Anak berpakaian serba hitam itu memasuki kamar dengan lesu. Di tangannya tergenggam hasil autopsi yang diambil dari kamar orang tuanya. Meski telah tahu dan mengerti, ia tetap menggenggam kuat, seolah hal itu akan membuat batinnya membaik.
Ari menjatuhkan diri di atas kasur, mengikuti kebiasaan sang adik dengan menatap langit-langit. Hasil yang menyatakan 'tidak ditemukan kekerasan baru dan cedera parah terletak pada tubuh bagian bawah' itu membuat kematian Rey ditutup dengan kasus bunuh diri. Walau terdengar konyol sebab tidak ada pesan kematian yang ditemukan, kemungkinan ini tetap paling wajar di antara yang lainnya.
Tak terasa air mata Ari menetes. Kalau saja ia percaya dengan Rey dan mau mendengarkan anak itu lebih jauh, tentu hal ini tidak akan terjadi. Namun, sebanyak apa pun ia mengungkapkan penyesalan, waktu tidak akan terputar ulang. Bagaimanapun, adiknya tidak akan pernah kembali.
"Maafin gue, Rey."
Bangkit, Ari menoleh ke meja belajar. Plastik hitam yang belum dibongkar oleh sang ayah sontak menarik perhatian. Ia pun membukanya mengeluarkan ransel Rey. Tanpa ragu, ia mengambil satu per satu isi tas tersebut.
Sesekali Ari tersenyum. Melihat sampul yang begitu apik dan tulisan-tulisan nan rapi membuatnya rindu. Ia lantas mendekap buku-buku tersebut dan memejamkan mata.
"Andai saat ini gue lagi peluk lo, Rey."
Setelah berdiam cukup lama, Ari kembali melanjutkan aksinya. Sebuah buku catatan yang tampak berbeda lantas mencuri perhatian. Ia pun segera membuka halaman pertama dan dikejutkan dengan kalimat mirip buku harian.
"Dosa gak, ya, kalau gue baca diari orang yang udah gak ada?" monolog Ari sembari mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja.
Tak berlama-lama, ia pun menjawab dirinya sendiri dengan kata 'tidak' lalu membalik halaman catatan tersebut. Hening, detik-detik milik Ari dihabiskan untuk membaca untaian keluhan sehari-hari.
"Gue gak ngerti ... gue gak salah ... gue bukan pelakunya ... bukti itu lenyap ... gue gak bisa berbuat apa-apa ...."
Ari berjalan menuju balkon bersama buku tersebut. Ia tekun membacanya sampai titik terakhir, tak peduli dengan hiruk-pikuk jalan raya yang terdengar sampai lantai atas. Ia hanya menginginkan angin yang membawa hawa panas untuk mengambil alih tubuh yang mendidih hebat.
Ari menutup buku tersebut dan menggenggamnya erat. Ia mendongak, menatap langit yang cukup terik. Meski demikian, ada satu bintang yang bertahan di antara awan yang berkerumun. Ia pun tersenyum dan mengangguk pasti.
"Kali ini gue bakal nepatin janji, Rey. Gue percaya sama lo dan lo juga harus percaya sama gue. Tunggu, gue pasti nemuin apa yang lo mau."
Pernyataan itu bak ikrar yang mengikat. Namun, Ari tidak keberatan. Ia bersungguh-sungguh. Setelah ini, ia akan melanjutkan jejak yang Rey tinggalkan. Ia akan menjawab pertanyaannya dan memulihkan keadaan.
Meski dosa lain akan terbentuk, bukan menjadi masalah. Karena ia, juga Rey, sungguh tidak bersalah.
Day 21
29 Oktober 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Stepb: The Guilty One ✔
Teen FictionRey tidak pernah menyangka masa putih abu-abunya akan semenarik ini. Berhasil masuk sekolah elite sekelas SMA Kemuning ternyata membawa rentetan malapetaka. Kasus kecurangan yang berujung perundungan menghantuinya tanpa henti. Ia melakukan hal yang...