▶️ 05

80 19 7
                                    

Happy reading guys! ♥️

Yara melanjutkan lukisannya dengan serius. Di ruangan ini Yara sering menghabiskan istirahat terakhir. Ruang lukis yang sangat nyaman, terdapat jendela yang menampakkan pemandangan taman sekolah yang begitu asri. Jarang orang yang bersedia menghabiskan waktu di sini, karena memang ruangannya dikunci jika tidak dibutuhkan. Yara sebagai ketua ekskul lukis dipercayakan memegang kunci ruangan.

Perempuan itu mengulas senyum antusias ketika menatap lukisannya. Semalam dia melukis ini hingga akhirnya ketiduran. Lukisan seorang perempuan dan laki-laki yang sedang tertawa bersama di bawah hujan. Yara suka melukis apa saja, terutama hujan. Entah mengapa, hatinya begitu tenang ketika mendengar suara tetesan air yang menyentuh tanah.

Suara pintu ruangan yang dibuka tidak membuat Yara menoleh, dia begitu terlarut dalam lukisannya. Selain itu, dia juga mengetahui siapa yang datang tanpa harus melihat. Kafin sering sekali menemaninya melukis tanpa mengucapkan satu kata pun. Laki-laki itu tahu jika Yara tidak suka diganggu. Bermenit-menit Kafin hanya memerhatikan Yara sampai laki-laki itu membuka percakapan.

"Gue nggak pernah tahu alasan kenapa lo suka hujan. Kenapa, Ra? Biasanya orang-orang benci hujan. Hujan itu berisik, membuat aktivitas kita terganggu. Dan juga, lo kalau kena hujan langsung sakit."

Yara tersenyum menanggapi pertanyaan sepupunya. Perempuan itu menatap lukisannya yang hampir jadi, lalu menoleh pada Kafin. "Dengar suara hujan buat gue tenang." Tatapan Yara beralih pada jendela yang ada di hadapannya. Yara sengaja melukis tepat di hadapan jendela. Hujan masih mengguyur, walaupun tidak sederas pagi tadi.

"Saat bumi sedih, dia bisa melampiaskannya melalui hujan. Dia berbagi kesedihannya pada makhluk yang menghuninya. Hujan nggak selalu mengganggu aktivitas manusia, tumbuhan yang kering jika kena hujan akan tumbuh subur." Bibir Yara mengulas senyuman lebar. "Gue kadang mikir, kenapa gue nggak bisa jadi bumi yang bisa nunjukkin kesedihannya. Dan setelah bersedih, bumi akan kembali cerah."

"Karena lo nggak mau nunjukkin kesedihan lo sendiri, lo yang milih." Kafin menjawab langsung. "Padahal melalui tangisan lo bisa mengurangi rasa frustrasi. Tapi lo lebih milih mendam itu sendiri. Waktu lo kecil, saat tetangga merebut mainan lo, lo nggak pernah nangis."

Yara tertawa pelan. "Buat apa nangis? Tinggal minta sama Bibi buat dibeliin lagi."

Jari telunjuk Kafin mendorong kepala Yara membuat tawa perempuan itu semakin keras. "Lo kira Mama gue bank?"

"Ya, nggak gitu juga. Entah kenapa, bagi gue tangisan bukan untuk hal sepele. Gue nggak perlu nangis untuk hal kecil yang masih bisa gue tangani."

"Tapi nangis cara untuk menghilangkan rasa sedih."

Yara mengangguk. "Gue tahu. Tapi karena prinsip lo itu, dulu kecil hampir setiap hari lo nangis."

"Namanya juga anak kecil," balas Kafin enteng.

Yara meninggalkan lukisannya dan mengubah posisi duduknya menghadap Kafin. Berbincang dengan sepupunya ini cukup menyenangkan. Kafin adalah saudara sekaligus sahabatnya, yang selalu menghiburnya saat Yara baru saja ditinggalkan orang tuanya.

Perempuan berkulit putih itu terkekeh hingga matanya nyaris hilang saat kenangan waktu kecil Kafin diingatnya. "Gue ingat dulu waktu kecil lo nangis karena digodain tante-tante. Ya ampun, Kaf, lo lucu banget dulu. Tante itu bilang kalau lo ganteng terus mau dibawa ke rumahnya. Terus lo nangis sambil lari ke rumah."

"Namanya juga anak kecil," ucap Kafin untuk kedua kalinya. Kafin senang saat melihat Yara tertawa tanpa beban. Dia tidak suka saat Yara memendam semua kesedihannya seorang diri. Seolah perempuan itu tidak ada tempat untuk berbagi.

Dangerous Man [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang