Tempat itu terasa bising. Banyak muda-mudi yang berada di tepi jalan, ingin menyaksikan balap liar malam ini. Suara kekehan dan orang berbicara terdengar menyampur di telinga Rayan. Meskipun langit telah menggelap, Rayan masih dapat melihat jelas sepasang mata Kafin yang menatapnya remeh. Laki-laki itu terlihat bersandar pada motornya dan tersenyum sinis.
Rayan tersenyum miring, kemudian merapikan lengan jaket birunya yang terlipat. “Jadi, apa tujuan lo ngajakin gue balapan kali ini?”
Sekarang mereka sedang berdiri di tengah-tengah jalan, menjadi orang yang selanjutnya akan mengikuti balap liar. Handra dan Axel berdiri tidak jauh dari mereka, sudah siap pasang badan jika Kafin mengajak ribut. Atau mungkin, akan menjadi pelerai jika Rayan tiba-tiba berbuat nekat. Mata Handra tidak sengaja melihat sosok laki-laki dengan jaket hitam yang sedang meninggalkan area balapan. Handra berpikir keras, rasanya dia mengenal orang itu.
“Lo penasaran?” tanya Kafin, yang berhasil membuat perhatian Handra kembali teralihkan. Laki-laki dengan jaket hitam itu sudah tidak terlihat lagi.
Rayan menepuk pundak Kafin ringan. “Gue harus tahu dulu tujuan dari balap ini, baru gue akan iyain. Gue nggak mau cari ribut.”
Tatapan Kafin semakin sinis. Dia pura-pura membersihkan tempat dimana Rayan menepuk pundaknya. “Lo udah cari ribut semenjak nyakitin Yara. Gue nggak akan tinggal diem kalau ada yang macem-macem sama Yara.”
“Lo...” Rayan mendekatkan kepalanya ke telinga Kafin. “Gue pengen tahu suatu hal. Gue rasa tingkah lo ke Yara nggak nunjukkin sebagai sepupu.” Ada jeda beberapa saat. “Lo naruh hati sama Yara?” Rayan berbicara dengan suara yang teramat pelan, hingga tidak ada satu pun orang yang mendengar suaranya, kecuali Kafin.
Kafin mematung beberapa detik, sebelum tawanya menguar di udara. Namun, suara tawanya terdengar seperti dipaksakan. Rayan memundurkan tubuhnya, memandang Kafin dengan ekspresi yang tidak terbaca.
“Gue yakin ucapan gue bener setelah tahu respon lo.”
Detik selanjutnya, Kafin mengangkat tinjunya. Terdengar suara sorakan dari penonton, mereka menantikan pertarungan yang seru. Rayan yang melihat Kafin menahan tinjunya di udara tersenyum tipis.
“Nggak berani?” tantang Rayan. “Kenapa? Karena ucapan gue bener?”
“DIEM LO!” Kafin mengempaskan tinjunya dengan kesal. “Siapa lo berani ikut campur tentang gue?”
Rayan tetap bersikap tenang mesikupun Kafin menatapnya marah. “Tenang, dong. Gue cuma nanya, Fin. Lagian, gue juga nggak mau cari ribut sama lo. Gue masih inget lo yang udah nyelamatin Bella.”
“Kalau ucapan lo bener, terus kenapa?” Tatapan Kafin melunak. Matanya kini memandang Rayan dengan mata yang berkaca-kaca. Rahasia yang selama ini dia simpan selama bertahun-tahun akhirnya terkuak oleh Rayan. “Gue nggak bisa ngatur hati gue akan berlabuh ke mana, meskipun gue tahu kalau itu salah.”
Rayan mengisi dadanya dengan oksigen sebanyak mungkin. Tangannya menepuk pundak Kafin dengan pelan, kali ini bermaksud untuk menenangkan Kafin.
“Terus, tujuan dari balapan ini apa?” tanya Rayan sembari memerhatikan tempat balap yang semakin ramai. Mereka masih berdiri di tengah-tengah jalan, mengundang perhatian penonton, karena balapan tidak dimulai.
“Lo boleh deketin Yara kalau menang,” ujar Kafin dengan tegas, mengundang senyum tipis Rayan.
“Kalau gue kalah?”
“Lo harus menjauh dari Yara, atau menghilang dari hidup Yara.”
Rayan tertawa keras mendengar itu, hingga matanya hampir menghilang. Kemudian, laki-laki itu bersandar pada motor besarnya. Motor itu hanya sesekali keluar dari garasi, ketika dia ingin mengikuti balapan, atau mengebut seperti orang gila di jalanan.
“Gue akan turutin mau lo.”
**
Jantung Yara menggila ketika mendengar kabar Kafin kecelakaan. Dia langsung berlari ke luar rumah dengan piyama beruangnya. Pamannya membawa mobil seperti orang gila, menyelip sana-sini dan mengklakson siapa saja yang berada di depan. Bibi menangis sesunggukkan sepanjang perjalanan.
Yara sangat takut. Dia takut kembali kehilangan orang-orang yang dia sayangi. Hanya paman, bibi, dan Kafin yang dia miliki di dunia ini. Bagaimana jika Tuhan kembali memanggil orang-orang yang dia sayangi?
Kali ini, Yara membiarkan air matanya terus menetes sepanjang kakinya berlari menuju UGD. Yara menggenggam kuat tangan bibinya yang terasa beku. Mereka langsung menelusuri UGD, dan menemukan tubuh Kafin yang terbaring.
“Fin! Lo baik-baik aja?” Yara langsung mengamati tubuh Kafin dari ujung kepala hingga ujung kaki. Yara menghela napas lega. Ternyata kondisi Kafin tidak seburuk yang dia bayangkan. Dia menemukan luka-luka di sepanjang kaki Kafin yang sudah terobati. Juga luka di pelipis dan lengan bawah.
“Fin, kamu kenapa bisa kayak gini?!” Bibi menggenggam erat jemari Kafin.
“Aku baik-baik aja, Ma.”
“Gimana kayak gini bisa baik-baik aja? Kamu balapan lagi? Udah Mama bilang, kalau kamu itu jangan balap-balapan.”
“Udah, Ma, Kafin lagi sakit kok malah diomelin? Yang penting dia masih hidup sampai sekarang.” Paman menenangkan bibi yang kini terlihat tersedu-sedu. Dulu Kafin memang sering mengikuti balap liar saat awal masuk SMA. Namun, setahun belakangan sampai hari ini, mereka tidak pernah mendengar Kafin ikut balapan lagi.
Yara melihat ada seseorang yang mendekat ke arah mereka. Mata Yara mengerjap ketika menemukan Rayan yang sedang memandangnya juga. Rasa bingung langsung menyergap Yara. Perempuan itu melirik pada Kafin yang masih berbincang pada orang tuanya. Akhirnya, Yara menarik Rayan keluar dari bangunan rumah sakit.
“Lo kenapa ada di sini?” tanya Yara dengan wajah bingung.
“Gue—” Rayan berusaha menghindar dari tatapan Yara. Dia tidak yakin harus menjelaskan apa pada Yara.
“Jangan bilang Kafin beneran ikut balapan? Dan lo orang yang buat Kafin ikut balapan?” Pertanyaan itu membuat Rayan kehilangan seluruh kata yang telah dia susun. “Bener kayak gitu, Ray?”
“Nggak gitu, Ra. Emang bener Kafin tadi ngendarain motor di area balapan. Ada gue juga di sana. Ta—”
“Apa nyakitin gue belum cukup, Ray?!” Yara mundur beberapa langkah. Matanya memandang Rayan dengan sinis. “Apa lo harus nyakitin Kafin juga? Lo nggak tahu gimana pentingnya Kafin bagi gue. Dia salah satu orang yang sangat gue sayangin. Gue nggak masalah kalau lo nyakitin gue. Gue udah maafin lo, karena sepenuhnya itu bukan salah lo. Tapi, kalau soal ini, lo keterlaluan.”
Ucapan itu menghujam Rayan tepat di dadanya. Otaknya merekam dengan jelas bagaimana tatapan benci Yara yang mengarah padanya. Tatapan Yara yang dulu terlihat lembut, kini terlihat sangat tidak menyukainya. Seluruh tubuh Rayan seakan tidak bisa digerakkan.
“Udah gue bilang, mending lo pergi dari hidup gue. Bener kata Kafin, kalau lo itu cowok berbahaya. Mulai detik ini, jangan pernah muncul lagi di hadapan gue!” Yara mengulum bibirnya dalam, menahan isakannya yang sebentar lagi akan meledak.
“Ra...”
Rayan mengerang panjang ketika Yara kembali masuk ke rumah sakit. Perempuan itu tidak memberikannya waktu untuk menjelaskan apapun. Rayan meninju dinding dengan kalap, tidak peduli tangannya berdarah. Namun, dia tidak merasa sakit sedikit pun di tangannya, karena hatinya jauh lebih terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Man [End]
Genç KurguRayan merasa hidupnya hancur total. Ibunya telah meninggal saat dia masih kecil, ayahnya tidak pernah memerhatikannya, dan dia harus menjadi pelindung bagi adiknya. Rayan ragu jika suatu hari dia akan menemukan kebahagiaan. Sampai dia bertemu dengan...