JB: 13

133 17 1
                                    

    Joy menjambak rambutnya geram lalu membanting kepalanya keatas buku di meja belajarnya. Ia amati angka-angka yang ia coret di buku itu lalu menoleh ke arah tumpukan buku yang menjulang. Joy menghembus nafas kasar, kenapa pula ia harus mendapat tugas sebanyak ini? dan parahnya lagi tugas fisika.

Tidak bisa ia pungkiri bahwa ia memang sangat lemah di semua pelajaran yang berbau matematika. Dimana ada angka disitulah titik kelemahannya.

Biasanya, kalau sudah pada situasi begini ia tinggal lari ke rumah Bima dan meminta anak itu membantunya. Berhubung hanya diperlukan lima langkah ia berjalan dari rumahnya. Tapi sekarang ia tak bisa melakukan itu.

Tak lama pintu kamarnya terbuka, Joy sedikit menoleh ke arah pintu lalu muncul wajah seseorang yang sangat ia kenal. "Ih papi ketuk dulu kek."

"Gue udah ketuk dari tadi tapi lu nggak nyaut," bohong Evan sambil mengusap rambutnya yang masih basah habis mandi.

"Nyari apa sih?" Joy menatap heran papinya yang seperti tengah kebingungan melihat-lihat isi kamarnya.

Lelaki yang di tanya menaruh kedua tangannya di pinggang. "Anak gue ilang."

Joy memutar bola matanya ck "Ya udah ngapain nyarinya di kamar gue." Kini nada suaranya sedikit di naikan.

Evan pun duduk di tepi kasur yang tak jauh dari meja belajar tempat Joy berada, lalu menatap gadis itu datar. Gadis itu lantas mengalihkan pandangannya tak mau menatap wajah Evan.

Suasana hening beberapa saat. "Papi ngapain sih liatin gitu."

"Kok kamu bisa tau."

"Ya tau lah."

Tak lama Joy bangkit dari kursinya berbalik memeluk Evan. Lelaki itu lantas membalas pelukan putrinya sambil di elus surainya dengan lembut.

Saat pelukannya terlepas, Evan mendapati wajah Joy sudah berderai air mata. Ia usap air mata yang mengalir di pipi dengan tangannya, tangisan Joy semakin terdengar memilukan.

Bisa dibilang Evan ini selalu peka jika ada hal yang terjadi, apalagi menyangkut Joy. Apalagi ia adalah orang tuanya jadi jelas saja ia bisa merasakan setiap kali ada yang tidak beres dengan putrinya.

Audy pun juga sama. Namun bukannya sekarang ia tidak peduli, tetapi wanita itu bukan tipe orang yang bisa mengungkapkan perasaanya dengan kata-kata atau tindakan.

Sebenarnya, sekarang pun Audy sedang berdiri di luar kamar Joy. Setelah mendiskusikan semua dengan Evan, mereka sepakat bahwa Evan yang akan mencoba bicara dengan Joy.

Nafas gadis itu terdengar putus-putus karna terus menangis. Evan masih belum bersuara, ia biarkan putrinya menangis sampai puas.

Sejak kecil Joy sudah di biasakan Evan jika sedang menangis harus sampai tuntas, agar tidak menyesakan di hati. Evan pun bisa saja menunggu gadis itu menangis sampai berjam-jam.

Tak lama kemudian tangisan Joy mulai meredah. "Joy gue kenapa?" tanya Evan sambil merapihkan rambut putrinya yang berantakan.

"Aku nggak bisa ngerjain tugas fisika." Joy menjawab di sela nafasnya yang terengah-engah.

"Apa-apaan, boong lo ya?!"

Joy menggeleng cepat.

"Orang lo nangis kayak habis di tinggal gue gitu, lo bilang karna nggak bisa ngerjain tugas??"

Gadis itu lantas memajukan bibirnya, hidungnya masih merah karna menangis. Evan refleks mencubit hidung Joy dengan gemas. Kali ini Joy hanya diam membiarkan papinya melakukan semaunya.

"Di darah lo mengalir gen jenius dari gue, jadi gue nggak percaya kalo lo nangis karna nggak bisa ngerjain tugas."

Joy memang berbohong tentang kenapa alesannya menangis tapi ia tidak bohong bahwa ia tidak bisa mengerjakan tugas fisikanya. Karena saking jengkelnya, emosinya  pun jadi terluap.

Kalo menurut Evan sendiri Joy pasti merindukan Bima, apalah sahabat atau pacarnya. Intinya lelaki itu sudah berminggu-minggu menghilang.

Evan dan Audy sudah berkali-kali menyuruh Joy mengunjunginya di rumah sakit, namun gadis itu terus menolak. Alasannya karna banyak tugas, sekarang tugas itu malah di jadikan alasannya menangis.

"Aku mau ke rumah sakit." Sela Joy di tengah keheningan.

"Ya udah papi anterin."

••••

Sudah berhari-hari pemuda itu menetap di rumah sakit masih memakai seragamnya, tanpa pulang sama sekali. Dipagi hari ia berangkat sekolah, di sore hari langsung menuju rumah sakit. Begitulah siklusnya.

Jason tidak ingin meninggalkan adiknya sendirian lagi, ia masih berharap Jonathan, adiknya segera mungkin membuka matanya dan Jason ingin ia lah yang menjadi orang pertama yang di lihat Jonathan.

Beberapa hari yang lalu, para perawat tengah heboh karna salah satu perawat mengaku melihat pasien Jonathan sempat membuka matanya setelah divonis mati otak.

Hal itu semakin membuat Jason percaya adiknya ini masih ada harapan. Semenjak itu lah Jason jadi tidak mau pulang ke rumah dan ingin menetap di rumah sakit menemani Jonathan.

Ia meraih ponsel dari atas nakas setelah ia isi batrenya. lalu memencet-mencet asal notifikasi yang muncul di homescreen nya. Tak lama terdengar suara ketukan pintu. Muncul seorang gadis dari pintu. Jason menoleh. "Joy?"

"Boleh masuk?" Tanyanya dengan datar.

Jason pun mengangguk. Joy lalu mendekat menatap pemuda itu dari ujung kepala sampai kaki terlihat sangat berantakan. Bawah matanya juga menggelap karena terjaga berhari-hari.

"Lo kok masih pake seragam?" Joy menautkan kedua alisnya bingung, mengingat ini sudah hari minggu kenapa Jason memakai seragam.

"Gue nginep disini."

"Lah terus nggak ganti baju gitu."

Jason menggelengkan kepalanya. "Udah seminggu gue nggak pulang."

Joy membulatkan bola matanya seperti akan keluar kapan saja. "Demi apa?? lu udah seminggu nggak mandi??"

Jason lalu menoleh. "Emang kenapa, gue tetep wangi kan."

"Wangi apaan?!"

Joy menatap Jason iba, ia tak bisa membayangkan jika menjadi lelaki itu. Hanya Jonathan satu-satunya yang ia punya, dan sekarang Tuhan harus mengujinya seperti ini.

"Gimana keadaan Jojo?" tanya Joy sambil menyandarkan tubuhnya di samping brangkar kasur Jonathan.

Jason menundukkan kepalanya. "Masih sama." Tatapannya berubah menjadi sendu.

"Kalo dia gimana?" Kini Jason yang balik bertanya.

Joy menaikkan satu alisnya. "Dia? Bima?"

"Ya."

Kalo dipikir-pikir bukannya niat awalnya menemui Bima ya. Tadi setelah ia dan Evan sampai di rumah sakit, Evan memberitahunya akan menunggu di cafe rumah sakit.

Dan ia sebenarnya ingin langsung menemui Bima, namun saat di koridor ia kepikiran mau mampir sebentar melihat kondisi Jonathan. Mengingat dirinya dan anak itu dulu sangat dekat.

"Um.. gue baru mau ketemu dia. Ya udah kalo gitu gue cabut." Joy melangkah menuju pintu, lalu tiba-tiba berhenti kemudian berbalik badan.

"Jojo nggak bakal seneng pas bangun ngeliat penampilan lo sekarang,"

"Pulang Jas, mandi terus istirahat. Jangan kayak gembel gini." Lanjut Joy berbicara lalu langsung beranjak dari ruangan itu meninggalkan kakak beradik itu dalam hening.

Jason menatap Jonathan dengan mata lelahnya lalu tersenyum kecil, nih anak nafas aja harus dibantuin alat. Jika ia tidak sedikit saja berharap, mungkin Jonathan sekarang sudah tak ada lagi di dunia ini dan benar-benar meninggalkannya seorang diri.

Jason mengangkat tangan kirinnya memijit pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening.

••••

Between UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang