[|x| = |-x|]

1.1K 210 29
                                    

Satu per satu panggilan datang silih berganti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu per satu panggilan datang silih berganti. Dering yang memenuhi seluruh ruangan itu mampu mendidihkan kepala siapa saja. Jawaban yang sama terus berulang hingga mulut pun berbusa. Lembutnya suara para guru itu tak sebanding dengan kernyitan yang muncul di dahi.

Sang kepala sekolah masih sibuk berkacak pinggang. Sesekali ia memijat pelipis dan menggebrak meja. Hari masih terlalu pagi, tetapi ubun-ubunnya bak ditarik ulur tiada henti.

"Cepat! Sudah belum melacaknya?"

"Maaf, Pak, belum. Sabar, Pak."

Lagi-lagi lelaki berambut minimalis itu menendang meja. Berkat postingan yang telah diteruskan ke ribuan orang, SMA Kemuning dihujani keluhan sana-sini. Bahkan, tidak sedikit yang mengancam untuk mengambil putra-putrinya.

Sontak seluruh tenaga pengajar dan staf lain diminta agar berkumpul lebih awal. Sekitar pukul 05.30 WIB, pihak sekolah menghubungi ahli terkait untuk melacak alamat akun yang menyebabkan kalang kabut tersebut.

"Humas mana humas!"

"I-iya, Pak?" jawab seorang gadis sambil tergopoh-gopoh mendekati orang terpenting di sekolah ini.

"Bagaimana dengan media?"

"Ma-masih kami atasi, Pak. Beberapa dari mereka sudah menurunkan kabar ini dari portal. Sebagian lagi masih tahap lobby."

"Bagus," ucapnya sambil mengangguk, "selesaikan dan buat press release secepat mungkin."

"Baik, Pak."

Mencegat pemberitaan agar tak memperpuruk situasi merupakan tindakan terpenting yang mereka lakukan. Dalih oknum tak bertanggung jawab untuk sementara waktu akan menjadi headline dan menggeser rumor yang tidak-tidak. Para guru yang bergerak di bawah yayasan hanya bisa patuh terhadap instruksi.

"Sudah, Pak."

Kalimat yang tidak begitu lantang itu tetap berhasil menarik perhatian. Sontak semua guru menatap lekat dan menelan ludah. Beberapa dari mereka menaruh telepon dan mengabaikan panggilan.

"Mana alamatnya?"

Sang kepala sekolah mengambil alih komputer tersebut. Ia membenahi letak kacamatanya agar dapat melihat dengan jelas. Namun, antusiasnya menurun setelah mengenali nama jalan beserta nomor yang tertera pada layar.

"Bu Ani!"

Sang empunya nama terperanjat. "Iya, Pak?"

"Saya butuh penjelasan."

Bingung, wanita itu lekas mendekat. Ani langsung melihat apa yang ditunjuk oleh atasannya. Sontak mulutnya menganga kala mendapati alamat kediamannyalah yang terpampang di sana.

"Ini alamat rumah Ibu, kan?"

"Be-benar, Pak."

"Berarti kemungkinan besar anak Ibu-lah pelakunya."

[1] Stepb: The Guilty One ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang