Bella berjalan perlahan menuju ruang tamu. Kala sepasang mata hitam itu mengamati foto pernikahan, isak tangis yang dia tahan telah meledak. Di foto itu papa dan mamanya tersenyum lebar, terlihat bahagia. Sepanjang umurnya, Bella tidak pernah melihat senyuman papa selebar dan selepas itu.
Tubuh Bella merosot ke bawah. Tangannya memukul dadanya yang terasa nyeri. Rasanya, rasa sakit ini terlalu mengerikan untuk dia tampung. Sejak dia mengerti bahwa dia hidup di dunia, Bella tidak pernah mendapatkan kasih sayang. Dia tidak pernah diperlakukan dengan lembut oleh papanya. Perlahan, rasa sakit itu memuncak, hingga sekarang melebur menjadi satu.
Bella terus memukul dadanya. Sebuah pertanyaan melintas di benaknya, mengapa dia harus dilahirkan jika hanya bisa menjadi penghancur? Bahkan kakaknya tidak pernah mendapatkan kebahagiaan karenanya.
Dengan tertatih, Bella berusaha berjalan menuju kamarnya. Rayan tidak boleh menemukannya menangis seperti ini. Aroma melati yang segar segera menerpa Bella ketika dia membuka pintu kamar. Dengan cepat, Bella menarik selimut hingga ke ujung kepala. Dia terisak kuat di balik selimut. Mengapa rasanya sesakit ini?
Jemari Bella berusaha meraih ponselnya. Dengan jemari yang gemetar, Bella berusaha menghubungi pamannya. Detik ke enam, suara paman terdengar. "Halo, Bella!"
Bella menggigit bibirnya kuat, berusaha untuk membuat suara tidak gemetar. "Halo, Paman. Bagaimana kabar Paman dan Bibi?"
"Paman baik-baik saja. Bibimu sedang proses pemulihan, kondisinya sudah jauh lebih baik. Bagaimana kabarmu, Bel?"
Bella mengucap syukur dalam hati mendengar kabar tentang bibinya. "Apa tawaran Paman masih berlaku sampai sekarang? Tentang aku yang pindah ke Palembang?"
Hening beberapa saat. Bella menggigit kukunya dengan cemas.
"Apa ayahmu masih berlaku kasar, Bel?" Suara paman terdengar khawatir, dan itu membuat hati Bella sedikit senang. Setidaknya, masih ada orang yang memerhatikannya.
"Aku hanya ingin suasana baru, Paman."
Paman terkekeh pelan. "Tempat kami selalu terbuka lebar bagimu, Nak. Rumah kami sangat sepi. Kamu boleh ke sini kapan saja, Bibi juga pasti senang."
Jawaban itu membuat Bella tersenyum lega. "Aku akan bersiap-siap ke sana, Paman."
"Bagaimana dengan Rayan? Jika dia mau, ajak dia saja sekalian. Rumah kami tidak menjadi sempit jika menampung kurcaci-kurcaci seperti kalian."
Bella tersenyum tipis sebelum pikirannya berkelana. Dia tidak ingin menyusahkan Rayan lagi. Kakaknya harus bahagia, dan tidak harus selalu melindunginya. Rayan memiliki kehidupan sendiri.
"Aku saja yang ke sana sendirian, Paman. Kakak pasti sudah nyaman tinggal dan sekolah di sini."
"Nyaman dengan Jakarta yang macet? Wah, Paman tidak pernah bersahabat dengan macetnya Jakarta." Ada jeda beberapa saat. "Tunggu sebentar, Bel. Ini waktunya Bibi minum obat. Paman harus memastikan Bibimu tidak nakal."
"Iya, Paman." Bella tertawa pelan. Sepertinya, tinggal di sana bukan pilihan yang buruk. Bella bisa terlepas dari papanya. Selain itu, yang paling terpenting, Bella tidak lagi menambah luka baru di hati Rayan.
"Baik, baik. Bibimu sudah selesai dengan urusan obatnya. Kamu kabarkan kapan ingin ke sini, Paman akan urus masalah tiket dan sebagainya."
"Oke. Terima kasih banyak, Paman."
"Tidak perlu sungkan seperti itu. Paman tunggu kabar darimu, ya?"
"Iya, Paman."
Setelah itu, panggilan terputus. Mata Bella menatap kosong langit-langit kamarnya. Apakah keputusannya kali ini tepat? Untuk sekali ini saja, Bella ingin melarikan diri dari kehidupannya yang kelam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Man [End]
Novela JuvenilRayan merasa hidupnya hancur total. Ibunya telah meninggal saat dia masih kecil, ayahnya tidak pernah memerhatikannya, dan dia harus menjadi pelindung bagi adiknya. Rayan ragu jika suatu hari dia akan menemukan kebahagiaan. Sampai dia bertemu dengan...