Galis menyatukan kedua tangannya lalu memangku dagu. Ia menggigit bibir cemas, menunggu beberapa patah kata yang akan terdengar. Ani yang duduk menyilang di dekatnya hanya bisa mengembuskan napas panjang. Wanita itu juga tak kalah panik.
Setelah semalaman mengalami demam tinggi, sejoli tersebut membawa putranya ke rumah sakit. Kesadaran Rey yang timbul-tenggelam membuat seluruh penghuni rumah belingsatan. Pagi-pagi sekali mereka menyapu jalan raya yang belum seberapa ramai.
Lelaki ber-sneli yang baru keluar dari UGD lekas menemui wali pasien yang menunggu di kursi tunggu. Ia tersenyum tipis lalu membungkuk saat Galis mendadak berdiri seraya mengusapkan tangannya pada celana.
"Bagaimana, Dok?"
"Saya sarankan pasien agar dirawat beberapa hari di sini. Mungkin Ibu bisa mengurus administrasi terlebih dulu, sedangkan Bapak ikut saya untuk penjelasan lebih lanjut."
Ari yang terkantuk-kantuk di tempat duduknya lantas menawarkan diri, "Abang aja, Ibu ikut Ayah gak apa-apa."
"Makasih, ya, Bang."
Anak yang sudah memiliki KTP itu mengangguk. Ia segera mengikuti arahan suster agar Rey bisa dipindahkan ke ruang rawat secepatnya, sedangkan Galis dan Ani berjalan di belakang dokter dengan perasaan campur aduk.
Pasutri yang telah berkeluarga selama dua tahun itu saling menautkan jemarinya. Mereka kompak duduk lalu menarik kursi ke depan agar bisa mendengar dengan jelas. Alis Galis telah bertaut dan keningnya tampak berkeringat.
"Anak Bapak dan Ibu menunjukkan gejala tifus. Selain itu, terdapat beberapa memar di area betis, perut dan pinggang. Kami sudah merawat lukanya dan memberi antibiotik."
Ani tak kuasa menutup mulut. Galis juga tak kalah terbelalak kala mendengar pernyataan itu. Dadanya sesak, ditimbun oleh tumpukan perasaan bersalah. Ia pun mengusap wajah lalu mengacak rambut.
"Harus istirahat total sampai beberapa hari ke depan."
"Baik, terima kasih, Dok."
Tenaga Galis seakan terkuras hanya dengan kalimat-kalimat tersebut. Langkahnya terseok, ia bahkan berpegangan pada dinding rumah sakit. Ani yang berjalan di sampingnya turut bingung dan mengawainya.
Wanita itu mengajak untuk kembali duduk di kursi kosong yang tak jauh dari sana. Ani menepuk-nepuk dan mengusap lengan suaminya perlahan, mencoba menguatkan. Ia pun bersandar pada bahu Galis dan menggenggam tangannya erat.
"Caraku dalam mendidiknya sangat salah, ya, An?"
Sang empunya nama tak sampai hati untuk menjawab. Iya atau tidak, bagi Galis tetap tidak ada benarnya. Ani sangat tahu itu. Ia memilih menjawabnya dengan belaian lembut di pergelangan tangan lelaki itu.
"Gak seharusnya aku main tangan, kan? Gak seharusnya juga aku menyepelekan sakitnya tempo hari."
"Mas--"
KAMU SEDANG MEMBACA
[1] Stepb: The Guilty One ✔
Ficção AdolescenteRey tidak pernah menyangka masa putih abu-abunya akan semenarik ini. Berhasil masuk sekolah elite sekelas SMA Kemuning ternyata membawa rentetan malapetaka. Kasus kecurangan yang berujung perundungan menghantuinya tanpa henti. Ia melakukan hal yang...