▶️ 16

72 5 0
                                    

Vote dan komen ya!

Happy reading ☀️

"Lo itu kemana sih, Ra?"

Omelan Kafin membuat Yara mengerang dengan kesal. Laki-laki itu tidak berhenti mengomel sejak dia pulang hingga matahari telah tenggelam. Padahal dia telah menjelaskan, bahwa dia pergi ke makam orang tuanya, kehujanan, lalu berakhir dengan pertemuannya dengan Rayan.

"Gue khawatir banget tahu. Pagi-pagi nggak nemuin lo di kamar, tanya Mama nggak tahu lo ke mana. Nggak ada pamit, nggak ada ijin."

Akhirnya Yara turun dari kasur kesayangannya, lalu duduk di depan Kafin, ikut berselonjor di lantai. "Maafin gue. Tiba-tiba kebangun dan inget Mama, Papa udah buat gue lupa segalanya."

Kafin mengembuskan napasnya panjang. "Jangan diulangin lagi, ya?"

Yara dengan semangat menganggukkan kepalanya. "Pasti. Makasih udah ngertiin gue."

"Gimana sakit lo? Udah mendingan?" Kafin menyentuh kening Yara. Lalu merasa lega karena demam Yara sudah turun. "Tadi Rayan sekalian kasih lo obat. Lo yang minta?"

Yara mengangkat kedua alisnya, bingung. "Gue nggak ngomong apa-apa."

Kafin terlihat berpikir sesuatu. "Lo makin deket sama dia?"

"Biasa aja." Yara mencoba untuk terlihat biasa-biasa saja. Padahal jantungnya telah berdetak kencang memikirkan perilaku Rayan yang belakangan ini berubah padanya.

"Jangan terlalu deket sama dia."

Yara menghela napas panjang. "Sebenernya kenapa sih, Fin?"

"Rayan cuma cowok berbahaya yang bisa ngerusak masa depan lo."

Yara menggeleng tegas. "Kali ini gue nggak setuju sama lo, Fin. Rayan itu baik."

"Jangan sampe nyesel deket-deket dia."

Pandangan Kafin padanya entah mengapa membuat Yara merinding. Namun, Yara tetap pada pendiriannya. "Gimana kalau pendapat lo tentang Rayan selama ini salah?"

Kafin menggeleng tegas. "Gue yakin seratus persen pendapat gue bener. Jangan deket-deket sama dia lagi, Ra. Apa susahnya?"

"Gue nggak tahu, Fin." Perempuan itu menunduk dalam-dalam. "Hidup gue kayak berpusat sama Rayan. Tapi itu nggak bikin gue terganggu. Gue malah seneng kalau Rayan jadi pusat gue." Yara mengangkat kepalanya, menatap sepasang mata Kafin dengan perasaan gamang. "Apa gue salah? Hati gue nggak mau nurut sama logika."

Kafin menghela napas panjang. Tangannya mengacak rambut Yara pelan. "Nggak usah terlalu dipikirin. Lo istirahat lagi aja. Gue cuma nggak mau lo kenapa-napa."

**

Rayan tidak tahu sudah berapa lama dia duduk sembari memainkan rokoknya yang tidak menyala. Matanya hanya menerawang jauh ke langit yang berwarna biru. Saat ini sedang istirahat. Handra dan Axel kompak meninggalkannya ke kantin.

Akhirnya Rayan memutuskan untuk memasukkan rokoknya kembali ke kotak, lalu membuka buku cetaknya yang tebal. Dahinya mengerut penuh. Sebenarnya, kata-kata apa, sih, yang tertulis di kertas ini?

Laki-laki itu mengacak rambutnya asal. Dia frustrasi. Nilai rapornya yang merah terbayang di otaknya. Rayan sadar, kalau dia masih seperti ini terus bisa jadi dia tidak naik kelas. Kalau dia tidak naik kelas, bisa malu dong sama Yara?

Matanya yang tajam menelusuri seisi kelasnya, lalu terpaku pada sosok laki-laki yang sedang asyik pada dunianya sendiri.

"Hey, lo sini." Rayan menggerakkan tangannya, memanggil laki-laki yang sedang membaca buku itu. Dia lupa siapa namanya.

Laki-laki yang dipanggil itu tidak menyadari panggilan Rayan. Hingga Rayan kembali berucap dengan suara yang cukup keras. "Hey, lo yang di pojok. Pake kacamata. Sini bentar."

Akhirnya laki-laki itu tersadar juga. Dengan gerakan kikuk, laki-laki entah siapa namanya itu bergerak mendekati Rayan. Rayan melempar dengan pelan bukunya.

"Jelasin ke gue materi buat ulangan nanti." Rayan melirik nama yang terjahit di seragam laki-laki itu. Arsyid Joko. "Nama lo Joko?"

"Eh?" Laki-laki itu menelan air ludahnya kasar. Tentu saja dia gugup berhadapan dengan Rayan yang terkenal nakal dan sangar. "Biasa orang manggil gue Syid."

"Oh, shit?" Arsyid hanya terdiam mendengar ucapan Rayan. "Ya udah, jelasin ke gue ini apaan."

"Maaf, Rayan. Tapi saya juga nggak ngerti tentang itu." Arsyid menundukkan kepalanya dalam.

Rayan menaikkan kedua alisnya. Matanya melirik ke tempat duduk Arsyid semula, banyak sekali buku-buku tebal, dan laki-laki itu memakai kacamata tebal.

"Terus lo baca apaan?"

"Oh, itu buku Harry Potter. Saya mau cepet-cepet namatin."

Rayan mengumpat dalam hati. Tangannya membentuk gerakan mengusir Arsyid. Lalu tatapan mata Rayan beralih ke pintu kelas. Seorang laki-laki dengan mata sipit tampak menatapnya dengan lama. Rayan menatap tatapan itu dengan tajam.

"Keluar bentar," ucap Tomas.

Dengan gerakan malas, Rayan berjalan keluar kelas. "Gue nggak ada urusan sama lo."

"Tapi gue yang punya. Gara-gara lo, Yara jauhin gue." Mata Tomas menyiratkan kemarahan yang mendalam, sementara Rayan hanya menatap dengan datar.

"Bagus kalau gitu. Dia nggak perlu deket-deket sama pecundang kayak lo."

Tomas menyeringai tajam. "Yang pecundang itu lo." Tangannya menepuk bahu Rayan dengan kasar. "Inget baik-baik, Ray, balas dendam gue belom usai."

"Seharusnya gue yang bilang gitu. Jangan cari gara-gara sama gue." Rayan menangkis tangan Tomas dengan kasar. "Apalagi ke Yara."

Tomas terkekeh pelan. "Cewek itu begitu berharga, ya, bagi lo?"

"Nggak usah ikut campur urusan gue."

Tomas mendekatkan bibirnya ke telinga Rayan. "Bales dendam gue ke lo, gue nggak akan biarin Yara percaya lagi sama lo."

"Coba aja kalau bisa." Rayan tersenyum culas. "Sebelum itu, lo udah mati di tangan gue. Di dunia ini nggak ada yang boleh nyentuh dan nyakitin Yara, apalagi lo."

Mendengar kata-kata Rayan yang penuh dengan peringatan, Tomas tersenyum lebar. "Siapa yang bilang gue mau nyakitin Yara? Bukannya lo yang lebih berpotensi nyakitin dia?"

Rahang Rayan mengetat. "Tahu apa lo tentang gue?"

"Gue emang nggak tahu banyak tentang lo. Tapi akan gue pastikan, Yara nggak akan pernah lagi mau ada di sekitar lo. Karena lo adalah racun yang mematikan."

Tangan Rayan mengepal penuh amarah. Memangnya siapa Tomas sampai berani mengganggu hidupnya? Rayan menarik napas dalam-dalam. Dia teringat pada Yara yang menasehatinya untuk tidak berkelahi. Dia tidak akan melukai tangannya hanya karena seorang Tomas.

"Jangan mimpi terus." Rayan tersenyum miring. "Kalau gitu, gue akan pastikan hal itu nggak akan terjadi."

"Kita lihat aja nanti," bisik Tomas tegas, penuh dengan peringatan. "Orang yang udah rusak, nggak cocok untuk hidup bersanding dengan Yara."

Rayan tidak tahan untuk tidak meludah dengan sembarangan. "Kita udah sama-sama rusak. Kalau gitu, lo juga nggak cocok untuk Yara."

Rayan berlalu sembari menabrak bahu Tomas dengan kasar. Lihat saja nanti, dia tidak akan membiarkan Tomas menyentuh Yara bahkan hingga seujung kuku pun. Yara sudah masuk dalam jajaran orang penting dalam hidupnya, karena itu, dia akan mati-matian melindungi Yara.

Dangerous Man [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang