▶️ 09

74 15 2
                                    

Vote dan komen yang banyak ya! ♥️

---

"Sebenarnya, dia siapa?" tanya Kafin dengan raut wajah serius. Kini mereka duduk di ruang tamu dengan wajah serius, terutama Kafin. Sementara itu, Tira, mama Kafin, hanya menyimak pembicaraan Kafin dan Yara. Mama Kafin langsung pulang ketika anaknya mengabari jika Yara membawa laki-laki asing yang babak belur. Terpaksa dia pulang cepat saat berkumpul dengan teman-temannya.

"Gue juga nggak tahu. Tahu-tahu gue nemuin dia di gang," ujar Yara dengan wajah gelisah. Rasa takut masih mengalir dalam tubuhnya. Bayangan darah yang tergenang dimana-mana membuat Yara tidak tenang. Bibirnya terlihat pucat. "Tadi gue tanya namanya, terus dia bilang Tomas."

"Namanya Tomas?" tanya Kafin mengulang. Yara mengangguk sebagai balasan. "Dia dipukul sama siapa?"

"Sama preman, badannya besar-besar, gue panik banget, Fin." Yara menutup kedua wajahnya dengan telapak tangan. "Gue nggak tahu harus gimana, cuma kepikiran nelpon lo doang."

"Ya udah, sekarang kalian tidur aja. Udah jam dua belas. Besok kalian sekolah," ujar Tira memutuskan.

"Aku tidur dulu, Bi. Selamat malam semua." Yara bergegas meninggalkan ruang tamu dengan wajah yang masih gelisah. Tubuhnya terlihat tenggelam dengan piyama biru yang dipakainya.

"Temenin Yara dulu, Fin. Dia masih syok. Yang penting Tomas udah diobatin dan tidur di kamar tamu. Sana, gih." Tira mengibaskan tangannya, menyuruh Kafin pergi.

Kafin langsung menyusul ke kamar Yara. Dilihatnya perempuan itu termenung di ujung kasur. Kafin duduk di samping Yara. "Lo takut?"

Yara mengangguk pelan, lalu melingkarkan lengannya di bahu Kafin. "Gue takut, Fin. Darahnya banyak banget. Badan premannya besar-besar. Gue liat Tomas ditonjok terus."

Kafin membuang napas dengan kasar. Jemarinya menyentuh rambut panjang Yara. "Sekarang semua udah baik-baik aja, kan? Lo hebat, udah bisa nyelamatin Tomas. Coba kalau nggak ada lo, mungkin ada hal buruk yang terjadi." Satu tangan Kafin yang lain menepuk-nepuk bahu Yara dengan pelan.

Ucapan Kafin membuat Yara tersenyum tipis. "Kalau gitu, gue superhero, dong? Gue batman, superman, apa spiderman?"

Kafin tergelak kencang. Mengapa pembicaraan mereka seperti anak TK? "Bukan tiga-tiganya. Lo adalah diri lo sendiri, apa adanya."

Selama beberapa detik mereka menikmati suara jarum jam yang berdetik. Sampai akhirnya, suara Kafin memecah keheningan. "Udah lebih tenang?"

Yara mengangguk sembari melepaskan lengannya dari bahu Kafin. "Udah, lo emang terbaik." Sebuah senyum riang terlukis di bibir Yara. "Makasih, Kafin, penguntit gue."

Hati Kafin langsung lega melihat senyuman itu. Tangannya mengacak rambut Yara dengan asal. "Tidur, ya? Selamat tidur, Ndut."

Teriakan Yara yang memprotes panggilan Kafin menjadi pengiring saat Kafin menutup pintu kamar Yara yang berwarna biru tua.

**

Axel dan Handra saling melirik dari awal pelajaran sampai pelajaran terakhir. Rayan terlihat kacau, tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir laki-laki itu. Ada yang tidak beres dari sahabat mereka.

"Cabut ke mana?" tanya Axel saat mereka di parkiran sekolah, pelajaran sudah berakhir. Matanya menyiratkan kebingungan saat Rayan masih diam saja. "Ke markas kita?"

"Ayok aja. Pengen ngisep rokok gue," balas Handra sembari meraih helm bututnya. "Di sini nggak aman banget. Pusing gue kalau di suruh masuk ke ruang kepala sekolah lagi."

"Gue lagi nggak pengen ke sana." Akhirnya kalimat pertama Rayan untuk hari ini terucap juga.

"Kenapa?" tanya Handra dengan alis yang naik. Ini termasuk hal yang langka, karena hampir setiap hari mereka ke markas, dan Rayan terlihat menikmati semua itu.

"Ada masalah? Inget, Ray, kita sahabat. Sahabat itu tempat berbagi." Axel menaruh helmnya ke tempat semula.

Lahan parkir mulai dipenuhi oleh murid-murid lain. Mata Rayan menjelajah dengan penuh ketelitian. Saat melihat Yara berjalan berdampingan dengan Kafin, berbagai perasaan memenuhi hatinya. Beberapa detik memerhatikan mereka, Rayan membuang muka. Sampai Yara yang menyadari keberadaan Rayan. Kaki Yara melangkah mendekati Rayan walaupun sudah ditahan oleh Kafin.

"Sore, Rayan." Senyum lebar dari Yara menjadi sorot utama perhatian Rayan. "Udah mau pulang?" Beberapa waktu Rayan tidak menjawab, Yara kembali melanjutkan ucapannya. "Kalau gitu, gue duluan, ya. Hati-hati di jalan."

Kali ini, mata Yara yang menjadi perhatian Rayan. Kedua mata yang biasa ceria itu kali ini tampak sedikit redup. Ada lingkaran hitam yang samar di bawah kedua matanya. Tangan Rayan menahan langkah Yara yang ingin menjauh.

Tindakan Rayan membuat seluruhnya terhipnotis. Axel dan Handra kembali saling melirik, entah untuk ke berapa kali dalam hari ini.

"Lo kurang tidur?" tanya Rayan dengan mata yang memerhatikan Yara lamat-lamat.

Tatapan dan pertanyaan itu bagai sulap yang berhasil meluluhlantakkan irama jantung Yara. Tanpa sadar, Yara menahan napas selama beberapa detik, "I-iya. Tadi malem gue tidurnya kemaleman."

Rayan melepaskan cekalan tangannya, lalu menatap Kafin di belakang Yara. Tatapan Kafin jelas tidak bersahabat padanya. "Oke, gue duluan." Rayan membalikkan tubuhnya ke arah teman-temannya. "Gue pulang ke rumah aja. Terserah kalian mau ke mana."

**

Yara memerhatikan dirinya sendiri di cermin dengan alis yang berkerut. Emangnya ada masalah apa matanya? Yara semakin mendekatkan diri ke cermin, hingga tidak ada jeda lagi. Perasaan matanya baik-baik saja, tidak terlihat seperti orang yang kekurangan tidur berhari-hari. Tapi, kok, Rayan bisa tahu jika dia kurang tidur, ya? Yara menyentuh dadanya, jantungnya di dalam sana menggila. Berarti selama ini Rayan perhatian dengan dirinya, dong?

"Lo lagi ngapain?"

Suara itu langsung membuat tubuh Yara terlonjak kaget. Matanya menatap sosok laki-laki dengan wajah lebam-lebam dari cermin. Laki-laki itu sedang memandangnya dengan bingung. Yara membalikkan tubuhnya dengan wajah kesal.

"Kalau manggil itu jangan ngagetin, dong!" Yara memajukan bibirnya. Enak saja, dirinya sedang asyik berkaca malah diganggu.

Tomas menggaruk kepalanya. "Perasaan gue nggak ngagetin sama sekali."

"Terserah lo. Gimana keadaan lo hari ini? Udah lebih baik?" Mata Yara memerhatikan Tomas dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Tomas yang diperhatikan seperti itu langsung menggelengkan kepalanya cepat. "Gue baik-baik aja. Udah biasa kayak gini."

Mendengar itu, Yara memundurkan langkahnya. "Wah, ternyata lo bukan anak baek-baek, ya. Coba gue nggak nyelamatin lo."

"Udah mati kali gue?" Tomas menyeringai kecil saat wajah Yara ketakutan. "Bercanda gue. Btw, makasih banyak lo udah nolongin gue. Rasanya gue lagi ada di ambang mati, terus ada dateng setan gak ada muka."

Yara mengerjapkan matanya beberapa kali. Saat tersadar, Yara langsung memalingkan wajahnya. "Jangan diinget lagi soal itu."

Tomas tertawa geli. Suara tawanya terdengar renyah. Matanya yang sipit tidak terlihat. "Nggak apa-apa. Nggak usah malu. Cara itu udah nyelamatin gue. Lo sekolah di mana?" tanya Tomas sembari memerhatikan seragam Yara.

"SMA Masa Depan Cerah." Saat menyadari ada noda darah di baju Tomas, Yara otomatis meringis. "Kayaknya lo ganti baju dulu, deh. Kayaknya badan lo sama Kafin nggak beda jauh. Bentar gue panggil orangnya." Yara mendongakkan kepalanya ke lantai atas. "Fin, ambilin baju sama celana buat Tomas! Jangan maen game terus!"

"Iya, iya, bentar," balas Kafin. Setelah itu terdengar bunyi yang gaduh. Tubuh Kafin akhirnya muncul dari kamar dan bergegas turun ke lantai pertama.

"Nih." Kafin menyerahkan baju dan celananya. "Lo udah mendingan?"

"Udah. Makasih banyak udah ngerawat gue." Tomas tersenyum tipis sembari menerima baju dan celana dari Kafin. "Gue bakal balik abis ini."

"Sama-sama, nggak usah sungkan."

Tomas tersenyum tipis sebelum menuju kamar mandi untuk mengganti bajunya.

Dangerous Man [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang