Chapter 8

4 1 1
                                    

"Kak, Tokyo itu ibu kota Korea Selatan apa Utara?"

Lila mengalihkan pandangnya dari ponsel pintar miliknya. Waktu senggangnya, ia pergunakan untuk menonton Youtube, lebih seringnya ia memilih konten podcast. Lila merasa senang saja mendengarkan orang ngobrol. Pikirnya, secara tidak langsung ia bisa menimba ilmu dari orang-orang pintar yang menjadi narasumber. "Jepang." Jawabnya atas pertanyaan yang diajukan Andra. "Kok korea sih." Lila mempause tontonannya.

"Oh iya, lupa." Andra memukul kepalanya. Sering dilakukan oleh bocah itu etika ia tidak berhasil mengingat sesuatu. Keras tidaknya ia memukul, tergantung tingkat keluputannya. Lila tidak suka mengenai itu. Menurutnya, akan menjadi kebiasaan.

Lila beranjak dari sofa, menggenggam tangan Andra. "Jangan suka mukul-mukul kepala. Lupa itu wajar. Jangan pernah menyakiti diri sendiri, oke?" Lila menatap tajam adiknya. Sampai Andra mengangguk, menyetujui pinta Lila. Setelah dirasa adiknya menurut, Lila kembali menonton video yang sempat terjeda.

"Kak, kalau menara tertinggi di dunia itu apa?"

"Burj Khalifa."

"Kak kalau-"

"Andra nggak pergi les?"

"Libur." Jawab Andra singkat. Kemudian kembali menatap buku-buku yang berserakan di kedua kakinya. Pemandangan ini mengingatkan Lila pada sosok Alfi. Seingatnya, saat SD, buku-buku pelajaran berupa LKS (lembar kerja siswa), namun kini berganti dengan Tema. Tema 1, tema 2, tema 3, dan begitu seterusnya kalau tidak salah. Sempat Lila membuka-buka tiap halaman dalam buku Andra. Tidak banyak rangkuman materi, lebih banyak berisikan latihan-latihan soal.

"Itu kamu ngerjain PR?"

Andra menggeleng. "Kuis-kuis di internet." Bocah itu memamerkan ponsel pintar kepunyaannya. Lila mengangguk paham. Mempunyai adik rajin dan pintar ada enak dan tidaknya. Andra bisa dibanggakan. Tapi saat mulai bertanya persoalan yang Lila tidak tahu pasti jawabannya, hal tersebut akan mengundang PR.

"Kalau kamu bisa ngajarin Andra, yaudah kamu aja yang ngajarin, Andra nggak usah Les." Lila mengikuti gerak Mamanya yang berjalan menuju dapur. Tak tingal diam, gadis itu membuntutinya. Mulai berbicara saat sang Mama mencuci daging ayam. "Kenapa?"

"Kenapa jadi Lila yang harus ajarin Andra?"

"Terus siapa lagi dong," wanita itu mulai memotong daging ayam ditangannya menjadi beberapa bagian. "Biaya les makin lama semakin mahal Lil. Kalau kamu yang ngajarin kan lumayan untung."

"Nggak bisa, Lila makin sibuk di Osis Ma. Mana bisa dampingi Andra belajar terus."

"Osis mulu!" Leli menyerahkan ulekan pada Lila. "Ngulek bisa, kan?" kemudian ia melangkah menuju cobekan besar yang sudah tersuguh bawang putih, cabe merah, cabe rawit dan bumbu pendamping lainnya untuk mmebuat sambal. "Andra mau ayam geprek?" Mau Ma, teriak adiknya dari arah ruang tamu. "Selain Osis, alibi kamu apa nggak mau ngajarin adik kamu?"

"Pelajaran makin susah Ma. Lila berani jamin, kalau gede nanti Andra bakal lebih pinter dari Lila," ujarnya sambil memukul keras ulekan pada cobek.

"Kasihan, kalah pinter sama adiknya." Mamanya mengelus kepala Lila, dengan tujuan bercanda.

Setelah urusan mengulek sambal usai, Lila diam saja ditempatnya. Tidak ada yang harus ia perbuat lebih. Mamanya cukup lihai mengatasi semua urusan dapur. Baru saja Lila akan beranjak ke kamar, dering ponsel sang Mama menginterupsi. "Awas ayamnya Lil." Pesan wanita itu sebelum beranjak pergi.

Lila hanya mampu diam saja di depan penggorengan. Ia ingat pesan Mamanya kalau menggoreng ayam jangan banyak diaduk, biarkan apinya kecil hingga dagingnya matang. Saat Mamanya kembali, Lila kira ia sudah boleh mangkir, namun nyatanya Mamanya melambaikan tangan, "bentar, Mama mau telfon Om Ageng dulu." Om Ageng adalah sahabat baik Papanya saat di kantor. Otak Lila langsung berkelan memikirkan apa yang akan Mamanya bicarakan dengan pria itu.

Ketua OSIS TerhormatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang