Chapter 10

6 1 0
                                    

Lila mencabuti sisa solatip-solatip yang melekat di roknya. Bekas membungkus kado, agar tidak repot, ia berinisiatif memotong kecil-kecil terlebih dahulu solatip bening. "Selesai." Ujarnya. Pigura besar bergambarkan guru Ekonomi yang akan pensiun sudah terbungkus rapi. "Awas pecah!" peringat Lila pada Dio saat memindahkan kenang-kenangan dari pihak OSIS.

"Jadi beli bunga Lil?"

Lila menoleh pada Wati, "boleh."

Setiap guru yang akan pensiun selalu mendapat upacara penghormatan di hari terakhir mereka. Biasanya akan ada pertunjukan kecil. Penampilan dari anak tari, dance, atau teater jika berkenan. Dan semua tajuk acara, anak OSIS yang akan mengurus. Seperti sekarang, mereka direpotkan dengan acara membungkus kado. Ibu Sri, sebagai guru yang akan pensiun berinisiatif memberi cindera mata pada semua guru, beliau membawanya tadi pagi dan langsung menyerahkan ke pihak OSIS dengan mandat agar dibungkus rapi.

Semua bekerja. Termasuk cowok-cowoknya. Walau mereka sebatas membantu memotongi kertas kado dan selotip, itu sudah membantu. Beda dengan Afdan, ia memilih untuk yang mengepaki semua kado, menatanya pada kardus besar, pekerjaan paling akhir. Dan cowok itu tidak langsung mengerjakan, berbaring santai di ubin, dengan alibi menunggu semua kado terbungkus baru ditatanya rapi.

"Besok kalau selesai upacara, kita yang bagiin ini semua gitu?" tanya Wati dengan satu alis terangkat.

"Siapa lagi." Dio mengunyah tahu walik yang dibelinya dari koperasi sekolah.

"Biasanya dipilih yang cantik, kalau nggak ganteng. Paling lo Ren yang disuruh besok."

Kerren menggeleng kuat pada Wati, "nggak mau ah. Panas! Biar Afdan sana, sama siapa kek. Lila juga bisa."

Lila menarik kardus besar di samping Afdan. Terlalu lama menunggu cowok itu untuk bergerak. Adu otot pun sudah bosan ia lakukan. Lila mensejajarkan rapi cindera mata yang dibalut dengan kertas kado bermotif beruang. Menatanya rapi, dan berharap muat, agar tidak kembali meminta ke koperasi. "Nggak mau gue," Lila menjawab Kerren tanpa menoleh.

"Sekretaris harus nurut."

"Aduh!" Lila mengadu karena lemparan bolpoin dari Afdan pada dahinya. Ia mengembalikkan bolpoin itu dengan lemparan juga. Sayangnya tidak cukup memuaskan. Hanya mengenai perut samping cowok itu. Bagai sebuah gelitikan. Buktinya Afdan hanya memberi senyum kecil.

Afdan bangkit duduk, dengan sapu tangan abu-abu melekat di dahi. Lila memutar bola mata melihat kehadiran sapu tangan itu kembali. Afdan sengaja mendekatkan duudknya agar lebih mepet pada Lila. Mengamati seksama pada Lila yang mengambil alih tugasnya. Lila yang merasa hawa panas dari embusan nafas Afdan di sampingnya, menyikut keras Afdan. Mengabaikan apakah sikunya mengenai tulang rusuk cowok itu atau tidak.

"Jauh-jauh sana! Lo kalau nggak mau bantu, minggir!"

"Judes amat!" bukan mengikuti Lila yang menyuruh menjauh, dengan entengnya Afdan menutup mukanya penuh dengan sapu tangan dan bersandar santai pada bahu Lila. Kalau bukan sebagai cinderamata untuk guru-guru, Lila sudah memukul Afdan dengan mug di tangannya.

"Jajanannya makan dulu gaiss," bendahara yang satu itu selalu peduli dengan asupan para anggota lain. "Ayo cepet makan. Banyak lalat nih. Lil, makan dulu Lil!"

Afdan melirik pada Lila, melihat gadis itu yang sama sekali tidak tertarik dengan tawaran makan. "Lumpia mau nggak?" Lila menggeleng. "Brownis? Bakwan?" Lila menggeleng juga. "Sate usus, mau?" sekarang Lila malah sibuk menghitung berapa banyak bungkusan yang sudah masuk dalam kardus. "Nggak jawab berarti iya." Dengan inisiatifnya sendiri Afdan mengambil satu tusuk sate, "makan. Gue suapin." Tersodor tepat di mulutnya, mau tidak mau Lila harus menggigit, mengunyah, dan memasukkan potongan usus yang dibumbui pedas ke dalam perutnya. Terus berlanjut sampai satu tusuk sate di tangan Afdan lenyap.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketua OSIS TerhormatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang