tulang pipi, hingga pelipisnya memerah berkat tamparan dan pukulan dari sosok yang berkacak pinggang.
Hunian tiga lantai itu tampak sepi. Hanya seruan bertubi-tubi dari sang ayahlah yang mengisi ruangan. Lelaki berjas hitam yang mengerutkan kening itu tak henti mengentakkan kaki. Nyali Doni menciut saat tatapan tajam yang tertuju padanya kian menguat. Ia pun menunduk, tak sanggup 'tuk mengangkat dagu.
"Saya mau Bapak mengatasi masalah ini tanpa menambah masalah lain."
Doni memalingkan wajah. Ponsel pemberian mendiang ibunya turut remuk sebab kemarahan ayahnya. Kalau saja ia tidak jujur, mungkin senja sore ini masih terang dan menenangkan. Namun, ia tak dapat pungkiri, tidak ada seorang pun yang bisa memusnahkan kejadian ini.
Kaki dan tangannya masih dingin dan bergetar. Bahkan rona wajahnya pun belum pulih. Tetap pucat, meski setitik darah muncul dari luka-luka kecil yang menyebar.
Anak itu mengembuskan napas panjang. Bayangan tangan Rey yang mengulur padanya masih memenuhi memori. Datar rautnya kala memejamkan mata dan membentur tanah tak segera enyah. Sekuat apa pun Doni mengusap wajah sampai rambut, rumput yang berubah warna itu tetap bertahan di pikirannya.
"Mati karena bunuh diri lebih baik daripada kasus bullying."
Doni menoleh, tak terima akan label yang disematkan sang ayah. Ia bukanlah perundung. Ia hanya memberi pelajaran yang setimpal. Lagi pula, ia melakukannya karena para tetua itu tak mungkin tinggal diam atas ulah Rey. Seharusnya, mereka bangga, bukan?
Namun, sebesar apa pun gertakan yang ia sajikan, Rey tetap melaju. Doni tentu menerimanya dengan senang hati. Ia benar-benar tidak menyangka permainan ini akan berujung kekalahan nan seri. Ini semua di luar kehendaknya. Alhasil, tak ada sedikit tawa pun yang mengakhiri.
"Masalah media itu gampang. Kasih pengalihan isu sedikit juga beres. Bapak gak perlu khawatir soal citra sekolah, humas saya akan membantu pemulihan branding. Semua biaya saya yang tanggung."
Doni menyandarkan kepalanya pada sofa, memandang lampu gantung ruang tengah dengan tatapan kosong. Lama-lama ia muak mendengarkan negosiasi yang sudah berjalan setengah jam tersebut. Ia bosan, entah telah berapa kali kepala sekolahnya berbincang dengan sang ayah.
"Ingat, Pak, Bapak masih bisa menyelamatkan masa depan anak-anak lain dengan mengiakan saran ini. Atau Bapak mau, kasus kecurangan dan …."
Kalimat itu menggantung, membuat Doni menegapkan tubuh dan mencengkeram bantalan sofa. Ia menelan ludah dan menggigit bibir, menatap lelaki yang mengangguk pelan seraya tersenyum. Perlahan, debar jantungnya kian melambat dan teratur.
Laki-laki yang mematikan panggilan itu melempar ponselnya ke samping Doni. Ia mendekat dan menarik kerah sang anak yang tak lagi rapi.
Ia pun berbisik sebelum kembali menampar Doni dan meninggalkan rumah, "Hubungi teman-temanmu. Masalah sudah selesai. Hapus kejadian hari ini dari hidup kalian. Kalau sampai kamu masih berbuat ulah, Ayah akan mengirimmu ke panti."
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Stepb: The Guilty One ✔
Teen FictionRey tidak pernah menyangka masa putih abu-abunya akan semenarik ini. Berhasil masuk sekolah elite sekelas SMA Kemuning ternyata membawa rentetan malapetaka. Kasus kecurangan yang berujung perundungan menghantuinya tanpa henti. Ia melakukan hal yang...