Jika sebuah ulat dapat bermetamorfosis menjadi kupu-kupu yang indah, apakah hal itu juga berlaku bagi kehidupan Rayan? Mungkin, suatu hari dia dapat mengepakkan sayap-sayapnya yang tidak terlihat. Dia dapat menemukan keindahan kehidupan dengan sayap-sayapnya. Mungkin, selama ini dia masih berada di fase menjadi ulat. Makanannya hanya daun dan daun.
"Rayan!" Teriakan itu menyeret Rayan ke alam sadarnya. Rokok yang sedang dia isap langsung Rayan injak hingga baranya mati.
"Ya?" Rayan memasukkan tangannya ke dalam saku tangan. Matanya memerhatikan Yara yang sedang berlari kecil ke arahnya.
Perempuan itu terlihat mengatur napas beberapa detik. "Gue punya sesuatu buat lo." Yara mengacak-acak isi tasnya sebentar, berusaha menemukan sesuatu itu.
Rayan hampir menyemburkan tawanya melihat benda yang dimaksud Yara. Ada beberapa snack yang dimasukkan ke dalam plastik transparan. Plastik itu diikat dengan pita berwarna merah muda. Rayan yakin sering melihat benda itu pesta ulang tahun anak kecil.
"Gue beliin lo banyak jenis kacang. Semoga lo suka, ya." Yara tersenyum tipis. Dalam hati, Yara berucap, ini bisa jadi hadiah terakhir gue buat lo.
"Makasih banyak, Ra." Rayan menerimanya dengan bibir berkedut. Plastik transparan ini terlihat menggemaskan dengan motif hati.
"Lusa gue ada lomba melukis. Dukung gue, ya!" Yara terburu-buru memundurkan kakinya, bersiap untuk pergi.
Rayan sedikit tersentak mendengarnya. Yara terlahir dengan bakat yang genius dalam hal melukis, sementara dia? Rayan tersenyum miris. Tidak ada yang bisa dibanggakan dari hidupnya yang hancur. Benar, dia pasti tidak dapat memberikan kebahagiaan pada Yara.
Kaki jenjang Rayan melangkah dengan cepat, berusaha menemukan Yara di antara murid-murid yang lain. Saat menemukannya, Rayan segera mencekal tangan Yara. Perempuan itu menampilkan ekspresi terkejut beberapa saat.
"Kenapa, Ray?"
"Gue nggak pernah suka sama lo, Ra. Gue harap, lo nggak akan pernah muncul lagi di hadapan gue." Rayan berucap dengan cepat, mengabaikan Yara yang terlihat terkejut luar biasa. Rayan kembali melanjutkan ucapannya. "Gue selama ini terganggu. Gue pikir, kalau gue deketin lo, gue bisa nemuin sesuatu dari lo. Tapi nyatanya nol besar. Gue muak ada di deket-deket lo. Lo ternyata cuma anak kecil yang jadi pengganggu."
Yara terkesiap mendengarnya. Apalagi saat Rayan menyerahkan bungkus plastik ke arah Yara. Namun, Yara tidak segera menerima bungkus itu. Akhirnya Rayan melemparnya ke bawah.
"Setelah ini, kita nggak ada hubungan apa-apa." Itu ucapan terakhir Rayan sebelum melangkah pergi. Meninggalkan Yara yang masih terpaku sembari memandang kemasan kacang yang terlihat berantakan.
Yara berjongkok. Tangannya meraih bungkus itu dengan wajah terluka. Bungkus plastik yang sudah dia buat sebagus mungkin kini tidak lebih dari sebuah sampah. Yara meremas plastik hingga bentuknya semakin tidak karuan. Menurutnya, Rayan tidak pantas untuk mengucapkan kata-kata itu padanya.
**
"Hari ini gue pulang sama Nisa, Fin. Lo duluan aja, ya."
"Serius? Tumben banget pulang sama Nisa. Bukannya rumah kalian nggak searah?"
Yara mengetukkan jemarinya ke pipi. "Gue mau jalan-jalan sama Nisa."
"Kemana?"
Ingin sekali Yara mengumpat. Kafin terlalu bawel. Masa dia harus laporan segala hal yang sedang dilakukannya? Dia tahu jika paman dan bibi menaruh kepercayaan pada Kafin untuk menjaganya, tapi sepertinya ini berlebihan.
"Mau cobain es krim yang baru buka itu. Lo tahu, kan? Di jalan Ikan Tenggiri." Yara segera berdiri ketika bus menepi. "Gue tutup dulu, ya. Nisa udah ngajak pergi, nih."
Ini bisa dibilang pertama kalinya Yara berbohong seperti ini pada Kafin. Cih, Yara akui dia bukan orang yang lebay, yang akan menangis berhari-hari karena putus cinta. Namun, mengapa sekarang rasanya sesak sekali?
Yara segera mengambil tempat di bus. Kendaraan beroda empat itu segera melaju. Yara melempar pandangannya ke luar jendela, memerhatikan jalanan dengan tatapan kosong. Seharusnya tidak akan sesakit ini jika Rayan tidak memberinya harapan palsu. Jujur saja, Yara memang sangat berharap saat Rayan memerhatikannya.
"Neng, ponselnya dari tadi bunyi," ujar seorang ibu yang duduk di sebelah Yara.
Yara langsung menoleh pada ponsel yang berada di genggamannya. Tampak Kafin meneleponnya. Yara berdecak panjang beberapa saat sebelum mengangkat telepon. "Iya?"
"Lo mau gue beliin Raja Baso Tahu Saboga? Gue lagi mampir ke toko buku, keperluan OSIS. Gue bisa beliin sebentar, nih."
Tanpa bisa dicegah, senyum tipis Yara terukir. "Mau! 2 porsi boleh?"
"Rakus banget. Entar untuk 1 porsinya gue ambil uang lo di laci, ya."
Mau tidak mau Yara mencibir mendengar itu. Namun, dia juga tertawa. "Iya, iya. Ya udah, gue mau pesen es krim dulu."
Yara memutuskan sambungan. Kepalanya kembali tertoleh ke jendela. Pikirannya kembali merayap ke sebuah nama. Wajah Rayan yang selalu terbayang di otaknya memenuhi pikiran Yara. Yara memasang earphone, lagu Melukis Senja melantun dengan indah.
Yara memejamkan matanya dengan erat. Dalam hati, Yara berjanji ini adalah terakhir kalinya dia memikirkan tentang Rayan. Dia akan mencari kebahagiannya sendiri, tanpa mengharapkan nama Rayan terselip.
**
Rayan tidak menyangka jika akibatnya akan seburuk ini. Memikirkan perkataan pedasnya pada Yara membuat lehernya tercekik. Bahkan Rayan tidak dapat memejamkan matanya semalam. Yang terbayang hanyalah wajah terluka Yara dan bungkus plastik yang dia rusak.
Laki-laki itu terus mengumpat dalam hati sepanjang perjalanannya menuju kelas. Banyak mata yang melirik ke arahnya. Mungkin penampilannya terlihat jauh lebih berantakan dari biasanya. Namun, Rayan tidak peduli.
"Woy!" Handra yang entah muncul dari mana segera merangkul bahunya. "Napa lo? Muka kusut kayak baju yang nggak digosok?"
Bibir Rayan terkunci rapat. Tatapannya hanya menatap lurus ke depan. Handra segera melepaskan rangkulannya. Ternyata Rayan sedang dalam mode 'senggol dikit bacok'. Handra menelan air ludahnya dengan susah payah.
Axel yang sedang sibuk merapikan bajunya karena kena marah guru segera tersenyum lebar melihat keduanya. "Gila! Gila! Kalau gue pake baju dimasukkin kayak gini, aura tampan gue makin terpancar? Kata Pak Dino gue bakal makin tampan kalau rambut gue juga dipotong dikit."
Handra tertawa kuat, menyita banyak perhatian murid-murid lain. "Sejak kapan lo percaya omongan Pak Dino? Hilang kewarasan lo?"
"Ray! Apa gue nggak makin ganteng? Ray! Ayan!" Axel segera menutup mulutnya mendapatkan lirikan tajam dari Rayan.
Rayan segera meninggalkan keduanya. Dia menjejalkan kedua tangannya ke saku seragam. Perasaannya sedang kacau total sekarang. Seharusnya dia tidak perlu masuk sekolah hari ini. Namun, jika Rayan bolos, dia tidak akan bisa melihat Yara.
Bodoh! Bodoh!
Padahal Rayan tahu jika dia sudah melukai Yara, tapi mengapa matanya masih terus mencari sosok perempuan bertubuh tinggi itu?
Rayan tidak bisa berkedip ketika matanya menangkap Yara di ujung lorong. Perempuan itu tampak berjalan bersisian dengan Kafin. Senyum Yara terukir begitu lebarnya, dan bertambah lebar saat Kafin merangkul bahunya.
Rayan segera mempercepat langkahnya ke kelas. Sekarang dia tahu, dia tidak akan bisa menjadi alasan untuk Yara tersenyum. Dia tidak akan pernah bisa membuat perempuan manis itu bahagia.
---
Happy 1K! Terima kasih yang masih setia membaca cerita ini. Tetap setia baca cerita ini, ya! 😘
Salam hangat dari aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Man [End]
Teen FictionRayan merasa hidupnya hancur total. Ibunya telah meninggal saat dia masih kecil, ayahnya tidak pernah memerhatikannya, dan dia harus menjadi pelindung bagi adiknya. Rayan ragu jika suatu hari dia akan menemukan kebahagiaan. Sampai dia bertemu dengan...