Chapter 6 : Keprofesionalan Sekretaris

12 3 2
                                    

Lila memutar dasi ditangannya. Kadang ia lilitkan di pergelangan tangan kiri, melepasnya kemudian dililitkannya lagi. Lila sesekali menengok ke dalam, kemudian membuang muka acuh. Puluhan pesan yang ia kirimkan ke Afdan berlaku percuma. Katanya, cowok itu tengah menyelesaikan masalah. Tidak cukup serius. Tapi sering menjadi problematika para remaja.

Afdan ketahuan menggaet gadis cantik bernama Luna. Sebaya dengan mereka. Satu sekolah pula. Yang menjadi masalah adalah gadis itu sudah memiliki kekasih.

Lila malas terlibat dalam urusan seperti ini. Asmara baginya terlalu pelik. Menambatkan seluruh hati pada seseorang yang tidak tahu jika seseorang itu tengah membagi hatinya. Lila tidak paham kenapa semua orang mesti memaklumi perselingkuhan. Katanya hati itu bagaikan kertas, yang jika koyak tidak bisa kembali semula. Lantas mengapa harus ada kesempatan kedua?

Lila memanggil cowok di seberang sana dengan sebutan bucin. Pasalnya, ia terus merayu gadisnya agar kembali padanya. Sedangkan Afdan, berdiri dengan tenang. Bagai pangeran yang senantiasa dipilih. Lila merogoh sakunya, saat terdengar ponselnya bergetar. Notifikasi dari Pak Roni membuatnya bangkit. Ia harus mengambil alih.

"Dan!" Lila membuka pintu dengan keras. Ia menekankan nama Afdan. Sorot matanya tajam. Tak ada satu senyum kecil pun yang menghiasi. Ketiga orang di dalam sana berhenti berdebat. Menoleh serempak pada Lila. Jika tidak mengeluarkan aura galaknya, Lila tidak yakin bisa mendapat atensi sebesar ini. Ia didengarkan saat ia galak. "Udah?"

Pertanyaan itu sepenuhnya Lila lemparkan pada Afdan. Cowok itu berjalan memutar, berjalan mundur sembari melambaikan tangan. "Lanjut nanti ya guys. Panggilan tugas negara."

Lila melepas kasar tangan Afdan yang mencoba merangkulnya. Ia heran, mengapa Afdan begitu menyoal gampangkan ini. Cowok itu seakan bermain-main pada hubungan sepasang kekasih. Permainan belum selesai, dengan santai Afdan meninggalkannya.

"Drama banget hidup lo. Lo tau nggak? Berapa lama gue nungguin lo. Kalau sampai Pak Roni marah. Lo tanggung jawab!"

"Marah-marah mulu. Jangan khawatir soal tanggung jawab. Gue ahlinya." Afdan menepuk dadanya bangga. Sedang Lila, memutar manik matanya kesal.

"Lo nggak capek ya jadi bahan omongan orang. Berapa banyak pacar orang yang lo rebut, dan berapa banyak cewek yang lo selingkuhin. Risih gue dengernya."

Afdan menyipitkan matanya. Menatap penuh selidik pada Lila. "Kenapa lo yang risih?" yang paling menyebalkan dari Afdan bagi Lila adalah senyum menggoda ala cowok itu. Siapapun akan salah tingkah dengan senyum yang diberikan Afdan. Lila tidak suka saat Afdan mulai besar kepala. "Gue nggak pernah peduli jadi bahan ghibah orang lain. Kalau gue dighibahin sama temen-temen deket gue, itu baru gue pikirin."

Dari arah lapangan seorang cowok dengan celana pendek dan kaus tak berlengan melambai pada Afdan. "Ayo, Dan!" dia Dewa. Rambut kriwilnya menjadi penanda, warna kulit pekatnya pun tampak menonjol. Yang Lila tahu, ia termasuk teman sepermainan Afdan.

"Yoi bro, gue kesitu."

Lila menarik kra seragam Afdan. "Lo mau kemana?"

"Main basket bentar. Kalau gue nggak ikut malah nanti jadi bahan omongan. Lo mau gue dighibahin lagi? katanya risih."

"Nggak! Nggak ada main-main basket! Ikut gue." Lila menarik pergelangan tangan Afdan. Sebenarnya cowok itu menurut. Kalau tidak, mana bisa Lila menggeret paksa Afdan.

"Ibu negara.. ibu negara. Monopoli ae terus si Afdan." Lila masih mendengar seruan dari Dewa.

"Nggak asik lo!" Afdan membenarkan seragamnya yang kusut. Sedangkan Lila berbelok saat sampai di area Lobi sekolah.

Ketua OSIS TerhormatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang