Pahit kalimat yang tersembunyi di balik puluhan angka membuat Ari mengepalkan tangan. Langkahnya tergesa dan kian dipercepat kala melihat sang ibu keluar dari ruang guru. Ia tergopoh-gopoh sampai tersandung dan hampir terjungkal. Untung saja Ani sigap menangkapnya.
"Kenapa lari-lari, sih, Ri?" kesal wanita tersebut.
Anak itu tak lekas menjawab. Ia sibuk menatap ibunya dari atas hingga bawah. Hari masih siang, tetapi ibunya telah menenteng dua tas kerja.
"Ibu mau ke mana?"
Ani tersenyum tipis dan mengusap kepala anaknya. "Ibu pulang lebih awal hari ini."
"Kenapa? Masalah brosur gak jelas tadi? Jangan bilang--"
"Pihak sekolah masih mencari siapa pelakunya. Kamu gak perlu khawatir. Ibu pulang dulu."
"Ta-tapi …."
Langkah wanita itu terus melaju, meski berkali-kali namanya diserukan. Ari mengentak kesal. Ia memukul tiang mading di sampingnya hingga bergetar. Perih di sela-sela jari tidak seberapa dibanding apa yang bergemuruh di relungnya.
Dalam benak, ia terus berprasangka buruk. Apakah ibunya dipecat seperti kasus guru beberapa waktu lalu? Atau hanya diberhentikan sementara waktu sampai pelakunya ditemukan? Namun, kenapa? Bukankah ia adalah korban?
Sayup-sayup Ari mendengar percekcokan dalam ruang yang terkunci. Suara lelaki yang kian meninggi itu sungguh tak terkontrol. Ia pun mendekatkan telinga pada pintu untuk memastikan bahwa kata citra dan media berulang-ulang ditekankan.
Ari mengembuskan napas panjang lalu menggeleng kuat. Ia meminta maaf dalam batin atas perbuatan tercelanya. Tidak seharusnya ia berperilaku demikian. Lantas, anak itu pun melanjutkan langkah menuju gedung kelas X.
Para siswa di sepanjang lorong menjadi saksi kekalutannya. Raut wajah nan merah padam dengan kedua tangan yang mengepal membuat siapa pun menatap lekat. Bedanya, tidak ada di antara mereka yang berbisik.
Ari mendorong pintu yang setengah terbuka dengan cukup keras. Tak sedikit yang terperanjat dan hampir menyumpah. Namun, anak itu tak mengindahkan dan melenggang masuk. Sorot matanya telah menemukan target.
"Rey!"
Anak yang tengah berdiri menghadap loker itu lekas menoleh. Ia mengernyit heran saat Ari berjalan dengan alis yang terangkat dan bertautan.
"Ada apa, Bang?" tanyanya polos.
Ari mengeluarkan ponsel kawannya yang ia bawa tanpa izin dan menunjukkan sebuah foto. "Lo tau ini?"
"Tau apa?"
Rey mengambil alih benda tersebut dan mengamatinya lamat-lamat. Ia menggigit bibir kala mencermati setiap angka yang tertera. Setelah paham akan susunan tersebut, Rey pun terbelalak dan menelan ludah.
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Stepb: The Guilty One ✔
Genç KurguRey tidak pernah menyangka masa putih abu-abunya akan semenarik ini. Berhasil masuk sekolah elite sekelas SMA Kemuning ternyata membawa rentetan malapetaka. Kasus kecurangan yang berujung perundungan menghantuinya tanpa henti. Ia melakukan hal yang...