JKTS | Bagian Lima

44 19 29
                                    

Hayy aku datang membawa kenangan><

Yang belum vote bab sebelumnya boleh di vote dulu yhaa

Selama kalian rajin vote apalagi komen, cerita ini bakal terus lanjut insyaallah

Ada yang spesial loh di bab ini

____________________________

Selamat membaca♡



Kara tengah menikmati roti buatan sang bunda di dalam kelas yang masih sepi. Ia tidak sempat sarapan di rumah tadi makannya ia membawa bekal untuk makan di sekolah. Saat tengah menikmati makanan kesukaannya itu, terdengar suara kursi ditarik dan ia pun menoleh kearah sumber suara itu.

“Pagi.” Azel tersenyum padanya.
“Pagi juga, udah sembuh?”
“Ya seperti apa yang kamu liat sekarang ini.”
Kara manggut-manggut sambil melanjutkan ritual sarapannya. Tak lupa ia juga menawarkan makanannya pada laki-laki di sebelahnya itu.
“Mau?”
“Nggak deh, aku udah makan tadi.” Azel duduk dan meletakkan tangan kirinya yang diperban di atas meja dengan hati-hati.

Tidak ada percakapan setelah itu. Kara bingung hendak bertanya apa begitupun Azel. Suasana itu berubah ketika Amanda datang.

“Selamat pagi.” Sapanya pada Kara dan Azel.
“Pagi.” Balas Azel dengan singkat.
“Pagi juga, udah sarapan Man?”
“Tentu saja belum, hehe.”
“Ambil nih, kebetulan aku bawa banyak.” Kara menawarkan bekalnya dan Amanda dengan senang hati menerimanya.

“Makasih.” Amanda makan sambil berdiri di depan meja Kara.
“Duduk gih, nggak baik makan sambil berdiri.” Tegur Kara.
Azel menoleh seketika.
“Hehe lupa.” Amanda melangkah menuju bangkunya di belakang namun sebelum itu ia mengambil lagi roti yang Kara tawarkan tadi.

“Cie udah dapet kenalan aja nih.” Kekeh Azel.
Kara tersenyum. Suasana kembali kaku, namun Kara teringat sebuah pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Azel.
“Kalau boleh tau, kok bisa si tangan kamu luka gitu?”
Bukannya menjawab, Azel justru menatap tangannya yang diperban itu.


Malam itu Azel tengah memainkan ponselnya di dalam kamar. Ia sedikit bingung dan ragu saat melihat sebuah nomor ponsel seseorang. Sebenarnya ia ingin mengawali komunikasi via chat. Tiba-tiba Marshall-kakaknya datang membawa secangkir kopi susu ditangannya.

“Kalo cuma sekedar minta save  udah basi kali.” Marshall melirik isi ponsel adiknya.
Azel menoleh karena terkejut.
“Urusannya sama lo apa?”
“Hadeh. Sini gue bantuin.” Marshall merebut paksa ponselnya.
“Mau ngapain?”
“Bantuin lo.”
“Jangan deh, lo nggak beres orangnya.” Azel ingin merebut kembali benda tipis miliknya itu namun Marshall enggan mengembalikannya dan tanpa sengaja Marshall menekan tombol call.

Keduanya saling tatap karena sang pemilik nomor telah mengangkat telepon itu. Marshall melempar ponsel itu ke tangan Azel.
“Gila lo.” Umpat Azel dengan suara lirih. Dengan terpaksa Azel menanggapi telepon itu.

Sang pemilik nomor adalah Kara. Setelah selesai, Azel yang masih dendam dengan kakaknya segera meninju pelan perut Marshall yang tengah meminum kopi susunya, namun imbasnya adalah cairan kopi tersebut menluncur ke punggung tangannya. Azel yang terkejut akan kejadian itu segera berlari ke kamar mandi lalu membasuh tangannya dengan air kran.

“Enak?” Marshall menghadangnya di depan pintu kamar mandi sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya.
“Bawa sial lo, tau nggak?” Celetuk Azel yang lalu melenggang begitu saja.


“Zel?” Sahut Kara yang menyadari bahwa Azel daritadi melamun.
“Iya, kesiram air pas masak mie kemarin.” Dustanya.
“Ouh gitu, lain kali hati-hati makannya.”
Azel menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal sambil menyengir. Untung saja ia tidak keceplosan menceritakan kejadian sebenarnya.

Bel masuk berdering. Seorang guru masuk ke kelas sambil membawa beberapa buku dan membuat seisi kelas tak berkutik sedikit pun.
“Selamat pagi anak-anak. Perkenalkan nama saya Elis Setyorini. Kalian bisa panggil saya ‘Bu Elis’. Saya adalah wali kelas sepuluh MIPA empat dan sekaligus sebagai guru mapel PKWU.” Bu Elis duduk di kursi yang telah tersedia.

“Kamu Azel?” Tanya Bu Elis sambil menunjuk Azel yang duduk di bangku paling depan.
“Iya Bu.” Jawab Azel sopan.
“Apa kamu bersedia menjadi ketua kelas?”
Bukannya menjawab, Azel justru menoleh ke arah Kara.

“Maaf Bu.” Amanda mengacungkan tangannya.
“Iya, ada apa?”
“Sebelumnya saya mau minta maaf sebesar-besarnya apabila pertanyaan saya sedikit menyinggung. Bukannya saya menentang keputusan ibu, tapi apa tidak sebaiknya kita memilih ketua kelas yang beragama mayoritas ya Bu?” Ujar Amanda dengan sopan dan lembut.

Azel menatap Bu Elis sekilas.
“Apa yang kamu bilang ada benarnya juga sih.” Sepertinya Bu Elis berpikir dua kali untuk menjadikan Azel sebagai ketua kelas.
Kara melirik Azel yang mungkin agak tersinggung.
“Oke begini saja, Karanina yang awalnya menjadi wakil sekarang naik jabatan jadi ketua, apa kamu bersedia?” Tanya Bu Elis pada pemilik nama Karanina, karena beliau belum tahu siapa Kara maka beliau menunggu ada seseorang yang mengacungkan tangannya.

Perlahan Kara mengangkat tangannya.
“Insyaallah saya bersedia Bu.”
“Oke dan Azel, kamu jadi wakil ketua.”
“Baik Bu.” Azel tersenyum tipis.

“Anak-anak yang ibu pilih adalah rekomendasi dari para kakak pengampu selama masa MPLS kemarin. Dan sekarang kita tinggal menentukan sekertaris, bendahara, dan mungkin beberapa seksi bidang. Siapa yang ingin mencalonkan diri?” Bu Elis berjalan ke depan papan tulis.

Amanda mengangkat tangannya. Kara menoleh ke arah teman barunya itu dengan tatapan seakan bertanya ‘apa yang ada di pikiran hingga dia sangat ingin mencoba hal yang bertanggung jawab besar?’
“Siapa namamu wahai anak muda?” Tanya Bu Elis dengan lawakan berkelasnya.
“Amanda Revitasari, Bu.”
Kara beranjak dari duduknya dan menawarkan diri pada Bu Elis.
“Biar saya saja yang menulis Bu.”
“Ouh baiklah.” Bu Elis menyerahkan beberapa batang kapur pada Kara.

Jika Kita Tak SemejaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang