▶️ 19

62 4 0
                                    

Happy reading guys! And have a nice day! ♥️

Bella hanya dapat menatap bingung dua orang yang kini tampak mengibarkan bendera perang. Yara dan Kafin duduk di kursi panjang, dengan Yara di ujung kanan dan Kafin di ujung kiri. Mereka tampak menikmati makanan dengan wajah ganas. Bella tidak tahu apa yang terjadi.

"Apa lo liat-liat?" Yara menatap Kafin dengan kesal sembari mengangkat garpunya tinggi-tinggi. Sementara Kafin mendengus keras. "Nggak usah kayak gitu, ya, Fin."

"Gue nggak ngomong sama lo," jawab Kafin ketus. Laki-laki itu kembali menikmati makanannya. Sebenarnya, tidak bisa dibilang menikmati juga, karena wajah Kafin terlihat kesal setengah mati.

Bella jadi merasa berada di medan perang. Dia tidak bisa berkutik sedikit pun. Melihat wajah ganas Yara membuatnya ngeri sendiri.

"KAFIN!"

Teriakan Yara berhasil membuat Bella menumpahkan air minumnya. Tangannya tanpa sengaja menyenggol gelas karena terlalu terkejut. Sekarang, seluruh pasang mata melihat ke arah meja mereka.

"Lo kenapa, sih? Ngajak ribut mulu dari pagi!" Yara menatap Kafin dengan bengis. Selera makannya sudah hilang sepenuhnya. Dia paling benci jika Kafin sedang bersikap kekanak-kanakkan seperti ini. Ayolah, mereka bisa berbicara pelan-pelan, tanpa perlu adu urat seperti ini.

"Gue duluan." Kafin menutup bekal makanannya yang masih tersisa separuh. Terburu-buru meninggalkan Yara yang semakin emosi dan Bella yang hanya bisa mati kutu. Selang beberapa detik, Yara mencoba mengejar Kafin.

"Fin! Fin!"

Yara berusaha menguraikan kerumunan orang-orang yang berjalanan menuju kantin. Jelas, saat jam istirahat banyak sekali orang yang berbondong-bondong ke kantin. Hingga terkadang menjadikan ruangan tertutup itu pengap oleh bau keringat, terlebih jika anak-anak murid habis pelajaran olahraga.

"Jelasin ke gue, kenapa sikap lo jadi kayak gini," ujar Yara mutlak ketika tangannya berhasil meraih pergelangan tangan Kafin. "Gue nggak suka kalau tingkah laku lo kayak gini."

Kafin langsung menangkis tangan Yara. Laki-laki itu menyesal ketika melihat wajah Yara yang terkejut. Kafin mendesis kesal, semarah apapun dia, seharusnya tidak boleh melukai Yara.

"Maaf, gue lagi nggak tenang." Kafin meraih kedua pundak Yara, meskipun sedikit kesusahan karena sembari memegang bekalnya. "Kita ngomong nanti, ya?"

Yara menggeleng tegas, mengabaikan tatapan penasaran dari orang-orang. Sadar menjadi pusat perhatian, Yara menggiring Kafin untuk menuju perpustakaan. Tempat yang sunyi dan jauh dari keramaian.

"Apa lo lagi ada masalah?" Yara memelankan suaranya, matanya memerhatikan wajah Kafin dengan lekat.

Jika Yara tidak bertanya sekarang pada Kafin, pasti dia tidak akan bisa belajar dengan tenang. Baginya, Kafin sangat penting. Selama ini, Kafin selalu terbuka dengannya. Bahkan laki-laki itu selalu curhat setiap kali dimarahi oleh bibi, diputusi oleh pacar, dan ditolak sebelum mendekati gebetannya.

"Gue minta maaf, kalau misal ada salah ke lo." Yara menundukkan kepalanya dalam. Dia tidak tahan jika Kafin mendiamkannya.

Selalu kayak gini, batin Kafin. Kafin mana tega jika melihat wajah Yara yang merasa bersalah. Pelan, tangannya mengusap kepala Yara. "Gue cuma nggak suka liat lo yang deket sama Rayan. Kata lo, lo mau berusaha lupain dia. Tapi, sikap lo tadi pagi malah narik dia untuk makin deket."

"Apa seburuk itu Rayan di mata lo?" tanya Yara dengan pelan. "Gue pikir, mungkin aja masih ada ruang di hati Rayan buat gue. Gue akan coba lagi. Tapi kalau emang bener-bener nggak ada ruang, gue akan mundur secara perlahan."

Dangerous Man [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang