REVINA POV.
Dia ya?Aku terkejut dan segera mengusap kedua bola mataku Dengan kesal, sedikit pun aku tak mengerti apa yang terjadi,namun aku segera mengalihkan perhatian ku pada hal lain.
"Lo mau ini nggak?" Pertanyaan yang sering di ajukan itu membuat ku mendongak lalu tersenyum kecil."Makasih ya." Aku mengambil minuman yang di berikan nya lantas meneguknya perlahan.
Tak ada lagi pembicaraan atau pun basa basi, aku hanya diam berniat untuk pergi namun beberapa detik kemudian ia malah menghentikan langkah ku."Lo kemana? Kelas?" Pertanyaannya membuat ku berhenti dan mengangguk sambil tersenyum kecil.
"Tapi kita udah di kelas?" Pertanyaan yang lucu memang, aku jadi tersadar dan mengusap kedua tanganku cepat.
"Aku lupa." Aku memang lupa, tak berniat untuk berbasa-basi aku lantas kembali duduk di kursi dan memainkan ponsel, namun beberapa menit kemudian ada yang menepuk pundak ku."Lo mau duduk di sini?"aku menoleh lantas mengangguk tanpa senyum, namun ucapan nya kembali membuat ku malu setengah mati.
"Biasa nya Lo duduk di situ, kenapa malah duduk di sini?" Aku mendongak lantas menyorot nya tatapan tak suka, aku segera berdiri dan berjalan menjauh.
"Maksud gue nggak gitu. Gue cuma nanya?" Aidan itu dia malah tampak salah tingkah entah apa yang membuatnya begitu tapi aku sudah memutuskan bahwa aku akan menyerah untuk sekarang.
"Aku tau." Aku menjawab tanpa menoleh, memilih memainkan ponsel namun fokus ku tetap pada Aidan, bagaimana lagi dia masih berdiri di depan ku dan Tampak menunggu.
"Apa." Aku bertanya cuek namun ia tetap diam sambil memandangiku dengan wajah datar nya.
"Lo lagi PMS ya? Makanya muka kayak badmood gitu." Aku hanya diam dan setelahnya aku dengan cepat berlalu.
"Kalo tau nggak usah nanya, bukan nya itu sedikit lebih intim HM?" Aku hanya ingin dia pergi dari hadapanku namun itu tak seperti yang aku inginkan ia malah menatap ku dengan wajah sok polos."Lo benci sama gue? Kok gitu? Gue salah apaan?" Bertanya dengan menggebu-gebu dan aku sedikit terkejut dengan reaksinya itu. Dia aneh.
"Ehem, aku nggak bisa benci sama orang kok tapi mungkin kecewa aja." Akhirnya aku mengatakan dengan jujur, walau membuat nya tak mengerti dengan ucapan ambigu ku."Lo kecewa sama siapa? Sama gue ya? Tapi gue kan nggak tau kenapa." Ia lagi lagi bertanya dengan wajah polos, walau wajah tampannya terlihat seperti orang bodoh tapi sepertinya ia hanya berpura pura tak mengerti agar terus bisa berbicara dengan ku.
"Gue serius, bukannya gue sok bodoh atau apalah tapi gue nggak ngerti Lo kenapa bisa kecewa sama gue?"
"Nggak usah di bahas! Sana, aku mau duduk." Aku mendorong nya pelan, aku melihat ke sekitar dan tersenyum lesu. Ayolah aku ingin melihat mereka tapi kenapa jadi nggak ada. Di mana mereka?
"Lo lagi cari anak gue ya? Mereka lagi bareng mamanya." Aidan menjelaskan sambil duduk di kursi yang ada di depanku. Sedikit menunduk aku rasanya ingin menangis saat ini, jujur saja rasanya terlalu kosong untuk tiga tahun ini. Aku merindukan mereka, aku memang tak membesarkan mereka tapi setiap hari aku selalu melihat dan berusaha untuk memberikan perlindungan walau hanya sebentar. Aku terlalu takut untuk menemui mereka dan mengaku bahwa selama ini akulah mama dari mereka. Aku takut, sangat takut sampai rasanya berada di ambang ujung jurang yang sebentar lagi akan hancur.
"Selamat pagi." Sapaan ramah terdengar dari depan membuat ku mendongak dan menatap ke depan. Ah ternyata pak dosen sudah datang.
Semua orang yang ada di kelas kembali menyapa pak dosen itu berbanding terbalik denganku yang hanya diam sambil memejamkan mata berniat untuk mengahalau air mata yang rasanya akan menetes. Aku tak bisa menahannya. Tiba tiba semuanya menjadi buram, pelupuk mataku kini penuh dengan air mata, menahan isakan dalam hati aku terus mengepalkan tangan sangat kesal. Marah dan sakit. Aku benci keadaan ku saat ini, begitu lemah dan mudah untuk menangis tapi bagaimana lagi aku takkan mungkin bisa masuk dan kembali dengan adanya Nere di sekitar Aidan. Mungkin benar, aku tak cocok untuknya aku hanya memberikan luka yang dalam untuknya, aku seharusnya tak ada di sini untuk melihat nya.
"Lo nangis? Kenapa?" Aku terkejut dengan pertanyaan pelan itu bahkan nyaris berbisik kepadaku. Aku mendongak dan langsung berdiri dari kursi itu.
"Pak saya mau ke toilet!" Aku bergegas pergi dari kelas, setelah nya berlari tak tentu arah, pikiran ku kacau, semua yang selama ini aku lakukan sia sia, aku pantang menyerah tapi ternyata takdirku yang sudah menyerah terlebih dahulu, aku terlalu berharap selama ini.
Aku duduk di bangku taman yang sepi, di bawah pohon beringin yang rindang aku menangis sesenggukan, air mata ku terus saja mengalir, tak mau berhenti namun sebisa mungkin aku berusaha tapi tetap saja aku tak bisa.
Sungguh pedih rasanya, kenapa hanya dengan ucapan tulus dari Aidan yang menyebut nama Nere membuat ku bahkan tak bisa mengontrol emosi.
"Katanya di sini ada mbak Kunti loh!" Ucapan menggoda itu membuat ku mendongak dan menatap dengan sorot bertanya.
"Gue nggak yakin sih, tapi gue cuma ikutin Lo ke sini." Aku membuang muka, kesal karena menangis di depan nya dan juga sedikit malu. Ini memalukan.
"Nggak papa, Lo bisa nangis dengan tenang sekarang." Aku menggigit bibir ku pelan, aku mendongak dan menatap nya dengan lugu. Aku benar benar rindu Aidan. Senyumannya dan juga pelukannya.
"Aku mau___" belum selesai aku berbicara Aidan dengan memelukku dengan erat. Mataku memanas,air mata kini kembali mengalir deras bahkan lebih deras dari tadi. Aku benar benar nggak bisa berpikir dengan jernih saat ini. Sedikit saja. Sedikit lagi. Kembali padaku Aidan.
"Jangan lupain aku." Aku bergumam pelan, namun tak ada balasan dari Aidan, ia hanya terus mengusap kepalaku dengan lembut. Suara detak jantung terdengar sangat kencang entah keadaan yang panas atau apapun aku tak mengerti, tapi aku menyukai nya, suara degupannya dan pelukan hangat nya, aku tak ingin berhenti mendengar nya. Aku ingin egois saat ini, benar hanya saat ini aku ingin egois dan membuat hatiku sendiri bahagia.
"Jangan pergi." Aku lagi lagi bergumam lirih, aku memeluk nya lebih erat, tak peduli nanti bahwa aku di sebut sebagai pelakor tapi aku rela.
"Gue nggak pergi." Aidan membalas ucapan ku dengan lembut, aku mendongak lalu melepaskan pelukannya.
"Kamu terlalu sempurna ternyata?" Aku tertawa pelan namun sesaat kemudian aku merasakan usapan lembut di rambut ku.
"Gue nggak bisa." Aidan bergumam namun aku dapat dengan jelas mendengar nya. Lagi aku mendongak dan tersenyum kecil padanya.
"Sebentar aja, sebentar aja, aku mau kamu sebentar aja di sini sama aku." Aku menatap nya dengan lugu, dan Aidan tampak mengerutkan kening nya tanda bingung.
"Jangan tanya apapun, aku nggak bisa jelasin apapun sekarang." Aidan mengangguk tanpa berkata apapun, ia kembali memeluk ku dan bergumam pelan.
"Perjuangkan semua yang mau Lo perjuangkan, tapi gue mau ada dalam perjuangan Lo."
Kenapa kamu bicara hal kayak gini Aidan? Apakah kamu juga akan memperjuangkan aku?
.....
KAMU SEDANG MEMBACA
Married By Accident ( Selesai.)
ChickLit( FOLLOW DULU SEBELUM BACA. ) Makasih. 17+ _____ Karena sebuah kesalahan di malam itu, Vina seorang anak SMA jadi menanggung sebuah tanggung jawab besar. Awalnya berniat untuk pergi Aidan tak bisa, sebab ini mungkin juga kesalahannya. "Gue salah ni...