(46) Tak akan Kuat.

1.2K 57 3
                                    

Jadi inilah hukuman yang diberikan Tuhan untuk gue. Katanya itu nggak akan melampaui batas tapi buktinya gue terpuruk Sampai ke dalam bagian terbawah bahwa hampir hancur.

*Aidan*

****

Sudah lebih dari seminggu gue di sini. Duduk termenung di kursi tunggu tanpa bisa masuk ke dalam ruangan Vina. Salah kah kalo gue mau ketemu Vina. Menemani sebentar aja. Tapi nggak bisa. Bahkan Evan sejak awal selalu mengusir gue dengan kasar.

Hari ini gue terasa senang. Hidup gue yang awalnya sedikit terpukul kini mulai terbuka saat mendengar Vina sadar dan saat itu tidak ada Evan. Mungkin ini kesempatan gue. Iya. Kesempatan gue.

Gue melangkah masuk. Mendapati Vina tengah duduk bersandar di brangkar lantas gue berniat mendekat.

"Pergi!" Perkataan dingin itu. Vina berkata datar tanpa mau melihat wajah gue sedikit pun. Matanya terpejam lantas gue kembali mendekat.

"Vin?" Gue berkata lirih. Berharap gue bisa memeluk Vina yang sejak seminggu ini belum gue peluk. Rasanya kangen. Merindukan kehangatan dari suara dan pelukan itu.

"Aku benci Kamu! Belum puas kah sudah menghancurkan hidup ku?" Perkataan dingin penuh kebencian iya tawarkan untuk gue. Gue terpaku. Di saat kayak gini kenapa tiba tiba Vina membenci gue. Dia nggak mungkin bercanda kan?

"Vin? Gue___"

"Kamu tidak mendengar nya huh? Pergi dari sini pembunuh!" Sesaat kemudian gue terdiam ditempat. Memandang wajah Vina lama lantas menggigit bibir menahan diri. Apa maksudnya pembunuh, gue nggak mengerti ucapannya.

"Vin?. Gue Aidan. Gue suami Lo?." Gue mencoba menjelaskan sedikit saja. Walaupun sedikit Vina gue memohon supaya dia mengingat gue.

"Aku ingat kamu." Vina kini menoleh kearah gue. Senyumnya mengembang lantas kini menatap mata gue sendu. Mata berkaca-kaca Sesaat kemudian berubah menjadi tatapan sinis.

"Kamu adalah pembunuh! Pembunuh anak aku! Membunuh anak aku padahal mereka nggak salah apa apa?." Vina menjerit histeris lantas menarik infus nya dengan kuat. Darah mengalir deras di tangannya. Matanya penuh air mata. Gue terpaku lantas berusaha mendekati nya.

"Vin? Anak kita___"

"Berhenti kamu! Pembunuh! Pergi dari sini!" Suaranya bergetar hebat. Air matanya luruh dengan derasnya seakan dunia kini tak berguna.

"Hikss... Sejahat itukah kamu! Sejahat itukah kamu hingga membunuh anak aku! Dan kamu jangan panggil anak kita! Karena kamu nggak pantas jadi ayahnya!" Vina lagi lagi menangis kencang membuat beberapa suster tiba tiba datang dan berusaha menenangkan. Mata gue berair. Menahan sesak di dada gue menunduk dalam. Kenapa Vina melupakan semua tentang gue. Apa salah gue. Dan kenapa dia bilang gue pembunuh. Bukan kan anak kami hidup.

"Tolong! Anda bisa keluar dadi ruangan ini." Suster berkata pelan namun gue masih diam di tempat. Berusaha menerima kenyataan namun faktanya gue nggak bisa. Gue berlari kearah Vina lantas memeluk nya erat.

"Jangan kayak gini Vin. Gue nggak bisa bertahan." Gue berkata lirih. Masih memeluknya namun belum sempat apa apa Vina malah menepis pelukan gue dan menatap mata gue dengan penuh kebencian. Air matanya tampak mengalir deras, gue mengigit bibir dalam dengan sangat kuat.

"Masih punya muka kamu! Pergi dari sini! Siapa yang bunuh anak aku! Itu kamu! Kamu! Pembunuh!"

"Vin. Anak kita selamat. Mereka baik baik aja." Gue berusaha lagi untuk menjelaskan namun Vina malah tambah menangis histeris lantas menarik selang infus yang baru saja di pasangkan oleh dokter.

Married By Accident ( Selesai.)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang