Chapter 9

4 1 0
                                    

Seharian ini Lila sama sekali tidak berkunjung ke ruang OSIS. Ia memiliki kesibukan sebagai siswi SMA sebagaimana mestinya. Satu hari full dipenuhi ulangan harian. Tidak ada yang suka dengan itu. Lila sekalipun.

Pelajaran pertama sudah disambut dengan ulangan sejarah, dengan begitu banyak hafalan. Kemudian guru matematikanya tiba-tiba mengadakan kuis. Dilanjut pelajaran Ekonomi, soalnya pilihan ganda tapi diantara pilihan A,B,C, dan D hampir sama semua. Menurut Lila benar, belum tentu bagi gurunya benar. Untungnya sedikit disegarkan dengan Prakarya, terlampau santai untuk semua pelajaran di hari itu. Tapi bukan berarti tenang, selanjutnya kelas Lila diberi makan ulangan Fisika. Tahun kedua dengan guru Fisika berbeda, bagi Lila tetap sama. Semua guru Fisika, galak.

Tak memakan waktu lama untuk ulangan Fisika, walau dibagi menjadi dua sesi. Dua puluh menit sebelum bel pulang berbunyi, guru fisikanya sudah undur diri. Berpesan agar semua murid tidak keluar sebelum benar-benar waktunya pulang.

Alfi menghampiri meja Lila, duduk disebelah gadis itu, sudah tidak ada guru itu berarti bebas untuk beranjak dari tempat dan berpindah dari meja satu ke meja yang lain. Lila tengah menelungkupkan wajahnya dibalik lipatan tangan, "lima soal yang mengerikan," gumamnya, yang dapat dengan jelas didengar Alfi.

"Nggak semengerikan itu kali." Alfi menyentuh wajah Lila, mengarahkan wajah itu agar menatapnya.

"Diantara tiga puluh dua orang, cuma lo yang kelihatan nggak ada beban sama sekali."

"Justru gue lega, toh ulangannya udah selesai."

"Lo mah enak, pinter." Datang, kerjakan, lupakan. Lila ingin juga menerapkan metode itu setiap kali ujian tiba. Sayangnya ia belum bisa. Selalu saja ia membayangkan berapa banyak jumlah soal yang terjawab salah.

"Seru tau Lil ulangan atau ujian itu. Memacu adrenali. Awalnya deg-deg'an, kalau udah selesai ya lega. Nanti deg-deg'an lagi waktu nunggu hasilnya, lega lagi kalau udah tau hasilnya."

Lila mendengus. Gadis itu mulai memasukkan buku tulis ke dalam tasnya. Persiapan pulang. Ia menjangkau ke dalam laci meja, menarik kotak bekal yang sudah ludes isinya. Pernah sekali Lila lupa membawa pulang kotak bekal miliknya, keesokan hari ia temukan dengan bau yang menyengat. Tidak lagi ia lupa membawanya pulang.

"Lo ngomong kayak orang pinter. Eh tapi lo emang pinter sih. Lupa."

"Menurut gue, lo juga pinter." Tipe seperti Alfi yang sukses membuat Lila tertarik. Cowok itu mampu diajak berdiskusi. Dilain kesempatan, kadang kali Alfi seperti wikipedia berjalan bagi Lila. Ia juga sering membicarakan hal-hal yang baru ia ketahui kepada cowok itu. Cowok jenius ya Alfi orangnya. Jadi anggapan Alfi bahwa Lila adalah gadis pintar, terlalu berlebihan.

"Waktu gue SD, gue boleh bilang kalau gue nih pinter banget. Lama kelamaan, makin tambah jenjang pendidikan, apalagi SMA ini, gue rasa makin bodoh deh. Entah pelajarannya makin susah atau apa ya. Atau emang ini seleksi alam?"

"Lo terlalu sibuk di OSIS."

Itulah jawaban Alfi dari pertanyaan angan-angan Lila. Kalau OSIS perkaranya, harusnya prestasi akademik Alfi juga terbengkalai, tapi malah cowok itu semakin melesat jauh. Namanya sejajar dengan Raka, Bunga, dan siswa berprestasi lain di SMA Nusa.

Atau jangan-jangan, Bimbel Alfi memang top markotop? Sering cowok itu izin tidak rapat karena harus les. Lain kali Lila akan menanyakan bimbel mana tempat Alfi belajar.

Pulang sekolah, Lila belum bisa langsung menuju rumah dan merebahkan diri. Ada rapat OSIS bersama anggota MPK. Ulang tahun sekolah, atau sebutan kerennya Diesnatalis. Proker besar menurut Lila. Kesuksesan anggota OSIS bisa dilihat dari seberapa berhasilnya mereka membuat acara. Diesnatalies salah satunya. Sedikit saja performa yang mereka berikan untuk acara Diesnatalies kurang, habis mereka mendapat kritikan.

Ketua OSIS TerhormatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang