▶️ 06

71 19 3
                                    

Jangan lupa vote dan komen.

Happy reading! ♥️

Salah satu hal yang tidak disukai Yara menjadi ketua ekskul adalah dia harus membuat dan mengumpulkan absensi anak-anak ekskul tiap bulannya. Karena kemalasan Yara yang memang sudah ada dari lahir, dia baru menyelesaikan laporan itu tadi malam. Hampir saja ketinggalkan di meja belajar jika Kafin tidak mengingatkan. Sepupunya itu pasti mengamuk jika Yara menyuruhnya balik ke rumah saat teringat sesuatu yang ketinggalan di tengah jalan. Tidak hanya sekali Yara melakukan itu, bahkan karena kelupaan Yara mereka pernah dihukum karena terlambat masuk ke sekolah.

Yara mengelus tulang keringnya ketika tidak sengaja membentur kursi di depan kelas. Yara mengumpat dalam hati, mengapa dia selalu menjadi orang yang ceroboh. Beberapa detik Yara berjalan sembari berjingkat karena nyeri di tulang keringnya. Lalu Yara menepuk jidatnya dan berlari-lari kecil ketika kertasnya berhamburan. Mampus gue, batin Yara gemas.

Perempuan itu mengambil kertas-kertasnya dengan tergesa-gesa. Yara tidak sadar langkah kakinya sudah mencapai rooftop. Yara mengambil kertas terakhir dengan senyuman lega. Saat mendengar bunyi krasak krusuk dari dalam rooftop, Yara mengerutkan dahinya. Seingatnya, anak-anak murid dilarang masuk ke dalam sana. Karena penasaran, Yara membuka pintu rooftop itu.

Jantungnya serasa diremas ketika menemukan sosok Rayan yang sedang membelakanginya. Perasaan senang langsung membuncah memenuhi dada Yara.

"Rayan! Lo lagi ngapain di sini?" Kaki Yara mendekati sosok laki-laki itu. Ketika menemukan sebatang rokok yang menyala di selipan jari Rayan, Yara menaikkan alisnya. "Lo masih ngerokok?"

Mata hitam Rayan melirik perempuan di sampingnya sekilas sebelum melanjutkan kegiatannya. Rayan membiarkan Yara merasa kesal karena omongannya tidak dibalas.

Yara berkacak pinggang. Rambutnya yang panjang beterbangan karena angin yang kencang. "Lo harus berhenti ngerokok, Ray. Lo tahu kan kalau rokok itu bisa ngebunuh lo perlahan-lahan."

Rayan tidak bereaksi apa-apa. Matanya tetap memandang ke depan dengan tenang. Embusan rokok yang tidak sengaja tercium oleh Yara membuat perempuan itu terbatuk-batuk.

"Lo mau ngebunuh gue juga?" tanya Yara dengan kesal karena dicueki. Tangan perempuan itu menyentuh lengan Rayan yang sedang memegang rokok, memaksanya untuk berhenti bergerak. "Berhenti ya, Ray? Demi diri lo sendiri," ucapnya dengan lembut.

Mata Yara menatap mata Rayan lekat. Bibirnya yang tipis tersenyum dengan lembut. Perlahan, tangan Rayan melepaskan rokok dan menginjaknya dengan asal. Mata Rayan memandang Yara dengan sinis.

"Lo udah ganggu gue. Gue paling nggak suka kalau ada yang ganggu, lo tahu itu, kan?"

Yara hanya terdiam seraya tersenyum puas. Perempuan itu tidak peduli dengan ucapan sinis Rayan, yang penting laki-laki itu telah berhenti merokok. Itu saja cukup baginya, karena dia tidak ingin Rayan merusak dirinya sendiri.

Ketika terdengar bunyi pintu yang berderit, tangan Rayan langsung menarik Yara untuk bersembunyi. Tubuh mereka bersembunyi di antara kursi-kursi yang tidak terpakai. Yara menolehkan kepalanya untuk melihat siapa yang datang, tapi tangan Rayan mencegahnya untuk bergerak sedikit pun. Yara dapat mencium bau khas Rayan dengan jelas, karena posisi kepalanya berada di dada laki-laki itu. Pipi Yara bersemu. Astaga, bahkan Yara dapat mendengar suara jantung Rayan yang berirama.

"Udah pergi," ucap Rayan pelan. Tangannya setengah mendorong tubuh Yara. "Lo bisa pergi sekarang."

Yara tidak bisa berkata apa-apa lagi. Kakinya yang gemetar buru-buru melangkah keluar. Jantungnya menggila di dalam sana. Pesona Rayan memang benar-benar tidak bisa terbantahkan. Saat Yara mencoba untuk melangkah lebih jauh, tapi sosok Rayan seolah menariknya kembali.

**

Otak Yara masih kosong. Di kepalanya masih terbayang lengan Rayan yang melingkupi punggungnya, menahannya tidak bergerak. Dia masih ingat dengan jelas aroma Rayan yang membuatnya mati rasa. Kepala Yara tergeleng pelan, dia bisa gila kalau memikirkan ini lama-lama. Yara hampir menabrak seorang laki-laki jika teriakan Kafin tidak menyadarkannya. Kuah bakso yang dipegang Yara tumpah sedikit.

"Lo gila ya, Ra? Kalau jalan itu jangan ngelamun. Kalau nabrak orang beneran gimana?"

Suara Kafin yang memendam amarah membuat Yara ciut. Dia tahu dirinya salah. Yara melemparkan senyuman canggung. "Ya, maaf."

Kafin menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan perbuatan sepupunya.

Ekspresi Yara langsung berubah. Sebuah senyuman riang terlukis dengan sempurna saat indera penglihatannya menangkap sosok Bella. Walaupun hatinya masih sakit jika mengingat hubungan Bella dengan Rayan. "Kita duduk di sana aja."

Kafin hanya mengikuti langkah kaki Yara. Baginya, mau duduk di mana saja yang penting makan. Perutnya sudah memberontak sejak guru menerangkan pelajaran.

"Kenalin, Fin, namanya Bella. Satu angkatan di bawah kita." Dengan riang Yara memperkenalkan Bella pada Kafin, tanpa menyadari ekspresi terkejut Bella karena tahu-tahu ada orang yang duduk di sebelahnya.

Kafin hanya mengangguk sekilas lalu tersenyum setelah memerhatikan Bella beberapa detik. Laki-laki itu jelas tahu siapa Bella, karena hari-harinya dipenuhi dengan mengawasi Yara. Dia tidak ingin jika Yara terluka karena perempuan itu sungguh berarti dalam hidup Kafin.

"Dan ini Kafin, penguntit aku." Yara tertawa kencang saat melihat wajah kesal Kafin, sementara Bella hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Enak aja." Kafin menepuk puncak kepala Yara pelan. "Gue orang tercinta lo, ya, kan? Kalau mau makan, carinya gue. Kalau mau pulang, carinya gue. Mau berangkat sekolah juga iya."

Dengan gemas, Yara mencubit perut Kafin yang membuat laki-laki itu langsung mengaduh pelan. Matanya melotot pada Yara.

"Aduh, gue nggak denger apa-apa tadi." Yara mengibaskan tangannya di sekitar telinga. "Maaf ya, Bel. Cowok ini emang sering kumat gilanya." Yara berbisik pelan di telinga Bella. "Dia itu, Bel, kabur dari rumah sakit jiwa. Jangan bilang siapa-siapa ini."

Bella tertawa mendengarnya. Lantas menganggukkan kepalanya cepat. Perempuan itu tahu jika Yara berbohong.

"Kamu sendirian di sini?" tanya Yara sembari menusuk baksonya.

"Iya, Kak. Aku sendiri aja." Bella tersenyum kikuk.

"Lain kali kita gabung aja. Aku bosen duduk berdua sama Kafin doang." Yara mengabaikan tatapan menusuk Kafin yang diarahkan kepadanya. Aroma bakso yang menyapu hidungnya membuat Yara dengan semangat mengunyah bakso.

"Uhuk! Uhuk!" Yara menepuk-nepuk dadanya. Perempuan itu merasa ada daging bakso yang menyangkut di tenggorokkannya.

Bella dengan cepat memberikan air putih miliknya. Sementara itu, Kafin tertawa dengan lantang menyaksikan wajah Yara yang memerah karena tersedak.

"Mampus. Inget ya, Ra, karma terus berlaku di dunia ini," ucap Kafin lengkap dengan senyum puasnya.

"Liat, kan, Bel, dia itu kayaknya benci banget sama aku. Masa aku kesedak aja dimampus-mampusin," adu Yara setelah meminum air putih Bella hingga habis setengah. "Astaga, ternyata aku ngabisin minum kamu. Maafin aku, Bel."

Bella menggaruk kepalanya. Tentu saja dia tidak masalah dengan hal itu, yang penting dia ada teman makan saat ini. Kakaknya tidak akan khawatir jika Bella sendirian duduk di kantin. "Nggak apa-apa, Kak."

Yara meringis kecil. Matanya memerhatikan botol air putih Bella yang isinya tinggal setengah dan wajah polos Bella. Astaga, mengapa pacar Rayan bisa sebaik ini? Kalau seperti ini, Yara tidak mungkin tega melabraknya jika tiba-tiba Bella menyakiti Rayan.

"Kapan-kapan aku traktir kamu, ya? Kita bisa nongki cantik di mall."

"Nggak usah, Kak. Aku ikhlas kok." Bella tersenyum tidak enak.

Yara mengibaskan tangannya. "Nggak usah sungkan gitu sama aku kali. Pokoknya kita harus jalan bareng."

Akhirnya Bella hanya mengangguk pasrah. Sementara itu, tiba-tiba sebuah pikiran terbesit di otak Yara. Apa hatinya akan tetap baik-baik saja jika dia mendekati Bella?

Dangerous Man [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang